Jangka sepuluh tahun reformasi belum memberi arti pada pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum di Indonesia: reformasi hukum masih menjadi masalah krusial dan mencemaskan. Meski perlahan-lahan kasus korupsi terkuak dan pelakunya berhasil disidangkan, namun jumlahnya belumlah seberapa dibanding besarnya gunung es kasus KKN yang melanda negeri ini.
Terkuaknya satu-dua oknum mafia peradilan, seperti yang terlihat dari tertangkap tangannya seorang jaksa yang dituduh menerima suap, belum membuat kita menarik nafas lega: gurita mafia peradilan yang sebenarnya (hakim, jaksa, advokat, polisi, dan pelaku penyuapan), masih belum tersingkap jelas.
November 1828, film terbaik FFI tahun 1979, arahan sutradara legendaris Teguh Karya yang mengambil tema dan latar seputar Perang Diponegoro, yang sarat dengan nilai perjuangan, kebangsaan, pengorbanan, dan kejujuran bisa memberi inspirasi. Simaklah ucapan sang tokoh utama, Kromo Ludiro, kepada anak perempuan sulungnya, Laras:“...Sebuah pademangan, jika terdiri dari banyak maling, akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa terdiri. Sebuah kabupaten, jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan, jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk, sebagian besar terdiri dari maling, lebih baik tanah Jawa ini tenggelam ke dasar laut.”
Rantai “Mafia Peradilan”
Kita butuh loncatan besar: terobosan yang berani dan terstruktur dalam upaya pemberantasan “maling” (koruptor), agar negeri ini mampu “berdiri kokoh” dan tidak “tenggelam ke dasar laut” sebagaimana diisyaratkan tokoh Kromo Ludiro di atas. Pangkal tolaknya memang berada pada penguasa, tapi kita juga tak dapat menutup mata bahwa korupsi terjadi karena moralitas jahat yang bersemayam dalam tubuh masyarakat kita. Perubahan memang harus dilakukan. Tapi dari mana?
Jawabannya bisa dimulai dari mengurai dan memutus rantai mafia peradilan. Ungkapan Goenawan Mohamad dalam esai catatan pinggirnya tentang sandiwara di sebuah pengadilan mungkin bisa menggambarkan maksud istilah “mafia peradilan” itu: “Hakim berpura-pura tertib, tapi yang nongkrong adalah yang punya kekuatan. Peraturan dan hukum hanya sebuah kemasan. Selebih: para petugas uang, koneksi.”
Satu mata rantai mafia peradilan yang kita tuju di sini adalah para advokat. Merekalah yang terkadang menjadi jembatan penghubung antara tersangka/terdakwa dengan jaksa, polisi, bahkan hakim. Sayangnya, keberhasilan advokat dalam membela tersangka/terdakwa seringkali bukan karena kepiawaian mereka dalam mengungkap kebenaran, tapi justru didasari oleh kemampuannya menjadi perantara praktik suap-menyuap. Meski tidak semua advokat berperilaku demikian, namun jumlah mereka yang terlibat dalam mafia peradilan tidak bisa dibilang sedikit.
Walhasil, wajar bila advokat turut dipersalahkan dalam menyokong mafia peradilan, karena fungsinya sebagai pembela hukum dan kebenaran justru berbalik: berkhidmat pada “kemenangan” yang menggunakan segala cara.
Padahal, keberadaan advokat terkait erat dengan fungsinya sebagai “pengawal” kelangsungan negara hukum yang menjadi cita-cita bersama masyarakat Indonesia. Maka, layak bila kita pertanyakan kembali peran dan sumbangsih para advokat bagi pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum di Indonesia?
Berkaca pada Sejarah
Tinta emas sejarah para advokat di Indonesia tercatat ketika berdiri Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun 1964, di bawah kepengurusan Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata, dan Adnan Buyung Nasution—untuk menyebut beberapa nama. Di sanalah kita bisa melihat peran sejati dan strategis advokat Indonesia yang otonom dan independen dalam memperjuangkan hak masyarakat vis a vis negara.
Ini dilatari oleh kesadaran akan fungsi advokat sebagai penjaga hukum dari penyalahgunaannya oleh penguasa. Keberanian Peradin dalam memprotes Kopkamtib, membela anggota PKI, mengkritik Keppres dan Inpres yang bertentangan dengan konstitusi, adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan. Meski “ditakuti” dan dibenci rezim Soeharto, Peradin justru dikenal di dunia internasional sebagai the real guardian of the constitution.
