Sunday, April 1, 2012

Sekali Lagi Hukuman Mati

Tidak seorang pun yang tidak menghendaki lenyapnya kejahatan dari muka bumi, bahkan pun jika ia adalah seorang penjahat. Secara fitrah, manusia memang cenderung kepada kebaikan dan membenci aneka kemungkaran, apa pun bentuknya. Namun ketika dihadapkan pada pertanyaan bagaimana cara melenyapkan kejahatan, orang datang dengan berbagai sudut pandang. Maka jika ditanyakan bagaimana kejahatan harus dibasmi, jawaban yang diberikan pastilah tidak tunggal. Kontroversi soal hukuman mati di negeri kita misalnya menunjukkan itu.

Pihak yang pro berpandangan, hukuman mati masih relevan karena ia bisa membuat masyarakat aman, kejahatan bisa berkurang seperti di Cina, Singapura, Korea Selatan, dan karenanya orang berpikir berulang-ulang jika akan melakukan kejahatan. Jika pemberlakukan hukuman mati ini dibarengi dengan konsistensi dan transparansi proses penegakan hukum, maka hukuman mati merupakan instrumen hukum yang efektif untuk menangkal berlanjutnya kejahatan dalam masyarakat.
Pandangan yang pro ini mensyaratkan konsistensi dan transparansi proses penegakan hukum. Sebab jika tidak dilakukan secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab maka hukuman mati bisa menjelma menjadi kesewang-wenangan yang tak terampunkan. Pada titik inilah hukuman mati di Indonesia tampak problematis. Sebabnya tidak lain adalah, proses hukum di sini masih belum sepenuhnya independen, transparan, dan fair. Sangat mengerikan memang membayangkan hukuman mati diberlakukan di negeri dimana proses penegakan hukum masih jauh dari ideal.

Pihak yang menentang berpandangan sebaliknya. Hukuman mati harus dihentikan karena ia tidak pernah bisa menjamin kejahatan akan musnah. Menurut mereka, meski hukuman mati diterapkan, faktanya kejahatan tidak juga berhenti menyesaki lanskap sosial kita. Sebuah kisah penuh satir yang pernah diungkapkan JE Sahetapy menceritakan, ketika kerumunan orang banyak menyaksikan penggantungan pencopet, para pencopet lain tidak jadi takut. Mereka justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton yang asyik "menikmati" maut menjemput sang terpidana.

Tidak mengherankan bila seorang hakim pidana di abad ke-18 di Inggris, ketika menjatuhkan pidana mati terhadap seorang pencuri kuda, berucap  lantang di depan sidang pengadilan: "Kamu (pencuri kuda) akan digantung sebagai hukuman atas perbuatan pencurian--bukan karena kamu mencuri kuda, tetapi agar di masa depan kuda-kuda tidak dicuri lagi." Tetapi apa yang terjadi kemudian? Kuda tetap dicuri orang sampai sekarang. Bahkan kini “kuda” itu bisa berupa mobil mewah, dana BLBI, illegal logging/fishing, gula selundupan, dan sebagainya.

Selain itu,  hukuman mati juga dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Ajaibnya, dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM

dicantumkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan berat terhadap kemanusiaan (crime againts humanity). Di mata penentang hukuman mati seperti Todung Mulya Lubis, kenyataan ini merupakan a contradiction in terms. Bagaimana mungkin undang-undang tentang hak asasi manusia mengandung ancaman pidana mati? Bukankah itu suatu hal yang ironis dan anakronistis?

Lalu bagaimana kontroversi ini sebaiknya disikapi? Hemat kita, hukuman mati masih relevan diterapkan di negeri kita dengan berbagai persyaratan yang amat ketat. Ini mencakup bukan saja proses penegakan hukum, tapi juga jenis dan tingkat kejahatan. Seorang yang membantai seluruh keluarga, misalnya, setelah melalui pembuktian di persidangan yang panjang dan melelahkan, dan akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan menghilangkan nyawa orang lain, pantas menerima hukuman mati. Ini bukan sekadar qishas: mata dibalas mata atau nyawa dibalas nyawa seperti dipersepsikan oleh sementara kalangan, tapi juga pertimbangan kemanusiaan universal. Betapa mengerikan menyaksikan seseorang berperilaku kejam terhadap orang lain tanpa mendapat hukuman mati (the ultimate punishment).

Adakah dengan itu kejahatan akan sirna? Mungkin tidak. Sebuah kejahatan terjadi karena beragam sebab. Ada sebab ekonomi, sosial, politik, hukum, dan bahkan agama. Hukuman mati hanyalah salah satu cara untuk menghentikan aksi destruktif, apa pun jenisnya. Korupsi misalnya terus terjadi karena memang negeri ini merupakan lahan subur bagi munculnya laku destruktif ini. Tapi jika hukum benar-benar ditegakkan, dan hukuman mati diberlakukan bagi koruptor kakap, maka ini akan membuat nyali calon koruptor ciut. Lihatlah Korea Selatan atau Cina. Dua negara ini amat “kejam”  terhadap para koruptor. Jika rating korupsi di sana turun, maka itulah salah satu sisi positif hukuman mati.

Efek jera memang diharap muncul dari sini. Kita mungkin nyinyir jika efek jera ini belum banyak menghasilkan perubahan penting berupa turunnya  tindak kejahatan. Tapi bukankah di zaman nabi-nabi dulu juga masih ditemukan maling?

 Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI





No comments:

Post a Comment