Memasuki tahun keempat kepemimpinannya, Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono memberi sinyal positif dengan mengatakan bahwa baginya sudah  cukup berwacana dan akan melaksanakan program-program pemerintah yang  kongkret dengan menggunakan bahasa yang jelas serta sederhana. Tentu,  salah satu yang kita tunggu adalah langkah pemerintah dalam menangani  masalah HAM, terkait penanganan kasus Trisakti, tragedi Semanggi I dan  II, kasus orang hilang dan penuntasan kasus kematian alm Munir.
Setelah berlangsung delapan tahun lebih, dengan lenyapnya momentum  untuk melakukan pemutusan rantai kuasa secara radikal dari rezim lama,  seiring kian luasnya arus mutasi tersebut maka kian redup pula berbagai  kekuatan reformasi yang murni. Alih-alih mengembalikan daya reformasi  murni, kini kita justru kepayahan untuk membendung arus mutasi itu  sendiri. Bahkan berbagai sumber daya politik yang baru tak pelak juga  terseret pada arus mutasi besar-besaran, dari tingkat pusat hingga di  daerah-daerah.
Yang paling gamblang mencerminkan tarik ulur akibat dari arus mutasi  tersebut adalah proses yang meletihkan pada penanganan kasus-kasus  korupsi dan masalah HAM. Keduanya menjadi problematik bagi pemerintah  karena membongkar kasus-kasus korupsi skala besar dan pelanggaran HAM  berat diasumsikan akan mengguncang struktur kuasa rezim baru yang  sebagian masih bertopang pada pilar-pilar lama. Semua orang maklum bahwa  penyelesaian masalah HAM, di negara mana pun, bobot politiknya selalu  jauh lebih kental ketimbang aspek-aspek yang lain.
Dan sebagaimana lazimnya penanganan HAM dalam setting pemerintahan  baru yang tak dapat menyingkirkan proses mutasi politik semacam itu,  hukum cenderung menjadi mandul. Arah dan bobot kehadiran hukum akan  sangat tergantung arah bandul politik yang berkisar pada lapisan kerucut  kekuasaan yang bermuara pada lobby-lobby tingkat tinggi mengikuti irama  politik yang berlangsung. Akibatnya, substansi HAM cenderung  dikorbankan demi pragmatisme kaum elite. Atau, bahkan boleh jadi justru  akan dijadikan komoditas politik yang permanen bagi siapa pun yang  terlibat dalam permainan tingkat tinggi tersebut.
Jika sudah pada taraf semacam itu, kasus-kasus HAM menjadi bola panas  yang harus dipelihara keberadaannya untuk dijadikan salah satu variabel  utama dalam proses transaksi politik dengan rakyat. Sewaktu-waktu kasus  HAM dapat dijadikan alat untuk menjaga fluktuasi politik dengan  pengaturan kadar tinggi rendah suhunya berdasarkan tingkat urgensi  kompromi yang berbeda-beda pula.
Artinya, masalah HAM akan benar-benar menjadi faktor ikutan (yang  berguna) dari proses mutasi menuju struktur kekuasaan rezim baru yang  akan semakin mapan hingga aktor-aktor lama (yang boleh jadi sebagian  justru terlibat pelanggaran HAM) menemukan pijakan baru yang kokoh di  segala lini. Oleh karena itu, secara politis akan sulit membayangkan  penanganan masalah HAM dalam arti yang kongkret dan menyentuh akar  permasalahan. Kekuasaan yang sedang mengalami mutasi tidak mungkin akan  melakukan pembedahan tubuhnya sendiri yang justru akan menghentikan  proses mutasi tersebut.
Maka harus dilakukan tindakan yang nyata, tajam, dan keluar dari  paradigma pragmatis semacam itu agar jangan sampai terjadi penanganan  HAM yang berupa pengulangan dari penanganan yang dilakukan oleh  pemerintahan sebelumnya karena penanganan masalah HAM itu sendiri akan  mengalami mutasi pula. HAM tidak boleh lagi dijadikan bagian dari  retorika politik mutasi tersebut. Meski telah terjadi fenomena impunitas  dan pembatalan KKR (sehingga tahun 2006 yang dapat disebut sebagai  tahun kelabu HAM), di masa depan hal itu tidak boleh terulang lagi.
Di tingkat lobby internasional Indonesia dapat dikatakan cukup  berhasil dengan duduk di berbagai lembaga HAM, termasuk di PBB. Tapi  jika penanganan HAM di tanah air tidak mengalami kemajuan maka akan  tampak sangat ironis. Oleh karena itu secepatnya harus dilakukan  penghentian agar masalah HAM tidak terus berputar-putar di tingkat  retorika sekaligus keluar dari jebakan mutasi kekuasaan.
Maka hukum harus bertindak. Hukum harus mengembalikan masalah HAM  (kalau perlu merebutnya dari politik) lalu mengembalikannya ke aspek  yuridis.Dan untuk melakukan hal itu, hukum harus independen, dalam arti  posisinya tidak boleh tersubordinasi kekuasaan. Hukum harus diangkat  melampaui kekuasaan itu sendiri. Badan atau lembaga yang menangani  masalah HAM harus berada di atas lembaga-lembaga yang lain.
Dalam hal ini pihak Kejaksaan Agung dapat memulai terobosan besar  semacam itu. Memang dalam penanganan masalah HAM ,Kejaksaan Agung tidak  berada dalam posisi sebagai superbody, tapi kekuasaan yang digenggam  memungkinkannya untuk menerobos kemacetan politik yang terjadi sekaligus  menerobos kemacetan prosedural yang tak kunjung tuntas selama ini.
Dan terobosan semacam itu hanya dapat dilakukan jika terdapat  kepemimpinan yang kuat di lembaga ini. Jika dalam hal pemberantasan  korupsi pertama-tama diperlukan aparat yang bersih di tubuh lembaga yang  melakukan pemberantasan, dalam kasus penanganan HAM hal itu relatif  dapat dikesampingkan dulu. Penanganan masalah HAM pada kita sekarang  lebih memerlukan komitmen, keberanian, keuletan dan kekeras kepalaan  pemimpin lembaga itu dalam memecahkan kebuntuan.
Meski kemudian akan terjadi pertarungan dan perlawanan yang keras  terutama dari pihak-pihak tertentu yang merasa akan dirugikan, tapi jika  kemudian tampil pemimpin dan kepemimpinan yang penuh komitmen dan  berani  maka akan muncul dukungan yang sangat luas di masyarakat  sehingga masalah HAM dapat direbut dari cengkeraman mutasi kekuasaan  terutama dari para aktor lama yang melakukan perlawanan itu. Pemimpin  dan kepemimpinan semacam itu pada akhirnya akan memperoleh legitimasi  yang kuat sehingga akan menjadi acuan yang sangat valid untuk  menempatkan masalah HAM dalam aspek yuridis.
Setelah masalah HAM berhasil dikembalikan ke jalur yuridis  maka  orang dapat menentukan rujukan bahwa penyelesaian masalah HAM  subtansinya adalah terungkapnya kebenaran. Dan setelah kebenaran  terungkap maka politik boleh mengambil keputusan: menghukum atau  mengampuni. Tentu, orang yang tidak kooperatif dalam proses pengungkapan  kebenaran itu maka secara politis maupun yuridis tidak layak diampuni.  Jadi, penuntasan masalah HAM harus dimulai dari hukum lalu diakhiri  dengan politik, dan bukan sebaliknya.
Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment