Tuesday, November 20, 2018

Apa Kata Tiga Saintis Besar Ini Tentang Tuhan?

Oleh: Ioanes Rahkmat

Fisikawan besar mekanika quantum kebangsaan Amerika, Richard P. Feynman (11 Mei 1918-15 Februari 1988), mengatakan bahwa “Aku tidak percaya bahwa sains dapat membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada; aku pikir, itu memang tidak mungkin. Dan jika tidak mungkin, maka bukankah suatu kepercayaan (a belief) kepada sains dan suatu kepercayaan kepada suatu Tuhan (yakni suatu Tuhan biasa dalam agama-agama) adalah suatu kemungkinan yang konsisten?”/1/

Maksud Feynman jelas bahwa sains dan agama-agama sama-sama percaya pada kemungkinan adanya Tuhan. Orang beragama percaya pada keberadaan Tuhan; dan kita tahu, kepercayaan itu (selama belum didukung bukti-bukti) berada dalam wilayah kemungkinan; dan para saintis tidak bisa membuktikan Tuhan itu tidak ada, artinya para saintis juga membuka diri juga pada kemungkinan Tuhan itu ada. Jadi, sains dan agama-agama, dalam hal ini, konsisten satu sama lain. Dengan Feynman menyatakan hal ini, jelas kita tidak bisa menggolongkan sang fisikawan agung ini sebagai seorang ateis. Kecuali jika anda meragukan keaslian ucapan Feynman yang saya telah kutip ini! Apakah dia seorang agnostik, saya ragu menjawabnya.

Menurut Richard P. Feynman dalam buku yang sama, sains dan agama bertemu pada ranah moralitas atau etika. Dalam ranah moral dan ranah sains orang mengajukan sebuah pertanyaan yang sama, yakni “Jika aku melakukan hal ini, maka apa yang akan terjadi?” Dalam dunia agama, pertanyaan ini mendorong orang untuk bertindak secara bermoral sedemikian rupa untuk menghasilkan banyak kebajikan; dalam dunia sains, pertanyaan ini mendorong para saintis untuk menguji pertanyaan-pertanyaan mereka lewat eksperimen-eksperimen. Dengan kata lain, persoalan “sebab dan akibat” sama-sama digumuli oleh para etikus dan para saintis; dan dalam rangka menjawab persoalan ini sains dan etika bertemu./2/ Jadi, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa sains dan etika tidak bisa bertemu untuk berdialog.

Astronom dan kosmolog agung kebangsaan Amerika, Carl Sagan (9 November 1934-20 Desember 1996),  juga menyatakan bahwa dia, sebagai seorang saintis, tidak menemukan bukti-bukti apapun bahwa Tuhan itu tidak ada. Dalam bukunya Broca’s Brain, dia menulis demikian:
Seorang ateis adalah seorang yang yakin bahwa Allah tidak ada, seorang yang (mengklaim) memiliki bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa Allah tidak ada. Tapi saya sesungguhnya tidak menemukan bukti yang kuat dan meyakinkan semacam ini. Karena Allah bisa dipindahkan ke zaman-zaman dan tempat-tempat yang jauh dan ke sebab-musabab yang paling mendasar, maka dapat dibayangkan bahwa kita harus tahu jauh lebih banyak hal mengenai jagat raya ketimbang yang kita ketahui sekarang untuk bisa yakin bahwa Allah yang semacam ini tidak ada. Merasa pasti mengenai keberadaan Allah dan merasa pasti mengenai ketidakberadaan Allah tampak bagiku adalah pilihan-pilihan keyakinan yang ekstrim tentang suatu subjek yang dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian, yang sesungguhnya hanya bisa menimbulkan sedikit keyakinan saja. Yang dimungkinkan adalah beranekaragam posisi tengah. Mengingat subjek ini telah menghabiskan sangat besar energi emosional, maka sarana yang esensial untuk mempersempit berbagai pilihan yang tersedia dari ketidaktahuan kolektif kita mengenai subjek keberadaan Allah, tampaknya adalah keberanian untuk terus bertanya, meragukan, dan berpikiran terbuka.”/3/


Jelas, Carl Sagan bukan seorang ateis, dan jelas juga kalau dia seorang agnostik, sebagaimana kentara sekali dalam sebagian pernyataannya di atas bahwa “merasa pasti mengenai keberadaan Allah dan merasa pasti mengenai ketidakberadaan Allah tampak bagiku adalah pilihan-pilihan keyakinan yang ekstrim tentang suatu subjek yang dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian, yang sesungguhnya hanya bisa menimbulkan sedikit keyakinan saja. Yang dimungkinkan adalah beranekaragam posisi tengah.”

Fisikawan teoretis terbesar abad ke-20, Albert Einstein (14 Maret 1879-18 April 1955), saat ditanya apakah sang fisikawan yang terkenal dengan teori relativitasnya ini percaya atau tidak percaya pada Allah, dalam sebuah wawancara yang diterbitkan 1930 dalam buku G. S. Viereck, Glimpses of the Great, Einstein menyatakan hal berikut ini tentang keberadaan Tuhan lewat sebuah perumpamaan.
“Pertanyaan anda [tentang Allah] adalah pertanyaan yang paling sulit dalam dunia ini. Ini bukanlah sebuah pertanyaan yang saya dapat jawab dengan ya atau tidak. Saya bukan seorang ateis. Saya juga tidak tahu apakah saya dapat mendefinisikan diri saya sebagai seorang panteis. Masalah yang terkandung dalam pertanyaan ini terlalu luas untuk pikiran-pikiran kita yang terbatas. Bolehkah saya menjawabnya dengan sebuah perumpamaan? Pikiran manusia itu, betapapun tingginya telah dilatih, tidak dapat memahami jagat raya. Kita berada dalam posisi sebagai seorang anak kecil yang memasuki sebuah perpustakaan besar yang dinding-dindingnya tertutup sampai ke langit-langit oleh buku-buku yang ditulis dalam banyak bahasa yang berbeda. Sang anak ini tahu bahwa seseorang pastilah telah menulis semua buku itu. Tetapi dia tidak tahu siapa para penulis semua buku itu dan bagaimana cara menulis isi buku-buku itu. Si anak tidak memahami bahasa-bahasa yang dipakai dalam buku-buku itu. Tetapi si anak menemukan buku-buku itu disusun lewat sebuah perencanaan tertentu, ditata dengan cara yang misterius, yang tidak dapat dipahaminya, tetapi hanya dapat diduga-duganya dengan samar-samar. Itulah, menurut saya, suatu sikap pikiran manusia, bahkan pikiran manusia yang terbesar dan paling beradab, terhadap Allah. Kita melihat suatu jagat raya yang tersusun dengan menakjubkan, yang patuh pada hukum-hukum tertentu, tapi kita memahami hukum-hukum itu hanya samar-samar. Pikiran kita yang terbatas tidak dapat memahami forsa misterius yang menggerakkan rasi-rasi bintang-bintang. Saya terpesona pada panteisme Spinoza. Saya bahkan lebih kagum lagi pada sumbangan-sumbangannya bagi pemikiran modern. Spinoza adalah filsuf modern terbesar, sebab dialah filsuf pertama yang memikirkan tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan, bukan sebagai dua hal yang terpisah.”/4/


Jelas sekali, Einstein memilih untuk menjadi seorang agnostik, yang hanya bisa samar-samar melihat ada Realitas Lain di balik semua hukum alam. Bahwa Einstein itu agnostik dan menolak baik posisi ateis maupun posisi teis, dengan sangat tajam dinyatakan olehnya, juga di tempat-tempat lain, demikian:
“Berulangkali aku telah katakan bahwa dalam pendapatku ide tentang suatu Allah personal adalah ide yang kekanak-kanakan. Anda dapat menyebut saya agnostik, tapi saya tidak ikut menghayati semangat tempur dan fanatisme dari orang-orang yang mengaku ateis. Semangat dan fanatisme mereka itu timbul dari keinginan membara dan kepedihan hati untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu indoktrinasi keagamaan yang mereka telah terima sewaktu masih remaja. Saya memilih untuk bersikap rendah hati sejalan dengan kelemahan pemahaman intelektual kita terhadap alam dan hakikat kehidupan kita sendiri.”/5/
Einstein bukan saja menolak ateisme, tetapi juga geram terhadap orang-orang ateis yang sempat diketahuinya. Tulisnya,
“Meskipun terdapat harmoni dalam jagat raya, yang dengan pikiran insaniku yang terbatas dapat kupahami, masih saja ada orang yang berkata bahwa Allah itu tidak ada. Tapi hal yang sungguh-sungguh membuatku marah adalah bahwa mereka mengutip aku untuk menunjang pandangan-pandangan mereka yang seperti itu.”/6/
Bahkan dengan sangat keras, Einstein menulis tentang orang-orang ateis, demikian:
“Orang-orang ateis yang fanatik itu... bak budak-budak yang masih merasa beratnya rantai-rantai yang pernah membelenggu mereka, yang sebetulnya mereka telah lepaskan dan buang setelah berjuang sangat keras. Dalam sakit hati mereka terhadap ‘candu masyarakat’, mereka adalah makhluk-makhluk yang tidak dapat tahan mendengar berbagai musik yang disenandungkan dunia-dunia.”/7/  
Kendatipun Einstein tidak mempercayai suatu Allah personal dalam teisme, dia menyatakan bahwa dia tidak akan pernah berusaha untuk menyerang kepercayaan ini karena
“Aku lebih menyukai kepercayaan teistik ini ketimbang orang melepaskan sama sekali pandangan-pandangan yang transendental.”/8/
Jika minimal ada tiga saintis besar yang menolak ateisme, dan mereka terbuka pada kemungkinan Tuhan itu ada, sudah sepatutnya orang-orang ateis tidak usah gagah-gagahan memproklamirkan ke seluruh dunia ideologi mereka bahwa Tuhan itu tidak ada (Yunani: a-theismos), dan sudah sepatutnya juga orang-orang teis bisa mengikuti jejak-jejak agung tiga saintis besar di atas, dengan belajar sains seluas-luasnya bahkan jika memungkinkan juga menjadi saintis-saintis besar.

Notes

/1/ Richard P. Feynman and Jeffrey Robbins, The Pleasure of Finding Things Out: The Best Short Works of Richard P. Feynman (New York: Basic Books, 1999), hlm. 247.

/2/ Richard P. Feynman and Jeffrey Robbins, The Pleasure of Finding Things Out: The Best Short Works of Richard P. Feynman, hlm. 255.

/3/ Carl Sagan, Broca’s Brain: Reflection of the Romance of Science (New York: Random House, 1974, 1979), hlm. 365. Penekanan dari saya.

/4/ George Sylvester Viereck, Glimpses of the Great (Duckworth, 1930), hlm. 372-373.

/5/ Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe (New York: Simon and Schuster, 2008), hlm. 390.

/6/ Prinz Hubertus zu Löwenstein, Towards the Further Shore (London: Victor Gollancz, 1968), hlm. 156. Lihat juga Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe, hlm. 389. Ronald W. Clark, Einstein: The Life and Times (New York: World Publishing Company, 1971), hlm. 425. Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology (Princeton: Princeton University Press, 2002), hlm. 97.

/7/ Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology, hlm. 97. Lihat juga Walter Isaacson, “Einstein and Faith”, Time 169: 47, 5 April 2007. Pernyataan Einstein ini disampaikan ke seseorang yang tidak disebutkan namanya olehnya pada 7 Agustus 1941 (lihat Einstein Archive, reel 54-927). Untuk memudahkan anda terfokus pada pandangan Einstein terhadap orang ateis, saya telah memotong bagian-bagian lain dari ucapannya ini yang tidak relevan. 

/8/ Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology, hlm. 51.

No comments:

Post a Comment