Sunday, April 1, 2012

Kriteria Presiden Masa Depan

Pemilu 2004 merupakan momen historis terpenting bagi perjalanan bangsa kita di masa depan. Pesta demokrasi tersebut dapat disebut sebagai peluang mengakhiri krisis kepemimpinan nasional yang parah yang dengannya agenda-agenda besar reformasi diharapkan bisa tertunaikan dengan baik. Sudah tentu pada 2004 bangsa kita bukan saja mengharapkan pergantian kepemimpinan nasional secara legal-konstitusional karena pemimpin yang kini berkuasa tidak bisa diharapkan memunculkan perubahan berarti bagi segenap elemen bangsa. Namun lebih dari itu, dalam Pemilu 2004 bangsa kita juga membutuhkan pergantian kepemimpinan nasional yang nantinya dapat mewujudkan terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi semua.

Bangsa kita memang telah mengalami pergantian kekuasaan beberapa kali, namun para pemimpin tersebut gagal mentransformasikan segenap kapabilitas mereka untuk kebaikan negeri. Para pemimpin pasca-Soeharto cenderung sibuk dengan kepentingan sendiri sembari mengabaikan kepentingan khalayak hingga membuat rakyat kecewa berat. Ketidakpuasan publik terhadap para penyelenggara negara tersebut diwujudkan dengan beragam cara: dari demonstrasi damai, munculnya gejala “emoh” (partai) politik, meruyaknya kekerasan di banyak tempat, dan yang paling mencemaskan adalah lahirnya wabah “SARS”: Sindrom Aku Rindu Soeharto. Berbagai simptom tersebut membersitkan kesan kuat bahwa sebagian masyarakat sudah sampai pada satu titik yang mengkhawatirkan, yaitu putus asa.

Rakyat yang menghajatkan masa lalu hadir kembali tentu saja tidak bisa dipersalahkan. Soalnya rakyat sudah terlalu berbaik hati kepada para pemimpin yang menindas mereka. Kerinduan terhadap masa lalu yang secara simbolik direpresentasikan dengan hadirnya Soeharto merupakan konsekuensi logis tidak berhasilnya pemimpin pasca-Soeharto memenuhi kebutuhan konkret mereka. Menyalahkan rakyat hanya akan membuat kita jatuh pada logika blamming the victims, menyalahkan korban. Rakyat adalah korban dari absennya political will penyelenggara negara dalam mengentaskan bangsa dari krisis multidimensional.

Paparan singkat ini menunjukkan bangsa kita harus memilih pemimpin (presiden) yang bisa memenuhi harapan masyarakat. Anggaplah pemimpin pasca- Soeharto—Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati sebagai pemimpin masa lalu seperti Soeharto. Jika Soeharto menciptakan krisis multidimensional, para pemimpin pasca-Soeharto tersebut mengawetkan krisis tersebut dan tidak tergerak mengenyahkannya secara tuntas. Pengalaman berharga ini hendaknya tidak membuat kita bernasib seperti keledai: terperosok pada lubang yang sama. Masyarakat harus lebih cerdas, arif, dan rasional dalam memilih presiden dalam pemilu nanti. Pasalnya nasib mereka amat ditentukan oleh tepat tidaknya pilihan mereka.

Sebagai gambaran berikut beberapa kriteria penting yang harus dimiliki oleh pemimpin (presiden)  kita di masa depan.

Integritas 

Seorang pemimpin mutlak memiliki integritas di atas rata-rata rakyat yang dipimpinnya. Integritas dibutuhkan agar seorang pemimpin bisa bertindak tanpa ragu, waswas, dan takut oleh dampak yang bakal dituai dari tindakannya itu. Seorang pemimpin yang kotor oleh dosa-dosa politik-ekonomi-hukum ala zaman Orde Baru sudah pasti tidak bisa diharapkan akan memunculkan perubahan berarti di bidang politik, ekonomi, atau hukum. Sebab perubahan berarti di segenap aspek itu hanya akan lahir dari orang yang tidak memiliki hambatan apa pun, khususnya hambatan moral, untuk melakukannya. Kata kuncinya adalah integritas, moralitas.

Integritas dibutuhkan karena seorang pemimpin memang harus bersih dari noda-noda busuk korupsi, kolusi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Dengan kebersihan diri seorang pemimpin berpotensi untuk membersihkan segenap kotoran yang kini bersarang di tubuh bangsa. Untuk membersihkan badan yang kotor maka diperlukan air yang bersih. Begitulah sejatinya bangsa kita kini merindukan pemimpin yang berintegritas, yang memiliki kepedulian terhadap “kebersihan” negeri dan memiliki tekad besar untuk membersihkan segenap kotoran yang ada.

