Sejak Memorandum I DPR keluar, Gus Dur dan aparat Kejaksaan gencar mengejar para koruptor kelas kakap Orde Baru. Dalam berbagai kesempatan Gus Dur meminta agar Jaksa Agung -- bahkan dengan batas waktu tertentu -- agar segera menangkap sepuluh koruptor kakap Orde Baru tanpa menyebut nama. Namun upaya ini ternyata baru Ginanjar Kartasasmita yang sempat dijebloskan ke tahanan Kejaksaan Agung.
Beragam tanggapan yang muncul dari kebijakan di atas. Ada yang menyebut penangkapan para koruptor lebih bermotif politik ketimbang hukum atau niatan untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi. Bahkan ada yang menuduh tindakan ini merupakan siasat politik melalui pintu hukum memberangus lawan-lawan politik Gus Dur untuk tidak lagi mengeluarkan Memorandu II. Hal ini dapat dibuktikan misalnya ketika Gus Dur meminta Marimutu Sinivasan, Prayogo Pangestu dan Samsul Nursalim (kini dalam proses penyidikan) ditunda proses hukumnya dengan alasan kepentingan pembangunan ekonomi.
Lepas dari anggapan tersebut, secara pribadi, dan mungkin sebagian besar masyarakat sungguh sangat bergembira hati dengan diluncurkannya kebijakan untuk memproses para koruptor yang telah menyengsarakan bangsa ini berpuluh tahun. Apalagi dalam kesempatan menjawab Memorandun I DPR Gus Dur menyatakan akan memberlakukan pembuktian terbalik dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kita berdoa semoga gagasan ini bisa menjadi kenyataan, tentunya tanpa pandang bulu dan bergerak dalam dataran hukum -- bukan kekuasan.
Selama ini, bahkan sampai sekarang, aparat penyidik (kejasaaan dan kepolisian) menggunakan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai landasan atau dasar hukum untuk memeriksa, menyidik dan mengadili kasus-kasus korupsi. Hasilnya seperti diketahui banyak orang sungguh tidak memuaskan bahkan menjengkelkan. Sebab ternyata banyak koruptor yang diproses dapat melepaskan diri dari jerat UU ini. Kita memang belum tahu pasti, apakah UU-nya yang lemah; yang memberi banyak peluang kepada tersangka atau terdakwa untuk meloloskan diri ataukah aparat hukumnya yang tidak sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum. Dua pandangan ini masih bergelut dalam perdebatan.
Namun ditengah-tengah perdebatan yang tanpa akhir itu, DPR dan pemerintahan Habibie berpendapat UU No. 3 tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Atas dasar itu, UU ini kemudian diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan harapan UU ini bisa lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Dengan perubahan UU ini, sejumlah hal baru pun dirumuskan dalam UU No. 31 Tahun 1999. Yaitu diaturnya korporasi sebagai subjek Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikenakan sanksi; menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati serta pidana penjara bagi pelaku yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara; memperluas pengertian pegawai negeri; dalam hal terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan; mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa; menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya; UU ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kendati sejumlah hal baru dirumuskan dalam UU ini seperti pembuktian terbalik yang terbatas, namun bukannya tanpa menyisakan problem hukum. Dalam pasal 44, bab VII Ketentuan Penutup UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan; ”pada saat mulai berlakunya UU ini, maka UU No. 3 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi”. Kalau demikian bunyinya, UU apa atau perangkat hukum apa yang dipakai oleh penyidik dalam memeriksa kasus-kasus korupsi yang terjadi dimasa Orde Baru.
Jika jawabannya UU No. 3 tahun 1971 yang dipakai, maka jelas aparat penyidik telah melakukan penyidikan tanpa dilandasi hukum. Dan ini jelas merupakan pelanggaran HAM. Sebab bukankah UU ini telah dinyatakan dicabut sejak berlakunya UU No. 31 Tahun 1999, yaitu pada tanggal 16 Agustus 1999. Sementara itu, jika dikatakan aparat penyidik menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 maka sudah pasti ia dihadang oleh asas legalitas yakni, pasal 1 ayat 1 KUHP; “tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas ketentuan-ketentuan pidana dalam UU, yang ada terdahulu dari perbuatan itu”. Atau dengan kata lain UU No. 31 Tahun 1999 tidak dapat berlaku surut.
Satu-satunya yang mungkin dapat dijadikan centolan aparat penyidik dalam menjawab argumen di atas adalah menunjuk pada pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyatakan “jikalau UU dirubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Beragam tanggapan yang muncul dari kebijakan di atas. Ada yang menyebut penangkapan para koruptor lebih bermotif politik ketimbang hukum atau niatan untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi. Bahkan ada yang menuduh tindakan ini merupakan siasat politik melalui pintu hukum memberangus lawan-lawan politik Gus Dur untuk tidak lagi mengeluarkan Memorandu II. Hal ini dapat dibuktikan misalnya ketika Gus Dur meminta Marimutu Sinivasan, Prayogo Pangestu dan Samsul Nursalim (kini dalam proses penyidikan) ditunda proses hukumnya dengan alasan kepentingan pembangunan ekonomi.
Lepas dari anggapan tersebut, secara pribadi, dan mungkin sebagian besar masyarakat sungguh sangat bergembira hati dengan diluncurkannya kebijakan untuk memproses para koruptor yang telah menyengsarakan bangsa ini berpuluh tahun. Apalagi dalam kesempatan menjawab Memorandun I DPR Gus Dur menyatakan akan memberlakukan pembuktian terbalik dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kita berdoa semoga gagasan ini bisa menjadi kenyataan, tentunya tanpa pandang bulu dan bergerak dalam dataran hukum -- bukan kekuasan.
Selama ini, bahkan sampai sekarang, aparat penyidik (kejasaaan dan kepolisian) menggunakan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai landasan atau dasar hukum untuk memeriksa, menyidik dan mengadili kasus-kasus korupsi. Hasilnya seperti diketahui banyak orang sungguh tidak memuaskan bahkan menjengkelkan. Sebab ternyata banyak koruptor yang diproses dapat melepaskan diri dari jerat UU ini. Kita memang belum tahu pasti, apakah UU-nya yang lemah; yang memberi banyak peluang kepada tersangka atau terdakwa untuk meloloskan diri ataukah aparat hukumnya yang tidak sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum. Dua pandangan ini masih bergelut dalam perdebatan.
Namun ditengah-tengah perdebatan yang tanpa akhir itu, DPR dan pemerintahan Habibie berpendapat UU No. 3 tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Atas dasar itu, UU ini kemudian diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan harapan UU ini bisa lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Dengan perubahan UU ini, sejumlah hal baru pun dirumuskan dalam UU No. 31 Tahun 1999. Yaitu diaturnya korporasi sebagai subjek Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikenakan sanksi; menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati serta pidana penjara bagi pelaku yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara; memperluas pengertian pegawai negeri; dalam hal terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan; mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa; menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya; UU ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kendati sejumlah hal baru dirumuskan dalam UU ini seperti pembuktian terbalik yang terbatas, namun bukannya tanpa menyisakan problem hukum. Dalam pasal 44, bab VII Ketentuan Penutup UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan; ”pada saat mulai berlakunya UU ini, maka UU No. 3 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi”. Kalau demikian bunyinya, UU apa atau perangkat hukum apa yang dipakai oleh penyidik dalam memeriksa kasus-kasus korupsi yang terjadi dimasa Orde Baru.
Jika jawabannya UU No. 3 tahun 1971 yang dipakai, maka jelas aparat penyidik telah melakukan penyidikan tanpa dilandasi hukum. Dan ini jelas merupakan pelanggaran HAM. Sebab bukankah UU ini telah dinyatakan dicabut sejak berlakunya UU No. 31 Tahun 1999, yaitu pada tanggal 16 Agustus 1999. Sementara itu, jika dikatakan aparat penyidik menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 maka sudah pasti ia dihadang oleh asas legalitas yakni, pasal 1 ayat 1 KUHP; “tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas ketentuan-ketentuan pidana dalam UU, yang ada terdahulu dari perbuatan itu”. Atau dengan kata lain UU No. 31 Tahun 1999 tidak dapat berlaku surut.
Satu-satunya yang mungkin dapat dijadikan centolan aparat penyidik dalam menjawab argumen di atas adalah menunjuk pada pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyatakan “jikalau UU dirubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Dalam konteks ini, saya menduga aparat penyidik akan mengatakan UU No. 3 Tahun 1971 lebih menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa ketimbang UU No. 31 Tahun 1999. Dan dengan dasar inilah aparat penyidik melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi dimasa Orde Baru.
Persoalannya, dalam penjelasan pasal 1 ayat 2 KUHP di atas yang berhak menentukan ketentuan mana yang lebih menguntungkan tersangka atau terdakwa sepenuhnya ada di tangan hakim, bukan penyidik. Lagi pula apakah pengertian bunyi penjelasan pasal di atas sama dengan pengertian hadirnya UU No. 31 Tahun 1999 dengan mencabut UU No. 3 Tahun 1971. Jika berbeda pengertiannya, sungguh malang nasib bangsa ini.
Sebab para koruptor Orde Baru yang telah menggasak uang rakyat selama berpuluh tahun melenggang keluar dari jeratan hukum dengan memanfaatkan “kecerobohan” anggota DPR di masa pemerintahan Habibie yang meloloskan UU ini tanpa mengkritisinya. Dan yang lebih tragis lagi, melengkapi kemalangan bangsa ini, kendati pembuktian terbalik diberlakukan, ternyata tidak juga dapat dipakai untuk menjerat para koruptor Orde Baru karena dihadang oleh asas legalitas.
Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment