Beda pendapat antara Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) dengan purnawirawan TNI/Polri telah sampai pada klimaksnya. Agar tidak menjadi polemik berkepanjangan, “konflik” tersebut mesti dilihat secara jernih dalam koridor hukum, bukan yang lain.
Sejauh ini baru dua kasus pelanggaran HAM berat yang diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc, yaitu kasus Timor-Timur tahun 1999 dan peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Dalam kasus Timor-Timur, dari 18 orang yang diadili, hanya 2 orang yang dinyatakan bersalah: mantan Gubernur Timor-Timur Abilio Soares dan mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Eurico Guterres. Namun, keduanya dibebaskan setelah permohonan peninjauan kembali mereka dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Dalam kasus Tanjung Priok, para terdakwa (purnawirawan AD) yang semula dinyatakan bersalah oleh Pengadilan HAM, kecuali Pranowo, semuanya dibebaskan di tingkat kasasi MA.
Terkait kasus Trisakti dan Semanggi I-II, pernah ada penilaian dari DPR bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Terakhir, pada 1 April 2008, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengembalikan empat berkas hasil penyelidikan Komnas HAM: kerusuhan Mei 1998, Wasior-Wamena, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, serta tragedi Trisakti dan Semanggi I-II. Menurut Kejagung, kasus Trisakti dan Semanggi I-II para terdakwanya sudah diputus bersalah oleh pengadilan militer. Untuk kasus Wasior-Waimena Kejagung minta Komnas HAM memperbaiki berkas penyelidikannya. Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Kejagung minta dibentuk Pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu.
Seperti tak mau menyerah, Komnas HAM kembali membentuk tim ad hoc penyelidikan kasus 1965-1966 dan penembakan misterius tahun 1980-an, disela penyelidikan kasus Talangsari-Lampung yang tengah berjalan. Di sinilah kegaduhan itu bermula: sejumlah purnawirawan TNI menolak memenuhi panggilan Komnas HAM. Seperti diwartakan, Kamis (24/4), sikap tersebut didukung oleh ratusan purnawirawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri.
Keberatan purnawirawan TNI/Polri terhadap panggilan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dituduhkan pada mereka didasarkan pada alasan berikut. Pertama, kontroversi pemberlakuan prinsip retroaktif (berlaku surut). Dalam Pasal 46 Undang-Undang (UU) Pengadilan HAM Nomor 26/2000, secara jelas dinyatakan bahwa untuk pelanggaran HAM berat berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa atau retroaktif. Namun, jika merujuk kepada hukum yang lebih tinggi, yakni Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, secara gamblang dinyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Kedua, belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Padahal, jika merujuk kepada Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26/2000, pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu (sebelum diundangkannya UU ini) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usul DPR.
Ketiga, para purnawirawan berargumen bahwa tindakan yang dilakukan aparat keamanan adalah dalam rangka menjalankan tugas sesuai hukum positif yang berlaku saat itu: dibekali surat perintah yang didasari kebijakan negara.
Keempat, gencarnya pemberitaan di media massa yang menggiring opini publik seolah purnawirawan yang dimintai keterangannya itu bersalah. Padahal, menurut Pasal 18 UU HAM Nomor 39/1999, setiap orang berhak untuk dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam pengadilan.
Pertentangan para purnawirawan dengan Komnas HAM tidaklah seruwet sebagaimana yang terlihat. Kembali kepada UU Nomor 26/2000, sejatinya, untuk perkara-perkara pelanggaran HAM berat di masa lalu ada dua instrumen yang bisa dipakai: pengadilan HAM ad hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tujuan utama KKR adalah: memberikan korban pelanggaran HAM hak bersuara secara individual; pelurusan sejarah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar pelanggaran HAM; memberi pendidikan dan pengetahuan untuk publik tentang akibat pelanggaran HAM; dan pertanggungjawaban para pelaku kejahatan HAM.
Dengan adanya KKR, hak korban untuk mendapatkan keadilan, berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, sebagaimana diamanatkan Pasal 35 UU Nomor 26/2000, menjadi lebih mungkin. Rekonsiliasi inilah pula yang dicontohkan Nelson Mandela dengan semboyannya to forgive but not to forget. Sayangnya, sekarang ini KKR telah dilikuidasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena pintu rekonsiliasi sudah ditutup, mau tidak mau para purnawirawan harus menghadapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dituduhkan pada mereka melalui jalur pengadilan HAM. Penyelesaian melalui jalur ini sudah pernah dilakukan, yaitu dalam kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Meski pengadilan tersebut dinilai belum memberi rasa keadilan bagi korban.
Bagaimana lantas dengan pangkal soal yang dipermasalahkan para purnawirawan di atas? Beberapa cara bisa ditempuh.
Pertama, uji materi (judicial review) ke MK berkenaan dengan perbedaan penafsiran terhadap Pasal 46 UU Nomor 26/2000 tentang prinsip retroaktif. Sebab, International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional sendiri menegaskan prinsip non-retroaktifnya (Pasal 24 ayat [1]). Ini sekaligus akan menjawab soal penerapan undang-undang (nilai-nilai baru) yang di masa lalu belum diundangkan, untuk kasus-kasus masa lalu yang sekarang dianggap melanggar HAM berat, agar tidak ada lagi tuduhan pada Komnas HAM yang menegakkan HAM dengan melanggar HAM.
Kedua, perlu adanya revisi UU Nomor 26/2000 untuk mempertegas apakah penyelidikan dan penyidikan boleh dilakukan ketika pengadilan HAM ad hoc yang disyaratkan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu belum dibentuk oleh DPR.
Ketiga, selayaknya para purnawirawan dan Komnas HAM duduk bersama dan masing-masing menjelaskan alasan legal-rasional pemanggilan atau keberatannya. “Perang” terbuka di media massa hanya menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi penegakan HAM.
Akhirnya, harus disadari oleh para purnawirawan TNI/Polri bahwa keberanian menghadapi pengadilan HAM adalah sebuah sikap ksatria. Tak seperti standar ganda Amerika Serikat yang menolak meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar berdirinya Mahkamah Pidana Internasional: mengkampanyekan HAM tapi takut diadili Mahkamah Pidana Internasional.
Asmar Oemar Saleh
Advokat dan Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Meneg HAM RI.
No comments:
Post a Comment