Sunday, April 1, 2012

Involusi Reformasi Pemerintahan

Salah satu agenda besar dan paling sulit dilaksanakan saat ini adalah reformasi pemerintahan dan birokrasi.Apalagi bila hal itu menyangkut karakteristik pemerintahan warisan dari rezim lama dengan postur yang kelewat gemuk, sistem organisasi yang nyaris lapuk beserta mentalitas orangorangnya yang telanjur nyaman dengan budaya koruptif.

Di lain pihak, selama berpuluh tahun pula,birokrasi telah membentuk pola hubungan tuan-hamba di mana tugas birokrasi bukan untuk melayani rakyat,melainkan rakyatlah yang harus tunduk dan melayani birokrat. Hubungan semacam itu untuk sebagian merupakan lanjutan dari pola masyarakat feodal sehingga birokrasi kita tidak pernah menjadi birokrasi modern yang efektif, transparan, dan rasional. Melihat karakteristik birokrasi semacam itu memang susah membayangkan suatu transformasi pemerintahan yang cepat dan revolusioner.

Tapi sekurang-kurangnya kita dapat membayangkan arah reformasi yang jelas dengan kemajuan yang terukur pula. Sudah berkali-kali orang mengatakan bahwa melakukan reformasi pemerintahan dan birokrasi di Indonesia membutuhkan upaya ekstrakeras berupa penataan ulang dalam skala besar secara simultan serta dengan tingkat konsistensi yang tinggi.

Dikatakan secara simultan dalam arti bahwa reformasi harus digerakkan dari segala penjuru di semua lapisan dan menyentuh segala as-pek serta dilakukan secara koheren. Reformasi harus didorong dari atas maupun dari bawah dalam kerangka penyusunan struktur baru yang lebih ramping dan sederhana. Tentu, gerakan secara simultan itu akan menimbulkan berbagai guncangan dan terkadang memunculkan resistensi dari dalam. Itu suatu hal yang sangat wajar.

Karena itu, setiap langkah reformasi tidak boleh berhenti akibat guncangan-guncangan dan resistensi yang sporadis dan malahan mesti dituntaskan. Sebab, jika guncangan tersebut tidak tuntas, akan timbul berbagai masalah baru yang akan memperumit penataan organisasi lebih lanjut. Langkah reformasi yang tersendatsendat akan mengarah pada gerakan yang bersifat parsial. Dan gerakan yang parsial cenderung menimbulkan potensi ketidakadilan dan diskriminasi yang membuka tarik ulur di dalam tubuh pemerintahan dan birokrasi itu sendiri.

Reformasi secara parsial juga akan melahirkan berbagai ambivalensi dari seluruh elemen dalam membaca dan mengartikulasikan orientasi jangka pendek maupun jangka panjang.Akibat selanjutnya adalah munculnya pragmatisme baru yang justru akan mengaburkan visi transformasi organisasi secara menyeluruh. Jika melihat perkembangan reformasi pemerintahan dan birokrasi selama kurang lebih delapan tahun terakhir, jelas tampak bahwa reformasi tidak dilakukan secara simultan melainkan dilakukan secara parsial.

Kita juga belum melihat blue print yang jelas dan komprehensif. Akibat yang paling nyata dari reformasi parsial tersebut adalah munculnya gejala involusi, yakni situasi di mana berbagai upaya pembenahan bukannya melahirkan langkah maju melainkan justru memunculkan perumitan- perumitan ke dalam yang kontraproduktif dan melelahkan beserta kontradiksi yang tak terselesaikan. Meminjam kata-kata para elite politik yang sudah hampir jadi jargon itu,bahwa reformasi pemerintahan kita ternyata tidak mengalami kemajuan yang signifikan, minimal jika dilihat melalui lima indikasi.

Pertama, dari aspek produksi peraturan dan perundangan yang tidak koheren. Menurut Menteri PAN, saat ini terdapat sekitar 1000–2000 peraturan di tingkat nasional yang tidak konsisten dan bertabrakan, bahkan saling tumpang tindih satu sama lain. Bahkan, di tingkat daerah terdapat sekitar 10.000 peraturan yang bertentangan dengan konstitusi dan kepentingan umum.

Contohnya adalah UU Otonomi Daerah yang sudah mengatur pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Dalam UU No 23/1999 maupun No32/2004 mengharuskan seluruh perundang-undangan yang substansinya tidak sesuai dengan UU itu harus disesuaikan, tapi hal itu sampai kini tidak dilakukan.Atau UU sektor kehutanan dan UU di sektor pertanahan di mana Presiden telah melakukan kesalahan fatal dengan mengeluarkan Perpres No.10 yang memperlakukan Badan Pertanahan seolah-olah setingkat dengan Departemen.

Sampai hari ini pengangkatan pejabat eselon empat di tingkat kabupaten langsung diangkat oleh badan pertanahan tanpa harus berkonsultasi dengan gubernur maupun bupati. Hal itu jelas-jelas bertentangan dengan UU No 32/2004 tersebut. Tentu,masih banyak contoh lain.Tapi yang hendak dikatakan di sini adalah jika pada tingkat penyusunan peraturan saja telah terjadi ketidakkoherenan yang parah maka bisa dibayangkan buruknya implikasi yang ditimbulkan di tingkat pelaksanaan teknis.

Dan untuk membereskan ketidakkoherenan dalam jumlah yang demikian banyak itu waktu tiga tahun belum tentu cukup. Kedua, struktur organisasi pemerintahan yang masih sangat (dan bahkan kian) gemuk, tidak efisien, dan redundance, beserta fungsi-fungsinya yang overlap. Kondisi ini sudah ada sebe-lum reformasi.Tapi kini menjadi lebih buruk karena pemerintahan cenderung dijadikan tempat menampung orangorang yang mendapat endorsement kepartaian atau perkawanan.

Contohnya, kabinet yang menjadi padat karya dengan tujuan untuk mengamankan kekuasaan sehingga orang-orang yang diangkat menjadi menteri tidak selalu memiliki kompetensi di bidangnya.Hal itu menjalar ke struktur organisasi di bawahnya, termasuk struktur organisasi di daerah-daerah. Ketiga, seperti telah disebutkan, adalah soal mentalitas yang sudah terlalu lama terbentuk dalam birokrasi yang tidak profesional sehingga tidak dapat memainkan peran yang efektif dan cepat guna melayani masyarakat dan sebagai alat pemerintah,apalagi harus melakukan transformasi menuju birokrasi yang modern dan transparan.

Hal itu sudah dimulai sejak cara rekrutmen yang sangat kuno, bahkan dapat dikatakan paling kuno di dunia. Contohnya adalah ujian masuk PNS yang disamakan dengan ujian masuk perguruan tinggi, di mana kompetensi dan bakat yang diujikan secara pukul rata dengan melakukan ujian di stadion dalam skala massal sehingga tidak mungkin dilakukan pemeriksaan yang mendalam dengan standar minimum kompetensi yang jelas pula. Selain itu, kebutuhan untuk mengisi kekosongan pegawai tidak diotonomikan sehingga tidak dapat dilakukan pengujian secara langsung dan mendalam berdasarkan konteks kebutuhan yang berbeda-beda dari tingkat kompetensi yang dibutuhkan dari tiaptiap daerah.

Asmar Oemar Saleh, Advokat dan Wakil Direktur Eksekutif Reform Institute

No comments:

Post a Comment