Sunday, April 22, 2012

Perlindungan bagi Whistle Blower

Hamka Yandhu dan Agus Condro adalah dua contoh whistle blower: saksi kunci atau orang yang melaporkan penyimpangan yang terjadi dalam suatu lembaga atau perusahaan. Keduanya bisa dilihat dari dua sisi: sebagai “martir” yang dengan sadar berkorban demi kepentingan publik–penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Atau, dapat pula dipandang sebagai orang yang “mencuri” kesempatan untuk memburu ketenaran dan popularitas di tengah skandal keterlibatan mereka.

Tak elok tentunya berspekulasi motif mana yang membuat seseorang “berani” menjadi whistle blower. Yang jelas, informasi mereka merupakan sumbangan penting bagi upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi: wujud apresiasi dan partisipasi masyarakat.
Hamka Yandhu bersaksi di pengadilan bahwa 52 anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 menerima dana BI dalam jumlah yang beragam. Dua di antaranya kini menjadi anggota kabinet, yakni Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Sementara itu, Agus Condro mengaku menerima cek pelawat senilai total Rp 500 juta dari Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom, yang memenangi pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada Juni 2004. Agus Condro menyebut sejumlah nama Fraksi PDIP, di antaranya Tjahyo Kumolo, Emir Moeis, dan Panda Nababan, diduga turut menerima uang “pelicin” tersebut.

Ancaman

Langkah yang dilakukan whistle blower bukannya tanpa risiko. Sebagai saksi kunci, keduanya mengalami tiga ancaman sekaligus. Pertama, ancaman dari orang-orang yang mereka beberkan namanya. Berbagai macam intimidasi bisa terjadi, termasuk yang terburuk berupa penghilangan nyawa diri atau keluarga seorang whistle blower. Nasib wartawan Udin di Yogyakarta, yang terbunuh karena membongkar kasus korupsi, adalah salah satu contoh. Udin dalam hal ini adalah seorang whistle blower dalam kasus korupsi yang menerima ancaman teror hingga pembunuhan.

Ancaman seperti ini pula yang membuat Vincentius Amin Sutanto, bekas financial controller grup Asian Agri, yang mengungkapkan dugaan penggelapan pajak perusahaannya–yang menurut pengumuman sementara Dirjen Pajak berpotensi merugikan negara Rp 1,3 triliun–melarikan diri ke Singapura sebelum akhirnya menyerahkan diri ke polisi.

Kedua, para whistle blower berisiko terkena efek “senjata makan tuan” dari pengakuan dan informasi yang mereka berikan kepada media massa, lembaga antikorupsi, pengacara, penyidik KPK, atau aparat hukum lainnya. Ucapan mereka kerap dijadikan sasaran delik pencemaran nama baik oleh nama-nama yang mereka sebutkan. Sehingga tak jarang whistle blower justru dijebloskan ke penjara.

Kasus Endin Wahyudin, yang melaporkan dugaan tindak pidana oleh beberapa orang hakim, bisa menjadi contoh. Apa yang dilakukan oleh Endin berbuah “serangan balik” dari pihak yang dilaporkan. Ia diadukan dan dituding telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim kemudian bebas dari hukuman, sementara Endin, si pelapor, dihukum oleh pengadilan.

Vincent, misalnya, sudah terkena hukuman penjara 11 tahun akibat pengaduan Asian Agri. Vincent memang mencuri US$ 3 juta dari perusahaannya, tapi ia juga melaporkan kejahatan dengan kerugian yang lebih besar. Vincent seharusnya dilihat sebagai whistle blower dalam hal ini.

Ketiga, ancaman yang juga bakal dihadapi oleh whistle blower datang dari kalangan internal perusahaan atau institusi.Whistle blower menghadapi risiko penurunan pangkat, skorsing, intimidasi, atau diskriminasi dari institusi tempatnya bekerja yang merasa dirugikan dan dipermalukan atas pelaporannya.

Insentif

Melihat beratnya risiko yang bakal dihadapi oleh whistle blower, cukup beralasan bila baru segelintir orang yang “berani” menjadi whistle blower. Apalagi masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami wacana whistle blower ini. Tak aneh bila banyak orang yang mengetahui suatu skandal, penyimpangan, atau korupsi memilih berdiam diri ketimbang “buka mulut”. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan saja belum tentu bisa diperoleh, apalagi reward dan insentif sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Karena itu, mengingat besarnya risiko yang harus ditanggung oleh seorang whistle blower, maka, pertama, perlindungan hukum dan keamanan dari aparat hukum perlu menjadi jaminan. Di Indonesia, jaminan hukum dan keamanan bagi whistle blower diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diatur dalam pasal 8, 31, dan 36. Di sinilah kita membutuhkan komitmen, kesungguhan, dan kerja sama aparat penegak hukum dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi agar tidak dapat digugat atau dituntut secara perdata. Tentu dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan bukan pelaku tindak pidana itu sendiri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi. Adapun perlindungan keamanan meliputi perlindungan atas keamanan pribadi seorang whistle blower dari ancaman fisik maupun mental, yang membahayakan diri, keluarga, dan harta bendanya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU Perlindungan Saksi.

Ketentuan mengenai perlindungan hukum dan keamanan ini diperkuat oleh UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berlaku sejak 30 Desember 2005.

Kedua, whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan perusahaan atau institusi tempat dia bekerja. Mengacu ke Amerika Serikat, setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom dan Enron, lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002.

SOA 2002 kemudian menjadi payung hukum yang melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang terjadi.

Terakhir, yang juga mesti dipertimbangkan adalah pemberian insentif hukum kepada whistle blower yang menjadi tersangka atau terdakwa, berupa keringanan hukuman. Perlakuan ini telah diatur dalam Pasal 10 ayat 2 UU Perlindungan Saksi. Mengenai hal ini, kita mungkin bisa becermin pada Korea Selatan, yang menjanjikan reward US$ 2 juta bagi whistle blower. Tak hanya itu, whistle blowe> juga dijamin tak akan diberhentikan dari pekerjaan dan memperoleh perlindungan khusus bila ada ancaman.

Jika aparat penegak hukum dapat memberikan jaminan hukum dan keamanan kepada saksi pelapor, apalagi ditambah pemberian reward seperti di Korea Selatan, tentunya akan lebih banyak orang yang “berani” melaporkan berbagai penyimpangan atau korupsi, atau bahkan menjadikan dirinya “martir” pemberantasan korupsi di negeri ini.

Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi Meneg Ham RI

No comments:

Post a Comment