Oleh: Rikardus Jaya Gabu
Pendahuluan
Meister Eckhart dikenal
sebagai bapak mistisisme Jerman, musuh bagi para pemikir Kristen, sebagai juru
bicara dari masa pencerahan, dan sebagai pelopor idealisme Jerman[1].
Banyaknya gelar yang diberikan kepadanya karena pemikiran-pemikirannya yang
sangat cemerlang dan juga bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Meski
demikian, ia lebih dikenal sebagai seorang mistikus Jerman yang sangat
berpengaruh dalam sejarah pemikiran barat. Dalam usahanya untuk memahami Allah,
ia tidak begitu berharap pada spekulasi-spekulasi teologi dan metafisika,
tetapi ia menaruh perhatian besar pada interpretasi atas pengalaman-pengalaman
mistik.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa pemikiran Eckhart juga sangat di pengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari
Thomas Aquinas dan aliran Neo-Platonis. Maka, dalam tulisan ini akan sangat
jelas diperlihatkan, bagaimana pemikirannya berlandaskan pada ide-ide Thomas
Aquinas dan aliran Neo-Platonis. Meski pun demikian, bukan berarti bahwa
Meister Eckhart hanya mengikuti kedua tokoh besar di atas, tetapi justru dengan
pemikiran kedua tokoh itu, Eckhart dapat menjelaskan pemikirannya secara
detail. Dalam tulisan ini pun akan diperlihatkan bagaimana Eckhart menjelaskan
pemahamannya akan Allah dan dimana posisi manusia serta ciptaan lain dalam
pemikirannya. Dalam hubungannya dengan itu, ia akan menjelaskan Allah sebagai
intelek dan relasinya dengan jiwa manusia yang merupakan ciptaan Allah sendiri.
Maka, berbagai pengaruh dari pemikiran Thomas Aquinas dan Neo-Platonis akan
sangat membantunya dalam menguraikan pemikirannya sendiri. Dari semuanya itu,
pada akhirnya akan berlabuh pada pemikiran spiritualitasnya, yaitu bagaimana
cara mendekatkan diri pada Allah.
Dengan demikian, kami dari
kelompok 10 menyadari bahwa ide-ide cemerlang dari Meister Eckhart sangat
banyak dan tidak mungkin bisa merangkum semuanya dalam tulisan yang sederhana
ini. Maka, kami memilih beberapa topik yang menurut kami sangat menarik dan
relevan untuk dibahas dalam kuliah “Seminar Teologi Abad Pertengahan” ini. Ada
pun susunan topik yang akan kami bahas dalam tulisan ini, yaitu sebagai
berikut; I pendahuluan, II Riwayat Hidup dari Meister Eckhart, III Pemahaman
Eckhart akan Allah, IV Ada adalah Allah, V Pelepasan, dan VI Penutup.
Riwayat Hidup Meister
Eckhart
Meister Eckhart adalah
seorang Master Teologi dari ordo Dominikan dan sebagai seorang Imam yang sangat
terkenal. Nama aslinya adalah Yohanes Eckhart[2]. Ia lahir di Tambach, Thuringen[3].
Tetapi sumber lain mengatakan bahwa Eckhart lahir di Hoccheim dekat Erfurt,
sekitar tahun 1260. Ayahnya adalah seorang pelayan pada sebuah istana bangsawan
di Thuringen Forest[4].
Eckhart bergabung dengan ordo Dominikan di Erfurt pada umur belasan tahun. Ia
mulai belajar teologinya di Cologne, tempat dimana Albertus Magnus menjadi
kepala biara dan wafat. Meski pun Eckhart tidak banyak diajarkan oleh Albertus
Magnus sendiri, tetapi yang jelas dia dipengaruhi olehnya dan tulisan-tulisan
dari Thomas Aquinas, dan berbagai tulisan yang terkemuka saat itu.
