Sunday, April 1, 2012

Jebakan Institusionalisme

Salah satu bahaya terbesar yang mengancam proses demokratisasi di Indonesia adalah apa yang dapat kita sebut sebagai “apatisme kolektif” akibat kelelahan mental rakyat yang tidak kunjung mendapat hasil nyata dari proses yang sedang dijalani. Bagi rakyat Indonesia, mula-mula demokrasi paling gampang diartikan sebagai pembebasan dari rezim otoriter. Dan setelah pembebasan dari belenggu itu terjadi maka terbentang segala kemungkinan di depan mata, sebuah euforia yang berlangsung sesaat. Tapi kebebasan rupanya mengandung arti yang pasif, yakni “bebas dari” maupun makna aktif, yaitu “bebas untuk”. Semua orang mafhum bahwa reformasi adalah kebebasan dalam arti pasif tersebut.

Kini setelah delapan tahun lebih menjalankan reformasi, kita berada dalam proses mewujudkan kekebasan aktif, menuju negara yang demokratis. Dan ternyata proses itu kian lama terasa kian tidak jelas. Sosok demokrasi semakin sulit digambarkan. Jika proses demokratisasi ibarat sebuah perjalanan panjang, kian lama peta yang harus dilalui menjadi kian kabur. Orang semakin sukar menggambarkan rute dan etape atau staisun mana yang harus disinggahi selama perjalanan itu. Akibatnya mulai muncul berbagai kegamangan kolektif.

Dan kegamangan itu tidak mustahil akan berujung pada sikap apatis akibat semakin sukarnya memelihara harapan terhadap demokrasi maupun harapan terhadap hidup itu sendiri. Jika apatisme ini semakin meluas, tidak mustahil muncul semangat atavisme yang menjurus pada situasi mental yang terbayang-bayangi oleh fatalisme sosial-politik masa silam, seperti tercermin dalam ungkapan bahwa ternyata lebih nyaman hidup di zaman Orde Baru ketimbang di alam demokrasi tunggang-langgang ini.

Salah satu penyebab kelelahan mental akibat demokrasi tunggang-langgang ini adalah apa yang dapat kita sebut sebagai kegagalan institusionalisasi politik dan hukum. Pada zaman Orde Baru dulu seluruh institusi politik dan hukum yang ada telah terangkum menjadi institusi tunggal sebagai instrumen kekuasaan. Reformasi telah membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk membentuk institusi politik baru, terutama berupa partai politik. Tapi sampai hari ini, institusi politik yang baru ini telah gagal menggambar peta dan rute demokrasi bagi Indonesia masa depan.

Siapa pun maklum bahwa teramat mudah untuk membuat daftar bukti-bukti kegagalan partai politik tersebut sebagai instrumen demokrasi yang relevan. Dari sekian banyak daftar kegagalan itu, salah satu yang paling jelas adalah bahwa partai politik kita telah tergelincir ke dalam paradigma institusional masa silam yang pragmatis dalam arti fungsinya lebih banyak menjadi instrumen segelintir elitenya. Proses politik berputar pada aneka lobi, tawar-menawar, deal-deal dan kesepakatan-kesepakatan di tingkat atas. Proses tersebut kian hari tampak kian rumit dengan keputusan-keputusan yang juga kian sulit diimplementasikan ke bawah.

Presiden SBY adalah pemimpin  yang penuh pertimbangan, hati-hati, dingin, prosedural dan sadar institusi. SBY adalah seorang pemimpin yang memandang proses penataan manajemen demokrasi sebagai pengejawantahan tindakan institusional dalam tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh fungsi yang dibayangkan alamiah dan diatur secara inheren oleh institusi-institusi politik dan hukum yang ada. Tentu, kesadaran semacam itu adalah ciri dari pemimpin yang paham betul manajemen modern. 

Sayangnya kesadaran institusional dari presiden SBY ternyata tidak diterjemahkan dengan baik oleh para pembantunya dan tidak diikuti interpretasi yang memadai oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. Para pembantu presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain justru menerjemahkan institusionalisasi demokrasi dalam bentuk institusionalisme dalam arti suatu penataan semu yang menjurus pada kerumitan institusional yang justru menyerimpung langkah-langkahnya untuk melakukan perombakan mendasar pada struktur pemerintahan dan meningkatkan kinerjanya guna mewujudkan cita-cita reformasi.

Lembaga-lembaga tinggi negara juga berusaha merumuskan batas-batas otoritasnya dengan caranya sendiri, bahkan juga terjadi pertaruangan dan persengketaan otoritas atas nama penegakan martabat institusi yang tak jarang melahirkan berbagai kontroversi dan sengketa tanpa ujung. Reformasi menuju negara yang demokratis tiba-tiba menjadi sesuatu yang ruwet dan melelahkan. Belum lagi ditambah konflik horizontal akibat Pilkada, pertentangan berbagai kelompok-kelompok sosial dan agama yang laten, pemberantasan korupsi yang tebang pilih, kekerasan dan teror dan sebagainya dan sebagainya.

Lalu bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan yang kian menumpuk itu jika kemudian reformasi terjebak dalam kerumitan institusional yang berbelit-belit itu? Bisakah dengan membuat institusi-institusi baru? Bukankah itu akan menambah kerumitan yang akhirnya akan membawa hukum dan pelaksanaan kebijakan politik berputar-putar dalam labirin institusionalnya? Bagaimana bisa melakukan penegakan hukum jika hukum itu sendiri terjerat oleh institusionalisme semacam itu? 

Maka, terpaksa harus ditegaskan sekali lagi, bagi negara yang masih dalam masa krisis dan sedang menjalankan reformasi menuju negara demokrasi seperti Indonesia ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang kuat dan didukung dengan institusi yang kuat pula. Dan pemimpin yang kuat tidak gampang dipermainkan apalagi terjebak oleh kerumitan institusional. Pemimpin yang kuat adalah yang mampu menyederhanakan institusi tempatnya berpijak dan bermain guna melakukan gebrakan dan terobosan besar dari kemacetan intitusi (yang sebagian besar warisan rezim lama), guna memberi arah yang jelas rute perjalanan bangsa ke depan.

Pemimpin semacam ini akan mampu keluar dari krisis akibat kemacetan institusi politik dan hukum sekaligus membawa bangsanya keluar dari krisis yang lebih besar sembari membangkitkan harapan terhadap demokrasi. Apa boleh buat, demokrasi memang tidak selalu menyenangkan (dalam lidah orang Malaysia, tidak selalu seronok), melainkan terkadang membuat kita letih, bosan, hilang akal dan memuakkan. Tapi adakah pilihan yang lebih baik.

Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI







No comments:

Post a Comment