Namun, ketidaksesuaian antara nilai (cita-cita dan tujuan) dan perilaku advokat kini membuat noktah emas sejarah tersebut nyaris terlupakan. Kenyataan itu diperparah oleh keberadaan organisasi advokat yang tak lagi beristiqamah di gerbong terdepan perubahan sosial-politik di tanah air, melainkan jatuh menjadi sekadar kelompok profesional yang “mencari nafkah” di bidang hukum, yang kadang justru turut serta dalam praktik mafia peradilan.
Berdirinya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada Desember 2004, diikuti oleh konflik antarorganisasi dan konflik internal dalam organisasinya, membuat kiprah advokat makin tidak populer.
Masyarakat tentunya berharap spirit perjuangan yang pernah dijejakkan para advokat di masa-masa awal Orde Baru itu kembali direvitalisasi dan direkonstruksi dalam rangka penegakan keadilan di negeri ini.
Spirit perlawanan terhadap ketidakadilan sebagaimana dimotori Peradi merupakan “obor” yang menjadi penunjuk jalan bagi para advokat sekarang untuk meneruskan agenda reformasi hukum yang terseok-seok.
Setidaknya, “obor” itu akan menerangi pandangan para advokat Indo-nesia sehingga dapat melihat kerinduan masyarakat akan hadirnya advokat yang bersuara lantang dalam pemberantasan korupsi. Yang paling fundamental adalah menghilangkan kesenjangan antara idealisme dan perilaku.
Upaya itu meliputi ikhtiar keluar dari lingkaran setan mafia peradilan dengan pelayanan dan pengabdian yang penuh kepada keadilan, bukan pada uang dan ketenaran. Dan itu, hanya mungkin terjadi ketika para advokat saling mengawasi perilaku sejawat profesinya dan memiliki wadah tunggal yang bisa menindak tegas para advokat yang berlaku menyimpang dari kode etik.
Jika advokat dapat segera menyadari posisi dan perannya dalam reformasi hukum di Indonesia yang terlunta-lunta ini, maka bolehlah kita bernafas lega bahwa pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia akan dapat berjalan sesuai yang diamanatkan reformasi sepuluh tahun lampau.
Dan para advokat akan layak untuk menyebut dirinya sebagai officium nobile, profesi yang mulia. Jika tidak, rakyat Indonesia harus bersiap menapaki jalan panjang menuju masyarakat adil dan sejahtera yang, naga-naganya, samar-samar bahkan mungkin menuju kegelapan. Artikel ini setidaknya bisa menjadi catatan kecil bagi Kongres Advokat Indonesia yang akan dilaksanakan akhir Mei mendatang.
Asmar Oemar Seleh, Advokat
Terkuaknya satu-dua oknum mafia peradilan, seperti yang terlihat dari tertangkap tangannya seorang jaksa yang dituduh menerima suap, belum membuat kita menarik nafas lega: gurita mafia peradilan yang sebenarnya (hakim, jaksa, advokat, polisi, dan pelaku penyuapan), masih belum tersingkap jelas.
November 1828, film terbaik FFI tahun 1979, arahan sutradara legendaris Teguh Karya yang mengambil tema dan latar seputar Perang Diponegoro, yang sarat dengan nilai perjuangan, kebangsaan, pengorbanan, dan kejujuran bisa memberi inspirasi. Simaklah ucapan sang tokoh utama, Kromo Ludiro, kepada anak perempuan sulungnya, Laras:“...Sebuah pademangan, jika terdiri dari banyak maling, akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa terdiri. Sebuah kabupaten, jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan, jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk, sebagian besar terdiri dari maling, lebih baik tanah Jawa ini tenggelam ke dasar laut.”
Rantai “Mafia Peradilan”
Kita butuh loncatan besar: terobosan yang berani dan terstruktur dalam upaya pemberantasan “maling” (koruptor), agar negeri ini mampu “berdiri kokoh” dan tidak “tenggelam ke dasar laut” sebagaimana diisyaratkan tokoh Kromo Ludiro di atas. Pangkal tolaknya memang berada pada penguasa, tapi kita juga tak dapat menutup mata bahwa korupsi terjadi karena moralitas jahat yang bersemayam dalam tubuh masyarakat kita. Perubahan memang harus dilakukan. Tapi dari mana?
Jawabannya bisa dimulai dari mengurai dan memutus rantai mafia peradilan. Ungkapan Goenawan Mohamad dalam esai catatan pinggirnya tentang sandiwara di sebuah pengadilan mungkin bisa menggambarkan maksud istilah “mafia peradilan” itu: “Hakim berpura-pura tertib, tapi yang nongkrong adalah yang punya kekuatan. Peraturan dan hukum hanya sebuah kemasan. Selebih: para petugas uang, koneksi.”
Satu mata rantai mafia peradilan yang kita tuju di sini adalah para advokat. Merekalah yang terkadang menjadi jembatan penghubung antara tersangka/terdakwa dengan jaksa, polisi, bahkan hakim. Sayangnya, keberhasilan advokat dalam membela tersangka/terdakwa seringkali bukan karena kepiawaian mereka dalam mengungkap kebenaran, tapi justru didasari oleh kemampuannya menjadi perantara praktik suap-menyuap. Meski tidak semua advokat berperilaku demikian, namun jumlah mereka yang terlibat dalam mafia peradilan tidak bisa dibilang sedikit.
Walhasil, wajar bila advokat turut dipersalahkan dalam menyokong mafia peradilan, karena fungsinya sebagai pembela hukum dan kebenaran justru berbalik: berkhidmat pada “kemenangan” yang menggunakan segala cara.
Padahal, keberadaan advokat terkait erat dengan fungsinya sebagai “pengawal” kelangsungan negara hukum yang menjadi cita-cita bersama masyarakat Indonesia. Maka, layak bila kita pertanyakan kembali peran dan sumbangsih para advokat bagi pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum di Indonesia?
Berkaca pada Sejarah
Tinta emas sejarah para advokat di Indonesia tercatat ketika berdiri Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun 1964, di bawah kepengurusan Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata, dan Adnan Buyung Nasution—untuk menyebut beberapa nama. Di sanalah kita bisa melihat peran sejati dan strategis advokat Indonesia yang otonom dan independen dalam memperjuangkan hak masyarakat vis a vis negara.
Ini dilatari oleh kesadaran akan fungsi advokat sebagai penjaga hukum dari penyalahgunaannya oleh penguasa. Keberanian Peradin dalam memprotes Kopkamtib, membela anggota PKI, mengkritik Keppres dan Inpres yang bertentangan dengan konstitusi, adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan. Meski “ditakuti” dan dibenci rezim Soeharto, Peradin justru dikenal di dunia internasional sebagai the real guardian of the constitution.
Namun, ketidaksesuaian antara nilai (cita-cita dan tujuan) dan perilaku advokat kini membuat noktah emas sejarah tersebut nyaris terlupakan. Kenyataan itu diperparah oleh keberadaan organisasi advokat yang tak lagi beristiqamah di gerbong terdepan perubahan sosial-politik di tanah air, melainkan jatuh menjadi sekadar kelompok profesional yang “mencari nafkah” di bidang hukum, yang kadang justru turut serta dalam praktik mafia peradilan.
Berdirinya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada Desember 2004, diikuti oleh konflik antarorganisasi dan konflik internal dalam organisasinya, membuat kiprah advokat makin tidak populer.
Masyarakat tentunya berharap spirit perjuangan yang pernah dijejakkan para advokat di masa-masa awal Orde Baru itu kembali direvitalisasi dan direkonstruksi dalam rangka penegakan keadilan di negeri ini.
Spirit perlawanan terhadap ketidakadilan sebagaimana dimotori Peradi merupakan “obor” yang menjadi penunjuk jalan bagi para advokat sekarang untuk meneruskan agenda reformasi hukum yang terseok-seok.
Setidaknya, “obor” itu akan menerangi pandangan para advokat Indo-nesia sehingga dapat melihat kerinduan masyarakat akan hadirnya advokat yang bersuara lantang dalam pemberantasan korupsi. Yang paling fundamental adalah menghilangkan kesenjangan antara idealisme dan perilaku.
Upaya itu meliputi ikhtiar keluar dari lingkaran setan mafia peradilan dengan pelayanan dan pengabdian yang penuh kepada keadilan, bukan pada uang dan ketenaran. Dan itu, hanya mungkin terjadi ketika para advokat saling mengawasi perilaku sejawat profesinya dan memiliki wadah tunggal yang bisa menindak tegas para advokat yang berlaku menyimpang dari kode etik.
Jika advokat dapat segera menyadari posisi dan perannya dalam reformasi hukum di Indonesia yang terlunta-lunta ini, maka bolehlah kita bernafas lega bahwa pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia akan dapat berjalan sesuai yang diamanatkan reformasi sepuluh tahun lampau.
Dan para advokat akan layak untuk menyebut dirinya sebagai officium nobile, profesi yang mulia. Jika tidak, rakyat Indonesia harus bersiap menapaki jalan panjang menuju masyarakat adil dan sejahtera yang, naga-naganya, samar-samar bahkan mungkin menuju kegelapan. Artikel ini setidaknya bisa menjadi catatan kecil bagi Kongres Advokat Indonesia yang akan dilaksanakan akhir Mei mendatang.
Asmar Oemar Seleh, Advokat
No comments:
Post a Comment