Pada tahun 1293, Eckhart menjadi seorang sarjana muda dalam bidang teologi di Paris. Dia menulis komentar-komentar atas karya Sentences milik Petrus Lombardi. Selanjutnya, pada tahun 1302-1303 ia menjadi pengajar di Paris. Dalam rentangan waktu yang sama, ia kemudian menerima gelar master dalam bidang teologi, dan selanjutnya dikenal sebagai “Meister” Eckhart[5]
Setelah menjabat sebagai
kepala biara di Erfurt dan menjadi provinsial di Thuringen, pada tahun 1311,
Eckhart kembali ke Paris dan tinggal di sana sampai tahun 1313. Karyanya Parisian
Qouestions dihasilkan pada periode ini. Setahun kemudian ia kembali ke
Jerman dan menjadi seorang provinsial di saxony, jabatan ini dipegangnya dari
tahun 1303 hingga 1311. Pada periode tersebut, ia membuat banyak tulisan yang
sebagian besar ditulis dalam bahasa Latin, termasuk juga karya lain seperti; Sermons,
Readings on the Book of Ecclesiasticus, his Commentary on Genesis dan Commentary
on Wisdom[6].
Pada rentangan waktu 1311-1313, ia menerima jabatan sebagai guru besar dalam
bidang teologi di Strasbourg. Di Strasbourg, ia aktif menjadi seorang pengajar
dan pembimbing spiritual.
Pada tahun 1323 ia tinggal
di Cologne, yaitu tempat dimana ia mendapatkan tantangan awal atas
tulisan-tulisannya. Ia diinvestigasi oleh anggota biarawan Dominikan semdiri.
Kemudian investigasi kedua dilakukan atas anjuran Uskup Henry dari Cologne, dan
pada bulan september 1326 Eckhart dinyatakan bidaah oleh komisi diosesan. Tetapi,
Eckhart menyangkal atas tuduhan ini, ia menyatakan bahwa bidaah itu bukan
persoalan intelektual. Jika ada kekeliruan dalam pandangan teologi, hal itu
tidak membuat orang menjadi bidaah, hanya sikap tidak taat yang bisa disebut
bidaah. Ia membela dirinya dengan menyatakan bahwa ia selalu setia pada Gereja[7].
Setelah dinyatakan bidaah,
kemudian Eckhart memohon kepada Paus Yohanes XXII. Setelah itu, sambil menunggu
keputusan komisi kepausan, sekitar tahun 1329 ia meninggal di Avignon. Kemudian
pada 27 Maret 1329, Paus Yohanes XXII secara resmi mengumumkan dokumen In
agro dominico. Dokumen ini bukanlah berisi surat kutukan, tetapi hanya
berupa daftar atas dua puluh depalan dalilnya, dan jumlah itu mewakili
keseluruhan dalilnya yang masuk dalam daftar terlarang[8]. Dokumen ini membagi dua kelompok
karyanya yang dilarang, yaitu bagian pertama berisi sebelas karyanya yang
dinyatakan “berbahaya” dan kelompok kedua berisi tujuh belas karyanya yang
dinyatakan “sesat”[9],
yaitu yang sungguh berisi pemikiran bidaah yang berlawanan dengan ajaran
Gereja Katolik.
Ada beberapa karya yang
dihasilkan oleh Meister Eckhart, tetapi dalam tulisan ini, hanya beberapa saja
yang dapat dilampirkan oleh kelompok, yaitu: Sermons, Readings on the Book
of Ecclesiasticus, his Commentary on Genesis, Commentary on Wisdom, Parisian
Question, Prologues, Commentary on Exodus,dan lain-lain.
Pemahaman Eckhart akan
Allah
Dalam karyanya Parisian
Questions, khususnya pada bagian yang pertama, Eckhart fokus membahas
tentang eksistensi dan pemahaman Allah[10]. Bahwa hakikat pemahaman Allah lebih
tinggi dari eksistensi. Eckhart menyangkal bahwa Allah memahami karena Allah
ada. Sebaliknya Eckhart menyatakan bahwa Allah ada karena Allah memahami[11].
Allah adalah sebuah intelek dan pemahaman (Deus est intellectus et
intelligere), dan pemahaman-Nya sendiri adalah dasar dari eksistensi-Nya.
Sehingga, bagi Eckhart; eksistensi dan pemahaman Allah adalah identik, baik
dalam realitas maupun dalam taraf pikiran. Di samping pernyataan itu, Thomas
Aquinas menyatakan dalam Summa-nya, bahwa dalam Allah, tindakan “mengada
dan mengetahui” adalah satu dan sama, perbedaan ada, hanya dalam cara kita
memahami keduanya[12].
Menurut Thomas Aquinas, manusia bisa menciptakan banyak konsep untuk menunjukkan adanya Tuhan, tetapi konsep-konsep itu tidak searti dengan Allah yang sesungguhnya. Salah satu hal yang bisa membuktikan adanya Allah adalah dengan melihat suatu pluralitas realitas yang sempurna. Bahwa suatu kesempurnaan pluralitas menunjukkan Allah sungguh ada. Menanggapi pemikiran Thomas Aquinas yang demikian, Eckhart menolaknya, karena Aquinas menggunakan atribut ciptaan untuk melukiskan Allah. Menurut Ekhart, Allah itu melampaui keseluruhan ciptaan, termasuk pikiran manusia[13]. Eckhart setuju dengan Aquinas, bahwa segala konsep manusia tentang Allah tidak searti dengan Allah sendiri, tetapi Eckhart lebih menekankan bahwa tidak ada distingsi dalam Allah sendiri, bahkan jika manusia berpikir tentang Allah, tidak boleh memikirkan bahwa dalam Allah ada dua hal yang terpisah, Allah harus dipikirkan satu. Bahkan ia mengatakan bahwa, jika ada yang melihat dualitas atau adanya distingsi dalam Allah, ia sama artinya tidak melihat Allah.
Eckhart rupanya ingin memisahkan antara intelek dan eksistensi ciptaan. Bagi Eckhart, ungkapan bahwa eksistensi sebagai yang pertama dan terpenting hanyalah sebuah ungkapan konotasi. Allah bukanlah eksistensi dari ciptaan, tetapi Allah adalah intelek yang merupakan penyebab dari segala eksistensi yang ada. Gagasan ini tentunya sangat berbanding terbalik dengan gagasan Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa eksistensi adalah kepenuhan segala kesempurnaan. Eckhart menyatakan bahwa dalam Allah tidak ada eksistensi (non est ens nec esse)[14].
Menurut Eckhart, tidak mungkin ada sesuatu yang secara esensial menjadi penyebab dan sekaligus sebagai akibat. Jika sesuatu yang menjadi penyebab tidak berbeda secara esensial dengan sesuatu yang menjadi akibat, maka tidak ada gunanya berbicara akan suatu penyebab dan suatu akibat, karena keduanya sama. Maka, demikian halnya dengan Tuhan. Tuhan adalah penyebab dari segala eksistensi yang ada, tetapi Ia bukanlah eksistensi itu sendiri. Dengan kata lain, sebuah prinsip tidak akan pernah sama dengan prinsip-prinsip yang mengikutinya, karena prinsip yang pertama adalah penyebab bagi prinsip-prinsip yang lain. Dalam bahasa lain dikatakan bahwa seperti sebuah titik yang tidak akan pernah menjadi sebuah garis[15]. Dengan demikian, Tuhan sebagai intelek memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekadar sebagai sebuah eksistensi.
Bagaimana Eckhart menggambarkan hakikat intelek, adalah sesuatu yang perlu dipahami secara detail, karena berkaitan dengan pandangannya tentang Tuhan. Pertama-tama bahwa hal itulah (intelek) yang menguatkan gagasan Eckhart yang menyatakan bahwa dalam Tuhan tidak ada eksistensi. Kemudian, pemikirannya tentang intelek adalah sesuatu yang sangat esensial untuk memahami antropologi teologi dan spiritualitasnya.
Aristoteles dalam karyanya De Anima, berargumentasi bahwa untuk berpikir tentang adanya intelek, tidak boleh dicampuradukkan atau harus dipisahkan dari materi[16]. Pikiran menjadi apa yang ia ketahui, bukan secara material tetapi secara intensional. Agar bisa berpikir tentang pohon yang ada di luar jendelaku, aku perlu mengabstraksikan bentuk spiritual dari pohon tersebut, yaitu “kepohonan”. Kepohonan adalah bentuk spiritual dari pohon yang dapat diamati. Kemudian pikiranku menjadi pohon secara intensional, setelah pikiranku mengabstraksikan bentuk spiritual dari pohon yang saya amati.
Atau dengan analogi warna dari Aristoteles, bahwa kekuatan dari suatu penglihatan untuk bisa menerima berbagai jenis warna adalah ia harus tanpa warna. Demikian pun intelek, ia bukanlah suatu hakikat bentuk sehingga bisa mengetahui banyak bentuk benda. Saya bisa menerima berbagai macam warna jika kacamata yang saya gunakan tak berwarna, jika saya menggunakan kacamata berwarna hitam, maka warna-warna lain yang saya amati tidak akan nampak dengan jelas. Ilustrasi di atas sangat membantu Eckhart dalam menjelaskan perbedaan intelek dengan ciptaan. Bahwa manusia bisa berpikir segala sesuatu, jika inteleknya berbeda dengan segala sesuatu yang bisa diketahui, yaitu dari segala sesuatu yang ada. Maka, kemudian Eckhart mengambil suatu kesimpulan radikal, bahwa intelek itu tidak ada. Ia melampaui segala benda material, tidak berbadan, universal, tidak menentu, berada di luar ruang dan waktu, dan melampaui eksistensi. Dengan demikian, karena intelek tidak ada dalam realitas, maka ia bisa memahami segala eksistensi yang ada.
Ini juga berlaku untuk
“intelek ilahi”, tetapi sebagaimana kita adalah intelek, dan diberikan
keistimewaan oleh intelek ilahi, itu juga berlaku untuk kita. (Gagasan ini
adalah salah satu gagasan yang dianggap heretik oleh kepausan[17]). Inilah sebabnya mengapa inti ada kita
atau “dasar dari jiwa”, tidak dapat dibedakan dengan Tuhan. Dalam karyanya Sermon
2, Eckhart menggambarkan bahwa dasar jiwa kita adalah “bukan ini dan itu”,
ia tidak memiliki nama, ia tidak berbentuk, ia sama sekali kosong dan bebas,
sama seperti Allah dalam diri-Nya sendiri adalah kosong dan bebas. Ia
sepenuhnya satu, sama seperti Allah adalah satu.
Kemudian dalam karyanya Sermon
69, Eckhart menggambarkan lima kekayaan jiwa yang sama seperti intelek,
satu dengan Allah dan secara lebih spesifik dengan sabda Allah. Pertama,
sejauh jiwa adalah intelek, ia bukan di sini dan sekarang. Kedua, ia
memberikan “ketiadaan” atas Allah sebagai intelek. Sebagaimana secara nyata
bahwa kekuatan ini tidak ada, maka Allah juga tidak ada. Ketiga, ia
murni dan tak bercampur. Kemudian Eckhart mengisyaratkan pada implikasi
spiritual seperti berikut: jika secara tidak jelas jiwa satu dengan Allah pada
inti eksistensi jiwa itu sendiri, sejauh ia sebagai intelek, keduanya harus
saling terlepas: ia sebaiknya secara penuh tidak bercampur…keempat,
Eckhart memperkenalkan sebuah dinamik atau semangat yang berasal dari dalam
jiwa. Kelima, Eckhart memperkenalkan sebuah kesimpulan dari
karakteristik yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu jiwa adalah sebuah
gambaran dari persona kedua, sabda atau gambar.
Selain itu, dalam usahanya untuk menjelaskan relasi antara intelek dengan jiwa manusia, Eckhart mendeskripsikan jiwa manusia dalam lima level; yaitu sebagai berikut: Pertama: jiwa manusia bekerja pada level yang paling rendah, yaitu melalui badan. Pada level ini, jiwa manusia termanifestasi pada perpaduan berbagai organ, perasaan, bahkan pada proses pencernaan. Kedua: fungsi jiwa manusia termanifestasi pada kemarahan, harapan, dan pada tingkat intelektual yang paling rendah, yaitu sejauh sesuatu itu bisa diterima oleh akal sehat. Ketiga: Jiwa manusia bekerja melalui ingatan, kehendak, dan pada level intelektual yang lebih tinggi. Keempat: jiwa manusia memungkinkan manusia untuk mengetahui sesuatu dengan mengabstraksikannya secara total, yaitu membayangkan bentuk-bentuk murni dari suatu benda. Kelima: pada akhirnya, jiwa manusia memiliki berbagai macam pengetahuan untuk mengenali Allah[18].
Kesatuan antara hakikat intelektual dengan jiwa manusia ini, sangat intim dimana jiwa manusia sungguh berpartisipasi dalam dinamika intra-trinitas. Dengan memberi hakikat intelektual pada jiwa dan hakikat yang tidak menentu, Eckhart kemudian menyatakan bahwa manusia juga ambil bagian dalam dinamika intra-trinitarian. Di satu sisi, tidak ada sesuatu yang berbenturan dalam hubungan antara generasi “intra-divine” Putra dengan Roh Kudus, dan di sisi lain yaitu antara ciptaan dan penyucian dunia. Karena manusia adalah ada yang berintelek, maka manusia itu bagian dari generasi intra-trinitarian Putra. Eckhart mengklaim bahwa Bapa tidak hanya melahirkan putra, tetapi lebih lanjut ia menyatakan bahwa kita secara tidak jelas satu dengan putra yang adalah Putra Bapa. Bapa memberikan kelahiran kepada putra. Eckhart menyatakan bahwa, Ia memberikan saya kelahiran, saya, putra-Nya, dan putra yang sama. Ia memberikan kelahiran tidak hanya kepada saya, putra-Nya, tetapi Ia memberikannya kepada saya seperti dirinya sendiri dan dirinya sendiri sama seperti saya dan kepada saya sebagai ada-Nya Putra atau sabda adalah wahyu Allah.
Ada Adalah Allah
Dalam Prologue,
Meister Eckhart menjelaskan tentang keberadaan Allah yang berasal dari diri-Nya
sendiri atau eksistensi-Nya (Esse est Deus). Hal ini muncul untuk
memperlihatkan keberadaan manusia sebagai ciptaan yang berasal dari Allah.
Keberadaan Allah dan ciptaan itu tidak dapat dipisahkan karena keduanya
memiliki kesamaan dan perbedaan yang radikal yang melampaui pikiran manusia.
Titik berangkatnya adalah jika eksistensi adalah sesuatu yang lain daripada
Allah, maka ia diciptakan dari suatu eksitensi yang lain, dan bukan Allah, maka
bagi Eckhart hal ini tidak mungkin, karena Allah dan eksistensi adalah identik
dan tidak dapat dipisahkan.[19]
Maksud Eckhart dalam
argumen di atas adalah untuk membedakan pandangan sebelumnya tentang Allah
sebagai intelek. Keberadaan Allah itu melampaui pikiran manusia. Ketika
eksistensi dan Allah itu identik maka itu merupakan pikiran yang paling
sederhana untuk menunjukkan keberadaan Allah. Bagi Eckhart, pembicaraan tentang
eksistensi Allah (Esse est Deus) harus dilihat dalam rangka penciptaan.
Keberadaan ciptaan itu sangat bergantung pada Allah karena apa yang dimiliki
oleh ciptaan diyakini berasal dari Allah. Dengan demikian apa yang dimiliki
oleh ciptaan tidak dimiliki dari dirinya sendiri sebagai sesuatu yang
melekat didalamnya, tetapi itu dimohonkan dan diterimanya secara terus-menerus
dari Allah yang kepada-Nya segala hormat dan pujian diberikan.[20]
Dan Allah itu ada karena diri-Nya sendiri.
Segala sesuatu yang
dimiliki oleh ciptaan merupakan pemberian Allah. Kesempurnaan yang mereka
miliki bukan berasal dari dirinya sendiri tetapi sangat bergantung pada
kebaikan Allah. Ciptaan tidak akan ada tanpa kehadiran Allah.[21] Pernyataan ketiadaan radikal dari
ciptaan, dinyatakan bida’ah oleh Gereja Roma. Allah dan ciptaan itu
memiliki kesamaan tetapi juga memiliki perbedaan radikal yang melampaui pikiran
manusia. Kesamaannya adalah bahwa Allah dan ciptaan itu bersifat ilahi dan
keilahian ciptaan itu diperoleh dari Allah. Allah itu berbeda secara radikal
dari ciptaan karena tidak bisa dipisahkan satu sama lain.[22]
Denys Turner mencoba
menjelaskan keberadaan Allah dan ciptaan yang radikal menurut Eckhart dengan
cara apophatisisme (via negatif). Menurutnya, benar bahwa Eckhart
memahami Allah sebagai sesuatu yang sangat berbeda dengan ciptaan, sehingga
bahasa manusia sering merusak perbedaan itu dengan interpretasinya. Bagi kita,
hal ini jauh lebih mudah untuk membedakan hal-hal yang memiliki kesamaan
seperti pohon oak dan pohon cemara daripada mengatakan hal-hal yang
sungguh-sungguh berbeda. Mustahil untuk mengatakan bahwa Allah berbeda dari
hal-hal yang diciptakan. Hal ini Nampak dalam karyanya Commentary on Exodus,
yaitu, pertama, bahwa ketiadaan sebagai ketidaksamaan antara pencipta dan
ciptaan. Kedua, ketiadaan adalah kesamaan antara Allah dan yang diciptakan.
Alasan ini yang memperkuat pernyataan bahwa keberadaan total dan kesempurnaan
ciptaan terarah kepada Allah. Ketiga, dia mengkombinasikan dua pernyataan
sebelumnya bahwa ketiadaan adalah ketidaksamaan dan kesamaan antara Allah dan
ciptaan.
Ketidaksamaan dan kesamaan
Allah itu sangat sulit dijelaskan karena melampaui pikiran manusia serta
keterbatasan bahasa manusia. Bagi Eckhart manusia akan selalu mengarahkan
hidupnya kepada Allah. Oleh karena itu, Allah itu melampaui ada karena ada itu
sendiri berasal dari Allah. Ada dari segala ciptaan dan kesempurnaan mereka
tergantung pada Allah karena eksistensi mereka berasal dari Allah. Kemudian,
karena Allah secara radikal berbeda dari ciptaan maka keduanya tidak bisa
dibedakan. Dengan kata lain, perbedaan keduanya melampaui perbedaan biasa yang
dapat dipahami oleh manusia[23].
Pelepasan
Eckhart menyatakan bahwa
ada tiga hal yang menghalangi manusia untuk mendengarkan Firman yang kekal,
yaitu badani, keragaman, dan kesementaraan.[24] Karena itu semua bersifat manusiawi dan
bersifat sementara. Ciptaan yang selalu berubah-ubah ini akan sulit
mendengarkan firman kekal yang membutuhkan kesetiaan dan ketekunan. Akan
tetapi, untuk dapat memahami firman yang kekal ini manusia harus melepaskan
atribut ciptaannya sebagai manusia demi kesatuan dengan Allah. Eckhart
menjelaskan bahwa jika ingin bersatu dengan Allah, manusia harus
sungguh-sungguh bebas dan mengosongkan diri dari segala realitas duniawi,
bahkan dari segala apa yang ia ketahui tentang dunia[25]. Saat manusia bebas dari segala realitas
duniawi yang bersifat sementara itu dan sungguh-sungguh mengosongkan diri, itu
berarti manusia berada dalam kondisi pra-eksistensinya dan sebagaimana ia masih
dalam keadaan seperti intelek yang kosong dan tidak menentu.
Dalam ide spiritualnya Eckhart menjelaskan bahwa Allah menginginkan manusia yang universal, bukan manusia individu. Artinya, hakikat manusia yang terlepas dari segala ikatan atau sifat-sifat manusia yang bersifat duniawi dan segala aspek manusia yang bersifat individu. Maka ketika manusia melepaskan itu semua, hanya tinggal hakikat manusia saja sehingga ia akan mudah terarah kepada Allah. Hakikat manusia inilah yang menyatu dengan Allah. Hal ini yang dinamakan dengan “pelepasan”.
Ketika manusia sungguh mengarahkan diri kepada Allah bukan berarti dia anti terhadap dunia atau ciptaan lain. Tetapi, justru dengan melihat ciptaan yang lain dia berusaha menemukan Allah melalui mereka. Kita harus terlibat ke dalam dunia tanpa bersikap posesif dan biarkanlah Allah mengungkapkan diri-Nya. Para pengikut Eckhart memahami pelepasan bukan sebagai suatu pengalaman di samping pengalaman-pengalaman lain tetapi lebih pada sebuah skema atau kategori pengalaman. Karena pelepasan adalah skema dari semua pengalaman, skema itulah yang membentuk pengalaman manusia.[26] Hal ini merupakan disposisi, yaitu suatu cara relasi dengan dunia dan bukan sebuah pengalaman itu sendiri. Bagi Eckhart, pelepasan itu bukanlah beberapa pengalaman seperti yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia akan mengarahkan diri kepada Allah dengan sungguh jika dia mengosongkan diri sama seperti Allah sendiri. Pengosongan diri manusia dari berbagai ikatan duniawi dapat dilakukan dengan kontemplasi dan aktivitas-aktivitas imajinatif[27] untuk memikirkan manusia universal yang sungguh-sungguh bebas. Pengosongan diri ini adalah cara manusia bertindak untuk bersatu dengan Allah. Manusia sungguh-sungguh terlepas dari segala tindakannya dan hanya memuji dan memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, pelepasan merupakan sebuah paham teosentris yang sangat radikal.
