Sunday, April 22, 2012

Apresiasi terhadap Saksi Mahkota

Palu hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 7 Januari 2009 memicu sejumlah reaksi. Dua terdakwa skandal Bank Indonesia, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, dinilai sejumlah pihak menerima hukuman terlampau rendah: 4,5 tahun untuk Antony, dan 3 tahun penjara untuk Hamka. Menanggapi putusan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi dan jaksa langsung menyatakan banding. Kedua lembaga ini tidak puas terhadap putusan hakim yang dinilai terlalu ringan.

Sementara itu, dalam editorialnya pada 9 Januari 2009, Koran Tempo langsung mendentumkan kecaman bahwa putusan atas kedua terdakwa itu amat merisaukan: pasal yang digunakan enteng sehingga hukumannya rendah. Ditulis dalam editorial tersebut, "Penerapan hukum yang terkesan penuh kompromi ini semakin menunjukkan bahwa kita masih setengah hati memerangi korupsi." Setali tiga uang, majalah Tempo (12 Januari 2009) melontarkan kritik tak kurang kerasnya: keduanya (Antony dan Hamka) "hanya dihukum bak maling ayam". Demikian judul laporan Tempo berkenaan dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas dua terdakwa kasus aliran dana BI tersebut.
Reaksi-reaksi tersebut sejatinya makin menegaskan tentang belum dipahaminya pengertian whistle blower atau "saksi mahkota" (crown witness) oleh aparat penegak hukum di negeri ini. Selain itu, banyak masyarakat, terutama media massa, yang juga tak menyadari arti pentingnya whistle blower atau saksi mahkota dalam penegakan hukum, utamanya pemberantasan korupsi.

Saksi mahkota

Whistle blower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di Amerika Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana. Untuk itu, AS mengeluarkan Whistle Blower Protection Act untuk melindungi para pegawai dari pembalasan dendam pegawai lain yang dilaporkan karena melakukan kesalahan.

Di Indonesia, meski istilah whistle blower tak disebut dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, maksud whistle blower ini sama dengan Pasal 31 UU PTPK tentang perlindungan terhadap pelapor dan saksi.

Adakah perbedaan whistle blower ini dengan saksi mahkota? Keduanya memang sama-sama mengungkap suatu tindak pidana, namun bedanya adalah whistle blower bukan tersangka. Sementara saksi mahkota adalah tersangka yang bersedia membantu penyidik mengungkap seluruh jaringan kejahatan dan membeberkan semua pelaku yang terlibat. Untuk itu, dia dikeluarkan dari tersangka dan dijadikan saksi (mahkota), dan harus dilindungi dari balas dendam teman-temannya sebagaimana whistle blower.

Perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa yang memberikan kesaksian tersebut sangat diperlukan. Informasi penting yang mereka berikan membantu menyingkap kasus yang melibatkan mereka, terutama mengungkap semua orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, adanya jaminan perlindungan yang memadai membuat pelapor atau saksi lain yang mengetahui sebuah tindak pidana, khususnya korupsi, terpicu keberaniannya untuk memberi kesaksian.

Pasal 32 Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC) dapat menjadi acuan bagaimana saksi, ahli, dan korban harus dilindungi keamanan diri dan keluarganya dari pembalasan dan intimidasi. Di Indonesia, perlindungan terhadap saksi ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berdasarkan amanat undang-undang tersebut, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sebagai imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10 ayat 2 UU Perlindungan Saksi, saksi mahkota berhak mendapatkan insentif hukum berupa keringanan hukuman. Selengkapnya pasal tersebut berbunyi, "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan."

Lalu bagaimana dengan pemberi kesaksian yang bukan tersangka (whistle blower)? Jaminan yang mereka dapatkan menurut Pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi adalah: "saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya."

Hamka Yandhu

Sebagaimana diketahui, selain mengaku ikut menerima gratifikasi dana BI, Hamka membongkar semua yang terlibat turut menikmati duit BI tersebut. Melalui kesaksian di pengadilan, dia mengungkapkan 52 nama anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 yang telah menerima dana BI dengan jumlah yang beragam. Dua di antaranya kini menjadi anggota kabinet, yakni Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta.

Kesaksian Hamka, baik terhadap penyidik KPK maupun pengadilan, yang secara aktif dan kooperatif mengungkapkan kasus suap yang melibatkan dirinya dan para anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, telah mendudukkan dirinya sebagai saksi mahkota. Keberanian Hamka telah membantu KPK menyingkap mata rantai aliran dana BI kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Karena itu, ia layak mendapat perlindungan, mengingat risiko serius atas informasi yang diberikannya. Dan LPSK telah memberikannya jaminan perlindungan.

Atas pertimbangan ini pula, Hamka berhak mendapat keringanan hukuman sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi. Dan, berdasarkan Pasal 36 ayat 2 UU Perlindungan Saksi tersebut, selayaknya hakim menjadikan kesaksian Hamka sebagai dasar pertimbangan yang meringankan dalam memberikan putusannya. Artinya, jika kesaksian Hamka merupakan dasar pertimbangan yang membuatnya memperoleh hukuman yang ringan, memang sudah seharusnya demikian. Jaksa, juga KPK, semestinya mendukung keputusan hakim tersebut dan menjadikannya contoh bagi para pelapor dan saksi lain yang berani mengungkap sebuah skandal korupsi.

Artikel ini juga sebagai penjelas mengapa Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, yang didakwa dengan pasal yang sama, memperoleh putusan berbeda. Atas sikap kooperatifnya, Hamka memperoleh hukuman lebih rendah dari Antony. Maka, vonis hakim tersebut harus dilihat sebagai pemenuhan asas keadilan. Dengan demikian, artikel ini sekaligus menegaskan bahwa putusan hakim Tindak Pidana Korupsi bukanlah keputusan "aneh" sebagaimana disinyalir editorial harian ini. Tidak pula menunjukkan bahwa pengadilan penuh kompromi dan setengah hati.

Justru, keberadaan para whistle blower dan saksi mahkota harus terus disuarakan dan diberi tempat dalam sistem hukum kita. Pemberian jaminan perlindungan dan reward merupakan keniscayaan. Tujuannya, agar lebih banyak orang yang berani melaporkan berbagai penyimpangan atau korupsi, atau menjadikan dirinya "martir" pemberantasan korupsi di negeri ini.

Korea Selatan bisa dijadikan contoh. Negara itu menjanjikan reward US$ 2 juta bagi whistle blower. Tak hanya itu, whistle blower juga dijamin tak akan diberhentikan dari pekerjaan dan diberi perlindungan khusus bila ada ancaman. Sayangnya, di negeri ini pengakuan whistle blower atau saksi mahkota justru dipandang sebelah mata, kalau bukan dinafikan.

Asmar Oemar Saleh, Advokat

No comments:

Post a Comment