Sunday, April 1, 2012

Menjaring Ketua KPK

Antusiasme yang cukup tinggi tampak dalam pecalonan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ratusan nama—sebagian besar pengacara dan pensiunan pegawai negeri, juga terdapat purnawirawan tentara dan polisi, akademisi, jaksa dan pensiunan jaksa, hakim serta kalangan swasta—meramaikan bursa pencalonan ketua komisi yang paling ditakuti para koruptor itu.

Boleh jadi, keprihatinan atas keterpurukan KPK, setelah ketuanya, Antasari Azhar, dihukum karena kasus pembunuhan melatarbelakangi niat sebagian calon untuk mendaftarkan dirinya. Sebagian lainnya agaknya termotivasi oleh fakta bahwa korupsi masih menjadi musuh terbesar bangsa ini untuk meraih kemajuan dan kemakmuran. 

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2009 yang dirilis oleh Transparency International masih cukup tinggi. IPK Indonesia pada 2009 adalah 2,8, dari skor 2,6 pada 2008. Meski meningkat dari urutan ke-126 pada 2008 menjadi ke-111 pada 2009, IPK Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga, seperti Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3).

Menimbang usia KPK yang kini tujuh tahun, IPK Indonesia seharusnya bisa meningkat jauh lebih tinggi. Sayangnya, prestasi KPK agaknya baru pada pengungkapan korupsi di tingkat permukaan, belum menyentuh ke asal-muasal membudayanya korupsi di negeri ini. Pendeknya, KPK belum mampu menggenjot kinerjanya ke arah pemberantasan korupsi secara radikal dan revolusioner. Maka, Ketua KPK mendatang mestilah orang yang memiliki visi yang tepat dalam memberantas korupsi.

Mengukur prestasi KPK

Setidaknya, kita bisa mengukur keberhasilan KPK melalui dua keberhasilan. Pertama, kemampuannya mengungkap korupsi-korupsi para pejabat tinggi negara. Kedua, menyingkap praktik mafia korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

KPK relatif berhasil untuk yang pertama. Bila tersangka korupsi di pengadilan umum acapkali divonis bebas atau ringan, di Pengadilan Tipikor justru sebaliknya. Selama tahun 2008 saja, sebagaimana dicatat Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 31 kasus korupsi yang ditangani KPK, tak ada satu orang pun yang divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan para hakim Tipikor pun rata-rata 4 tahun 2 bulan penjara.

Namun, untuk yang kedua, KPK belum menunjukkan taringnya. Belum ada jaringan mafia megakorupsi yang melibatkan oknum petinggi penegak hukum yang berhasil dibongkar dan dipenjarakan. Padahal, jika mencermati kronisnya korupsi yang menjangkiti Indonesia, mustahil bila oknum petinggi penegak hukum tak terlibat.

Belajar dari negara lain 

Di Hongkong, korupsi yang merajalela di negara itu pada 1970-an mendorong lahirnya Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 15 Februari 1974. ICAC mengukir prestasi spektakuler dengan mengadili 119 pimpinan polisi Hongkong, mengenai tuduhan konspirasi pada 24 polisi, serta menangkap ratusan aparat pemerintah yang korup. Hongkong menjelma menjadi negara terbersih kedua di Asia dan berhasil menarik investor asing untuk menanam modalnya di negara itu.

Korea Selatan menjadi preseden negara yang sukses memberantas korupsi dengan mengadili pejabat tinggi negara. Contohnya, dua mantan presiden negara itu, Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo, dihukum penjara sebelum akhirnya diberi pengampunan. Hasil tindakan tegas itu, dalam delapan tahun, Korea Selatan dapat memperbaiki IPK-nya dari 42 ke 39. 

Cina adalah amsal lain dari sebuah negara yang sangat serius dalam membasmi korupsi. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, tercatat lebih dari tiga ribu pejabat pajak, wali kota, pejabat tinggi polisi, dan pejabat kota yang diganjar hukuman mati (Tempo, 21 Juni 2010). Akibatnya, korupsi di negeri itu dapat ditekan dan berkurang drastis.

Rute KPK 

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK adalah: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan pencegahan korupsi; dan memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara.

Bercermin dari negara-negara yang sukses membasmi korupsi serta mengacu pada UU di atas, seharusnya fokus penanganan korupsi KPK diarahkan pada aparat penegak hukum dan para pejabat tinggi di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. 

Untuk mewujudkannya, KPK mesti melalui dua rute. Pertama, pembersihan di instansi-instansi penegak hukum yang potensial menjadi sarang mafia korupsi, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat. Kedua, penanganan kasus-kasus korupsi skala besar dan berkonsentrasi pada lembaga tinggi negara, tempat dibuatnya kebijakan-kebijakan penting yang menjadi pangkal bagi munculnya korupsi besar. Agar KPK tak kelebihan beban, korupsi kecil dan menengah sebaiknya diserahkan kepada kejaksaan dan kepolisian tapi dengan pengawasan KPK.

Kedua rute di atas sejatinya berujung pada satu muara: membasmi tuntas koruptor kelas kakap serta melibas jaringan mafia hukum. KPK adalah lembaga luar biasa yang sifatnya sementara. Oleh karena itu, ketika saatnya KPK harus bubar, lembaga penegak hukum lain harus telah steril dari korupsi dan siap melanjutkan tugas yang semula diemban KPK. 

Untuk menjalankan misi besar di atas, memang diperlukan Ketua KPK yang siap menjadi ”manusia setengah dewa”: memiliki komitmen yang tak terbeli, berpihak pada kebenaran, berintegritas tinggi, bahkan bila perlu siap memartirkan dirinya bagi usaha pemberantasan korupsi. Indonesia telah menjadi negeri para koruptor, penanganannya pun meniscayakan para penegak hukum kelas satu.

Memperkuat KPK adalah kunci pemberantasan korupsi di negeri ini. Target dan misi di balik dasar pembentukannya, itulah yang harus menjadi konsentrasi KPK ke depan. Inilah visi yang harus dipunyai Ketua KPK mendatang.

Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Meneg-HAM RI


No comments:

Post a Comment