Sunday, April 1, 2012

Mengkritisi Kerja KPK

Jika ada sebuah lembaga yang paling ditakuti para pejabat negara, terutama mereka yang mencoleng uang rakyat, KPK-lah lembaga itu. Jika ada lembaga yang kehadirannya tak begitu diinginkan, karena bisa jadi bumerang bagi pembuatnya, KPK-lah jawabannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah “macan” menyeramkan bagi para koruptor di negeri ini. Sebuah lembaga yang sejak awal memang diniatkan untuk memberantas korupsi yang massif. Dan karena itu, KPK menjadi musuh bagi aparat di lembaga-lembaga pemerintahan lain.

Sekali terendus KPK, jarang ada kasus yang dibiarkan lepas. Bahkan, semua tersangka yang disidik KPK, akhirnya dinyatakan bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Ini menunjukkan, KPK tidak asal dalam menyeret tersangka. Ini juga mengkonfirmasi komitmen dan keseriusan KPK dalam mengungkap kasus korupsi.

Berbagai sanjungan terhadap kerja KPK yang konsisten, tegas, dan tak pandang bulu dilantunkan. Bambang Widjojanto menilai, “Kendati perkara korupsi yang dibawa KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) belum mencapai ratusan, tapi KPK telah membangun kepercayaan publik tentang adanya lembaga penegak hukum yang secara serius melakukan pemberantasan korupsi.”

Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam Koran Tempo 16 Desember 2008 mengungkapkan catatan triwulan ketiga tahun 2008 PuKAT Korupsi, melalui pemantauan terhadap 43 perkara korupsi yang sedang dan telah masuk proses peradilan (Juli-September 2008) di pusat dan daerah.

Hasilnya, ”Dari sejumlah perkara tersebut, kolaborasi antara kejaksaan dan pengadilan negeri menjatuhkan vonis yang rendah, hanya rata-rata 12 bulan (1 tahun), bahkan ada yang dengan putusan bebas. Sedangkan perkara-perkara yang ditangani KPK dengan vonis dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi rata-rata 5 tahun 8 bulan, tanpa satu pun putusan bebas.”

Dari sinilah, Zainal berharap kiprah dan prestasi KPK itu dapat menjadi contoh bagi aparat penegak hukum di daerah dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Advokat senior Adnan Buyung Nasution juga mengungkapkan apresiasinya terhadap KPK. Dalam suatu wawancara dia berujar, ”Saya senang, KPK sekarang menunjukkan ”giginya” dengan berani bertindak. Kesan tebang pilih sudah berkurang. Kalau dulu KPK juga dianggap baik, tapi cacatnya tebang pilih. Sekarang ini, kesan itu sudah berkurang. Meski, belum bisa dikatakan sudah hilang.”

Ketiga pandangan positif di atas setidaknya bisa sedikit memberi gambaran tentang respek dan terpenuhinya ekspektasi masyarakat terhadap kerja KPK. Meski mungkin harapan yang disandangkan di pundak KPK jauh lebih besar dari pencapaian yang telah diperolehnya, namun track-record KPK sejauh ini bak oase di padang tandus. Cukup mengobati kepedihan masyarakat yang di tengah kesulitan ekonomi, dizalimi oleh perilaku para penjarah uang negara, yang kini telah tertangkap dan dipenjarakan oleh KPK.

Tak mengejutkan, dengan capaian sekaligus dukungan besar yang diperolehnya, KPK harus pula menghadapi tantangan dan resistensi dari dalam, dari sesama lembaga negara.

Misalnya, penolakan Komisi III DPR terhadap kebutuhan anggaran yang diajukan KPK untuk membangun gedung baru dan rumah tahanan sebesar Rp 90 miliar. Alasannya, anggaran itu belum pernah dibahas. Padahal, sebelumnya Panitia Anggaran DPR dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan telah menyepakati anggaran tersebut. Ada apa gerangan Komisi III DPR ikut campur?

Contoh lain, fakta terancamnya eksistensi Pengadilan Tipikor, akibat Rancangan UU Pengadilan Tipikor yang masih belum dibahas anggota DPR. Padahal, jika tidak kunjung selesai hingga akhir 2009, Pengadilan Tipikor menjadi inkonstitusional dan karenanya harus dihilangkan. Mengingat ketatnya agenda politik nasional pada 2009, nasib Pengadilan Tipikor tentunya ada di "ujung tanduk".

Namun, terlepas dari resistensi yang dihadapinya, KPK sendiri juga selayaknya terus menjaga konsistensinya sebagai penegak hukum. Mengistiqamahkan diri untuk tidak terjerembab pada ”bujukan” mengabaikan hukum dan hak asasi tersangka. Evaluasi internal, dalam hal ini, mutlak diperlukan.

Beberapa contoh langkah-langkah KPK yang dianggap melampaui batas hukum dan moral dapat disebutkan di sini. Kritik utama ditujukan pada cara KPK yang menyadap pembicaraan orang, yang dinilai melanggar hak privat orang. Sejatinya, penyadapan dilakukan hanya jika sudah menjadi tersangka, atau sudah jelas ada bukti-bukti permulaan tersangka. Bukan hanya bukti-bukti penyelidikan.

Contoh lainnya adalah rencana pengenaan baju tahanan KPK bagi para tersangka korupsi. Meski dilatari oleh semangat untuk membuat efek jera bagi para koruptor, tak ayal baju khusus KPK akan melanggar hak asasi tersangka. Terutama asas praduga tak bersalah, di mana seorang terdakwa baru dianggap bersalah setelah diputuskan hakim di pengadilan. Sebelum itu, seorang tersangka memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah. Bagaimana jika ternyata tersangka bebas, sementara dia terlanjur dicap koruptor gara-gara memakai baju tahanan khusus koruptor?

Selain itu, KPK masih dinilai belum benar-benar “bergigi” karena belum berani mengambil alih kasus BLBI. Penuntasan kasus BLBI oleh KPK merupakan sebuah keharusan mengingat KPK adalah lembaga penegak hukum yang dipandang paling kredibel dan masih dapat diharapkan saat ini.

Penanganan kasus BLBI oleh KPK didukung oleh landasan hukum yang kuat, seperti tercantum dalam Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang antara lain menegaskan bahwa KPK dapat mengambil alih kasus yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan jika ditemukan bahwa penanganan kasus tersebut berlarut-larut dan terindikasi korupsi.

Beberapa catatan ini tentunya hanya sebagai amsal bahwa KPK tak imun dari keliru. Berbagai kritik yang dilancarkan padanya, tak ada tendensi lain kecuali demi membuat KPK makin kuat dan berwibawa dalam memberantas korupsi kronis di negeri yang masih menjadi ”sarang penyamun” ini.

Advokat Asmar Oemar Saleh

No comments:

Post a Comment