Penutup
Setelah membahas dan
mencermati pemikiran dari Meister Eckhart, penulis berpendapat bahwa Meister
Eckhart sangat detail dan padat dalam menjelaskan pemikirannya. Meski pun
beberapa idenya dianggap heresi oleh Gereja Roma, tetapi perlu diakui bahwa
ide-idenya sangat cemerlang dan mampu mengantar orang untuk berimajinasi
tentang Allah. Memang benar bahwa dia adalah seorang mistikus Jerman yang
sangat terkenal, hal ini bisa dibuktikan saat memahami pemikirannya.
Pemikirannya penuh dengan hal-hal mistik yang tentunya tidak mudah dipahami,
karena tidak dapat ditemui melalui alat pengindera manusia.
Selain itu, pemikirannya
tentang “ketiadaan total ciptaan” dan eksistensi ciptaan yang berasal dari
Allah melalui emanasi memang sangat bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.
Hal ini membuktikan pula bahwa berbagai pemikirannya yang cemerlang, tidak
begitu banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuannya di bangku pendidikan, terutama
dari ilmu teologi, tetapi lebih pada interpretasinya pada pengalaman-pengalaman
mistik. Ilmu-ilmu yang didapatnya di tempat kuliah hanya cukup membantunya
untuk menjelaskan, supaya bisa dimengerti oleh orang lain.
Kemudian, mistikus Jerman
ini juga dikenal sebagai pemikir yang kurang konsisten dalam menjelaskan
teorinya. Selain karena ia banyak dipengaruhi oleh dua aliran besar (Thomistik
dab Neo-Platonis), menurut E. Gilson, kesulitan paling besar dalam membaca
karya Meister Eckhart adalah, bukan rumitnya pemikirannya, tetapi seberapa
konsisten interpretasinya atas berbagai pengalaman mistik[28]. Dalam tulisan ini bisa dilihat,
bagaimana ia menjelaskan bahwa Allah itu sebuah intelek dan bukan eksistensi
atau ada. Kemudian pada bagian lain ia katakan bahwa “ada adalah Allah”,
meskipun bisa dimengerti bahwa hal yang kedua bertujuan untuk membedakan
hakikat pencipta dan ciptaan. Akhirnya, tulisan ini tentunya banyak kekurangan
sana-sini, maka penulis memohon usul dan saran, agar tulisan ini bisa memiliki
mutu yang lebih berkualitas.
Daftar Pustaka
Edwards, Paul (edt). 1967. Encyclopedia
of Philosophy. London: Collier Macmillan Publishers [Copyright ©]
Hellwig, Michael Glazier
and Monika K.. 1994. The Modern Catholic Encyclopedia. Collegeville,
Minnesota: The Liturgical Press
Lane, Tony. 2007. RUNTUT
PIJAR: Sejarah Pemikiran Kristiani. terjemahan oleh Conny-Item Corputy.
Jakarta: Gunung Mulia
Maurer, Armand A.
(translater). 1974. Parisian Questions and Prologues. Toronto, Canada:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies
Nieuwenhove, Rik Van. 2012.
An Introduction to Medieval Theology. New York: Cambridge
University Press
[1] Armand A. Maurer, Parisian
Questions and Prologues (Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval
Studies, 1974) hlm. 7
[2] Michael Glazier and Monika
K. Hellwig, The Modern Catholic Encyclopedia (Collegeville, Minnesota:
The Liturgical Press, 1994), hlm. 560
Press, 2012) hlm.264
[9] Tony Lane, RUNTUT
PIJAR: Sejarah Pemikiran Kristiani.( terjemahan oleh Conny-Item Corputy).
2007. Jakarta: Gunung Mulia. hlm. 113-114
[16] Materi yang dimaksud di
sini adalah sesuatu yang dapat diamati oleh panca indera manusia, misalnya
pohon, manusia, dan lain sebagainya.
[18] Paul Edwards (edt), Encyclopedia
of Philosophy (London: Collier Macmillan Publishers [Copyright ©], 1967)
hlm. 450
[25] Reiner Schurmann, MEISTER
ECKHART: Mystic and Philospher (Bloomington: Indiana University Press,
1978) hlm. 14
Sumber: Ricky gbt
No comments:
Post a Comment