Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan M. Jusuf Kalla (MJK) yang mendapat legitimasi kuat dari rakyat untuk memimpin negeri ini kini dituntut untuk merealisasikan janji-janji yang ditebar dalam kampanye lalu. Salah satu janji muluk yang terucap dari mulut SBY adalah bahwa ia akan bertekad menjadikan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum sebagai prioritas kerja pemerintahan SBY-MJK.
Memang dalam berbagai polling yang dilakukan sebelum pemilu, kalangan grass root tidak memersepsi pemberantasan korupsi dan penegakan hukum sebagai hal utama yang urgen dilakukan pemerintah. Bagi kalangan ini, penciptaan lapangan kerja dan tergerusnya kemiskinan lebih menarik dan mendesak dilakukan pemerintah. Harga sembako yang turun, misalnya, lebih menarik kalangan bawah ketimbang penjarahan uang rakyat secara besar-besaran seperti dalam kasus BLBI atau penyimpangan anggaran negara lainnya. Dalam persepsi publik, isu ini jauh lebih konkret ketimbang isu abstrak semacam pemberantasan korupsi. Itulah mengapa tokoh yang dinilai “bersih” seperti Amien Rais kalah dalam kontestasi kepresidenan.
Namun sebagai isu nasional yang lahir dari akutnya praktik korupsi di negeri ini, tidak satu pun pasangan capres-cawapres yang tidak menganggap penting isu ini sehingga mereka harus menjadikannya sebagai salah satu “dagangan” politik mereka. Kini setelah Indonesia memiliki pasangan presidan dan wakil presiden baru yang dipilih langsung oleh rakyat, publik berhak mempertanyakan kembali janji-janji pasangan SBY-MJK, khususnya dalam hal penciptaan clean government dan good governance. Gugatan ini untuk mengingatkan agar presiden dan kabinetnya tidak terjerembap pada lubang kesalahan yang sama seperti penguasa-penguasa sebelumnya: not action talk only alias omdo.
Dalam sebuah wawancara, SBY menyatakan akan membentuk organisasi pemberantasan korupsi dan ia sendiri akan memimpinnya. Dilihat dari perspektif sejarah praktik pemberantasan korupsi, pandangan ini sebenarnya bukan hal baru. Sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini hampir selalu dibarengi pembentukan lembaga, komisi atau organisasi baru. Saat korupsi merebak di era pemerintahan Soeharto, para mahasiswa menggelar serangkaian protes di jalan-jalan pada Januari 1970 menuntut pemberantasan korupsi.
Seperti dicatat oleh Theodore M. Smith dalam “Corruption, Tradition and Change” (1971), demonstrasi ini merupakan protes terbesar pertama sejak 25 tahun republik berdiri. Dalam menanggapi persoalan dan protes keras ini Presiden Soeharto kala itu secara meyakinkan berkata: “Tidak perlu ada keragu-raguan lagi. Saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi.” Pernyataan yang dilontarkan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan DPR pada malam menyambut Hari Kemerdekaan ke-25 itu merupakan reaksi pemerintah setelah mempelajari rekomendasi Komisi IV—komisi yang diangkat khusus untuk menangani masalah korupsi. Setelah itu kita tahu bersama, korupsi justru makin membengkak dan komisi yang dibentuk tidak efektif.
Kegagalan itu lebih disebabkan oleh tiadanya konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi ternyata hanya direspons secara ad hoc, parsial, dan reaktif. Tekad memberantas korupsi sekadar kembang bibir belaka yang bertujuan meredakan ketegangan sosial-politik akibat protes masif agar pembangunan ekonomi tidak terguncang.
Meskipun demikian, niat baik SBY untuk memimpin pemberantasan korupsi patut dihargai sekaligus disertai aba-aba sehat bahwa niat itu tidak menjamin korupsi akan habis diberantas jika kesalahan penguasa sebelumnya masih terus dilestarikan. Ia sendiri bertekad dalam program kerja seratus harinya akan mengutamakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Menurut Presiden, KKN akan menjadi salah satu masalah berat yang harus diselesaikan oleh pemerintah yang baru. Dalam dialog capres, pasangan ini menekankan perlunya pembenahan pendidikan hukum, pengembangan budaya hukum, dan pembenahan aparatur penegak hukum. Pelaksanaan audit kekayaan pejabat negara dan pemberdayaan KPK. Satu tahun setelah KPK berdiri, hasil yang dicapai pun masih mengecewakan. Kewenangan besar yang dimiliki KPK ternyata belum dimaksimalkan sebagaimana mestinya. Dan SBY hingga kini belum mendedahkan konsep pemberdayaan KPK itu.
Lebih jauh lagi, SBY juga tidak menjelaskan tentang strategi memberantas korupsi, target yang harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detail dari program pemberantasan korupsi dan penegakan hukum tersebut, khususnya dalam masa seratus hari. Platform dan program yang dilontarkan masih bersifat umum, tidak terperinci, dan superficial seperti capres lain. Jika setelah seratus hari harapan itu belum bersinar terang, maka ini adalah hal wajar belaka. Sebabnya aparat penegak hukum dan pemerintah SBY tidak memiliki konsep dan strategi konkret untuk menggelandang para koruptor ke penjara di satu sisi dan menutup celah penyalahgunaan wewenang di sisi lain. Korupsi pertama sekali sejatinya bukan soal moral an sich, melainkan sistem yang buruk. Ini soal kesempatan dan peluang yang memang by nature membuat orang baik menjadi rusak. Jika kesempatan menjadi maling tidak ditutup, maka korupsi akan terus membiak. Dalam konteks ini, apa yang sudah dilakukan pemerintah dan aparat hukum?