Dalam pemberantasan KKN misalnya. Sejauh ini agenda penting yang  diusung mahasiswa tersebut belum menampakkan hasil yang membanggakan. Pemimpin pasca-Soeharto tidak pernah mengagendakan jihad melawan korupsi sebagai prioritas utamanya. Kemungkaran sosial-politik-ekonomi kini malah kian menjadi-jadi dan membuat publik frustrasi. Semua ini merupakan akibat dari nihilnya kemauan pemerintah dalam mewujudkan clean and good governance.  Jika pemimpin kita tidak memiliki integritas yang baik, maka petaka sosial-politik-ekonomi dan hukum akan kembali menghantui perjalanan bangsa kita. Itu berarti bangsa kita tidak maju-maju, bahkan surut ke belakang.

Oleh karena itu, integritas atau moralitas merupakan kriteria pokok pertama yang harus dimiliki oleh calon presiden kita di masa depan.

Kapasitas Kecendekiawanan   

Negara kita bukan saja hidup untuk hari ini, namun juga untuk nanti.  Persoalan yang melilit bangsa kita bukan saja membutuhkan pemecahan, namun juga kearifan dan kecerdasan untuk mengatasi persoalan yang makin kompleks.  Tanpa kecerdasan dan kemampuan intelektual yang memadai, maka seorang pemimpin cenderung bersikap lambat, plin-plan, wait and see dan karena itu cenderung kontraproduktif.

Seorang pemimpin memang harus menjadi problem solver dan bukan malah menjadi trouble maker. Dia juga harus menjadi inspirator bagi gerak sejarah bangsa. Dalam situasi yang menuntut pemecahan masalah secara cepat, tepat dan terarah seperti saat ini, kapasitas intelektual dan kecendekiawanan seorang pemimpin menemukan urgensi dan signifikansinya.

Dalam sejarah, cendekiawan yang menjadi presiden bukan tidak ada. Kita misalnya bisa menyebut Vaclav Havel, di Ceko-Slowakia sana. Di India kita bisa menyebut Avul Pakir Jaenulabdeen Abdul Kalam, ilmuwan yang menjadi presiden India. Atau Imam Khomeini di Iran yang berhasil menumbangkan otoritarianisme Syah Iran dan kemudian menjadi pemimpin spiritual tertinggi di wilayah itu tanpa kehilangan kecendekiawanan dan keulamaannya. Di Indonesia kita bisa menyebut Abdurrahman Wahid, seorang ulama-intelektual  yang ironisnya berakhir tragis dan tidak bisa melakukan perubahan berarti.

Memang tampak naif jika sejarah kehidupan berbangsa-bernegara diserahkan kepada kalangan non-cendekiawan. Cendekiawan dan kecendekiawanan harus dipahami sebagai kapasitas untuk mengendalikan segenap syahwat rendah seperti kemaruk akan harta dan  nafsu berkuasa. Alangkah tragisnya nasib sebuah bangsa jika dikendalikan oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas kecendekiawanan. Sebuah bangsa pasti akan rusak parah jika pemimpinnya gampang menyerah di hadapan kekuasaan mahadahsyat nafsu rendah di atas. Apa yang terjadi di republik selama ini menunjukkan betapa kepemimpinan nasional dikendalikan bukan oleh wisdom, kebijakan profetik sebagai representasi dari watak kecendekiawanan. Orang bodoh memang selamanya tidak layak memimpin negeri kita. Bodoh bukan semata-mata tidak tahu apa-apa atau bukan orang sekolahan (terpelajar). Namun bodoh adalah orang yang tahu tapi tidak menerapkan pengetahuannya dalam ranah empiris (keluarga, masyarakat, negara). Yang lebih naif dan absurd, jika bangsa ini jatuh di tangan orang-orang bodoh yang tidak sadar bahwa dia adalah bodoh. Sebab pemimpin demikian cenderung tidak mau belajar dan merasa pintar.
 
Artikulatif  

Seorang pemimpin harus pula memiliki kemampuan berkomunikasi secara baik kepada publik yang dipimpinnya. Kemampuan ini biasanya diiringi dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual memadai yang memungkinkannya bersikap percaya diri saat mengomunikasikan pikiran-pikirannya kepada publik. Ada saat-saat tertentu—khususnya dalam situasi kritis seperti hari-hari ini--seorang pemimpin harus secara langsung berkomunikasi dengan publik dan tidak melalui “juru bicara”nya saja. Misalnya dalam menjelaskan suatu kebijakan atau dalam merespons hal-hal krusial yang lazim dijumpai dalam masa transisi. Tanpa kemampuan komunikasi ini seorang pemimpin cenderung bersikap eksklusif, mengurung diri dalam kamar, berbicara hanya di depan partainya sendiri, dan akhirnya publik kehilangan arah dan panutan. Kalaupun berkomunikasi kepada publik luas sering kali pemimpin yang tidak menguasai persoalan bangsanya dan tidak memiliki kapabilitas memadai kerap melahirkan pernyataan-pernyataan ngawur dan kontroversial.

 Visioner

Dapatkah kita membayangkan sebuah negeri yang diatur dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang bervisi pendek, atau bahkan tidak bervisi sama sekali tentang negerinya sendiri? John P. Kotter mendefinisikan visi sebagai gambaran realitas masa depan yang menarik dan logis. Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary, visi merupakan the act or power of imagination dan/atau unusual discernment or foresight. Karena itu bagi seorang politisi atau pemimpin visi (vision) amatlah penting. Ia merupakan energi dahsyat untuk membangun kembali bangsa dari reruntuhan sesuai visi yang dipeluknya. Dengan visi pula, seorang pemimpin bisa memimpin perbaikan negeri secara terarah, sistemik, dan berkesinambungan.

Dengan demikian visi merupakan hal tak terelakkan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa visi arah kehidupan berbangsa-bernegara menjadi tidak beraturan, tidak jelas kemana hendak dibawa, dan melingkar-lingkar dalam pusaran krisis. Tanpa visi yang jelas, tegas, dan rasional kebijakan seorang pemimpin pasti mendestruksi kehidupan publik. Perang antarsuku di Papua beberapa waktu lalu merupakan refleksi dari absennya visi presiden soal persatuan dan kesatuan nasional serta otonomi khusus. Lambannya pemerintah merespons persoalan kebangsaan di bidang politik, hukum, ekonomi merupakan bukti lain akan tiadanya visi tersebut. Dalam pemberantasan KKN misalnya pemerintah bukan saja terlihat gamang, namun juga tampak tidak serius. KKN belum dianggap sebagai persoalan serius, krusial, dan mendesak untuk diselesaikan sehingga pemerintah cenderung bersikap bussiness as usual. Celakanya sikap itupun masih jauh di bawah standar.

Di tengah masa transisi yang kini dialami Indonesia maka  kehadiran seorang pemimpin dengan visi yang jelas-tegas  terhadap arah masa depan dan persoalan kebangsaaan terasa makin mendesak.

Berpaham inklusif

 Bangsa kita diperjuangkan bukan saja oleh kalangan tertentu saja, melainkan oleh segenap anak-anak bangsa.  Bangsa kita pun terdiri dari beraneka ragam suku, agama, dan ras. Karena itu pemimpin yang cocok memimpin negeri ini adalah orang yang memiliki komitmen dan penghormatan terhadap pluralitas, dan menyadari sepenuhnya bahwa bangsa ini tidak mungkin diatur dengan menganakemaskan atau menganaktirikan satu golongan tertentu saja.

Dengan demikian eksklusivisme tidak boleh mendapat tempat dalam kepemimpinan nasional. Kita tidak menginginkan bangsa ini diatur oleh pemimpin berwawasan picik-sempit yang hanya mementingkan satu unsur saja, baik berdasarkan agama, ras, suku, atau golongan tertentu. Sebagai satu bangsa, satu tubuh, maka kita menghendaki semua anak bangsa bisa hidup nyaman dalam rumah besar Indonesia. Beragam suku, etnik, agama, dan golongan merupakan sunnatullah yang tidak boleh ditampik. Karena itu pemimpin yang baik adalah yang bisa menyantuni pluralitas tersebut dan tidak meminggirkannya. Sesungguhnya menyantuni dan menghormati pluralitas merupakan wujud ketaatan terhadap ketetapan-Nya.

Penentang Orba 

Satu kriteria penting lain yang harus dimiliki oleh pemimpin kita di masa depan adalah sosok yang tidak terikat dengan kekuasaan Orde Baru atau pernah menjadi bagian dari rezim itu. Ini penting  karena salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh presiden kita kelak adalah mengoreksi segenap kesalahan Orde Baru dan para pendukungnya. Salah satu bentuk koreksi tersebut adalah mengadili para pelaku KKN semasa Soeharto berkuasa dan setelahnya. Mereka yang kini bertekad menjadi bakal calon presiden namun sebelumnya merupakan pendukung, penikmat atau pemaklum Orde Baru—seperti kajian Komite Waspada Orde Baru (Tewas Orba) baru-baru ini—sebenarnya telah kehilangan legitimasi moral untuk mencalonkan diri. Hasil kajian Tewas Orba menunjukkan, dari 25 bakal calon presiden yang ada kini hanya dua orang yang menentang Orde Baru: yaitu M. Amien Rais dan Eros Djarot. Kedua sosok itu dinilai relatif bersih dari Orba.  Memang masih ada nama lain yang juga menentang Orba yaitu Gus Dur dan Megawati, namun kedua orang ini, menurut Tewas Orba, cenderung kompromistis terhadap rezim Orba dengan kritik-kritik yang tak berisiko.

Dengan berbagai kriteria tersebut publik bisa menilai sendiri bakal calon presiden mana yang paling cocok mengemudikan sejarah bangsa di masa depan. Dengan melihat track record bakal calon presiden yang kini memenuhi lanskap politik kita, sesungguhnya   publik tak kesulitan menentukan pilihannya. Apalagi kini mereka bisa secara langsung memilih presidennya sendiri. Persoalannya, maukah publik memanfaatkan peluang berharga tersebut dengan cermat, cerdas, rasional? Patut diingat, sekali publik melakukan kesalahan, maka penderitaan bangsa ini akan makin berkepanjangan.

Asmar Oemar Saleh, Advokat




No comments:

Post a Comment