Ekspektasi publik yang tinggi terhadap pasangan ini bisa berubah menjadi bumerang yang akan menamatkan karier politik pasangan ini jika akhirnya keduanya gagal mewujudkan harapan publik tersebut. Memang pasangan ini masih memiliki waktu lumayan panjang untuk mewujudkan perubahan. Tapi langkah pertama yang diayunkan pasangan ini dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum dalam seratus hari umur pemerintahnya terasa kurang meyakinkan. Padahal aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) bukan tidak sedang kekurangan kasus. Teramat banyak kasus besar menunggu diselesaikan secara komprehensif agar keadilan kembali tegak di bumi Indonesia. Lebih dari itu, mereka juga tidak kesulitan menjerat mereka mengingat undang-undang untuk memberantas korupsi telah begitu banyak dan bertumpuk.
Beberapa kasus kakap dan mendapat atensi tinggi dari publik dan siap diselesaikan adalah: kasus korupsi yang melibatkan bekas presiden Soeharto di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun; Dugaan korupsi dalam Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara adalah 24.8 juta dolar; Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Selain itu disebutkan pula adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Namun kasus-kasus tersebut, berikut kasus besar lain yang mengendap di kejaksaan, kepolisian, dan bahkan KPK, termasuk laporan BPK menjelang akhir kekuasaan Megawati Soekarnoputri kemarin dulu belum “diapa-apakan”. Padahal laporan KPK amat dahsyat dimana disebutkan 22 kasus dugaan penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara, baik dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun non-APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan-badan lain yang kesemuanya terindikasi korupsi dan kolusi mencapai Rp 166,53 triliun dan 62,70 juta dolar AS.
Semua kasus yang diungkap di atas, hingga usia pemerintahan SBY-MJK mendekati seratus hari, belum juga menunjukkan tanda-tanda akan diproses kembali. Bencana tsunami yang menenggelamkan ratusan ribu warga Aceh dan Nias ternyata turut pula menenggelamkan kasus-kasus besar itu. Perhatian publik dan media massa lebih banyak tercurah kepada bencana tsunami dan bagaimana merekonstruksi Aceh pasca-bencana. Isu pemberantasan korupsi menjadi terpinggirkan. Tanpa menganggap ringan penderitaan korban di Aceh dan Nias, korupsi sejatinya melahirkan berderet perih dan nestapa yang lebih dahsyat ketimbang bencana alam, apa pun jenisnya.
Pemerintah harus terus diingatkan agar memenuhi janji-janji yang diucapkan dan menunjukkan ketegasannya dalam memberantas korupsi. China barangkali bisa dijadikan contoh. Sejak dilantik sebagai Perdana Menteri medio 1998, Zhu Rongji langsung melakukan aksi konkret. Hingga pertengahan 2004 tidak kurang dari 4.000 pencuri uang negara telah dihukum mati, termasuk Xiao Hongbo, Deputi Manajer Cabang Bank Konstruksi China, salah satu bank milik negara, di Dacheng, Provinsi Sichuan. Ia dihukum mati karena korupsi 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 miliar tahun 1998-2001.
Harus dikatakan, janji perubahan, termasuk perubahan paradigmatik dalam menindak koruptor kakap, belum mengejewantah. Di era kini, misalnya, masih ditemukan koruptor kakap kabur ke luar negeri dengan aman. Sudjiono Timan, misalnya, leluasa kabur karena buruknya koordinasi antar-instansi—kejagung dan imigrasi. Ini bisa pula terjadi karena memang pihak terkait tidak serius menindak penjahat. Padahal Sudjiono kabur dengan menggondol uang negara yang tidak kecil, 369 miliar! Bandingkan dengan Abdullah Puteh yang diduga “hanya” menggelapkan 4 miliar langsung dipenjarakan di hari ketika Sudjiono Timan ditemukan “raib” dari Bumi Indonesia.
Siapa pun paham betapa dahsyatnya korupsi di negeri ini. Waktu seratus hari yang sering dijadikan tolak ukur publik dalam menakar keseriusan pemerintah rasanya terlalu singkat dan kelewat ambisius, mengingat skala korupsi telah menyebar dan mengakar hingga tingkat yang paling bawah dalam keseluruhan jaringan birokrasi. Era otonomi daerah yang dibuka sejak beberapa tahun lalu makin membuat korupsi menggila dan merata. Namun tidakkah itu justru kesempatan untuk membuktikan konsistensi dan kompetensi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi?
Jika pola pemberantasan korupsi dan penegakan hukum selama seratus hari pemerintahan SBY-MJK ini terus berlanjut, dapat dipastikan prospek penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di masa depan masih akan suram. Janji perubahan ternyata hanya ilusi. Harapan besar memang sering mengecewakan.
Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment