Kasus Akbar Tandjung atau masyhur dengan sebutan Buloggate II kini memasuki babak baru. Itu ditandai dengan tersingkapnya berbagai kebohongan, kesaksian palsu dan rekayasa. Pertama, pengakuan Dadang Sukandar (Ketua Yayasan Raudatul Jannah) di hadapan majelis hakim bahwa dirinya telah memberi kesaksian atau keterangan palsu. Dana nonbudgeter Bulog yang sebelumnya dikatakan untuk keperluan penyaluran sembako, ternyata 90 persen hanya fiktif belaka. Kedua, “skenario Mahakam” yang diungkap oleh penasihat hukum Rahardi Ramelan (Trimoelja D Soerjadi) yang menyatakan bahwa Akbar dan pengacaranya (Hotma Sitompul) menawarkan skenario besar penyelamatan posisi Akbar. Tawaran yang cenderung hanya menguntungkan Akbar itu, seperti kita tahu ditolak Rahardi, bahkan ia menantang Akbar untuk fight di pengadilan. Sebuah tantangan yang logis, karena tak ada orang waras yang mau dijadikan kambing hitam atau dikorbankan untuk suatu hal yang tidak benar atau tak dilakukan. Persis pada titik inilah dugaan adanya manipulasi dan rekayasa pada kasus Buloggate II tersebut kian menemukan titik terangnya.
Ketiga, upaya tim penasihat hukum Rahardi yang mempertanyakan akta pendirian Yayasan Raudhatul Jannah yang dibuat di Subang, padahal para pendirinya tinggal di Jakarta. Demikian pula adanya nama almarhum Dadi Surjadi sebagai wakil ketua yayasan tahun 2001, padahal Dadi sudah meninggal sejak tahun 2000 (Kompas, 1/5). Fakta ini pastilah menggelikan dan menghina akal sehat. Keempat, pengakuan Winfried Simatupang—kontraktor penyaluran sembako— bahwa pengembalian dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar kepada penyidik Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu adalah bagian dari skenario untuk menyelamatkan Akbar Tandjung.
Ketiga, upaya tim penasihat hukum Rahardi yang mempertanyakan akta pendirian Yayasan Raudhatul Jannah yang dibuat di Subang, padahal para pendirinya tinggal di Jakarta. Demikian pula adanya nama almarhum Dadi Surjadi sebagai wakil ketua yayasan tahun 2001, padahal Dadi sudah meninggal sejak tahun 2000 (Kompas, 1/5). Fakta ini pastilah menggelikan dan menghina akal sehat. Keempat, pengakuan Winfried Simatupang—kontraktor penyaluran sembako— bahwa pengembalian dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar kepada penyidik Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu adalah bagian dari skenario untuk menyelamatkan Akbar Tandjung.
Poin pertama di atas secara common sense jelas terbukti. Artinya, tanpa publik harus terlalu lama menunggu keputusan pengadilan, akal sehat publik dengan gampang “memvonis” Dadang Sukandar sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi dan memberikan kesaksian palsu. Unsur memperkaya diri sendiri dan atau menguntungkan diri sendiri, dengan sendirinya terpenuhi. Dan soal kesaksian palsu ini Dadang bisa dijerat dakwaan baru berupa sumpah atau saksi palsu. Bukan saja bukti-bukti obyektif yang terpenuhi, tapi juga atas dasar “persangkaan” hakim seperti diamanatkan Pasal 174 Ayat 1 (satu). “Persangkaan” hakim itu makin kukuh karena didasarkan pada pengakuan terdakwa sendiri.
Adapun poin kedua di atas—meski sudah ditunjukkan dan dikuatkan oleh rekaman kaset soal isi atau substansi pertemuan yang membuktikan adanya skenario penyelamatan Akbar, pihak Akbar dan pengacaranya tetap saja menyangkalnya (baca: tidak mengakui secara eksplisit materi pertemuan dan cenderung menuduh pihak Rahardi mengalihkan persoalan). Dikatakan oleh Akbar, bahwa pertemuan di Hotel Gran Mahakam itu benar adanya, tapi menyangkut substansi yang dituduhkan Trimoelja, Akbar mengaku lupa. Dan sialnya dalam sistem hukum pembuktian di negeri kita, rekaman tidak bisa dijadikan barang bukti. Dan orang tak bisa dihukum karena lupa. Hanya mungkin perlu diingkatkan, mengapa untuk hal-hal yang begitu penting, para terdakwa kerap terserang penyakit “lupa”. Publik lagi-lagi gampang “memvonis” bahwa sejatinya mereka tengah membela diri atau menutupi kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mereka tak benar-benar lupa.
Poin ketiga dan keempat di atas, berdasarkan logika publik, jelas menunjukkan adanya rekayasa untuk menutup-nutupi (cover-up) kenyataan yang sebenarnya. Hal ini juga kian membenarkan dugaan adanya skenario besar untuk menyelamatkan Akbar. Berbagai inkonsistensi keterangan saksi/terdakwa selama ini dan mungkin dalam persidangan-persidangan yang akan datang makin menunjukkan ketidakbenaran keterangan atau kesaksian mereka. Adalah tugas dan kewajiban jaksa dan majelis hakim untuk mengorek lebih tajam dan dalam setiap keterangan yang mencurigakan dan berbau tipu muslihat.
Pertanyaannya, bagaimanakah akhir dari drama pengadilan terhadap Akbar Tandjung tersebut? Apakah ia akan diputus bebas?
Falsafah kekuasaan peradilan
Setiap mahasiswa fakultas hukum mafhum, kekuasaan peradilan yang dianut di negeri kita menganut falsafah Pancasila. Landasan filosofis ini menegaskan, pelaksanaan peradilan dilakukan berdasarkan sila pertama, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa. Kendati falsafah itu seolah-olah melakukan pendekatan yang lebih mengutamakan sila pertama, hal itu tak mengurangi landasan lain, seperti perikemanusiaan dan rule of law. Dengan demikian, yang dijunjung tinggi bukan judicial power tapi kekuasaan peradilan yang tunduk kepada supremasi hukum. Oleh karena itu, Pasal 4 UU No. 14/1970 telah merumuskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan wewenang peradilan, harus dijalankan: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” (M. Yahya Harahap, 1985).
Dalam perspektif seperti ini, keputusan apa pun yang diambil oleh sebuah lembaga peradilan, pertanggungjawabannya tidak semata-mata ditujukan kepada nurani masyarakat dan diri sendiri, tapi juga kepada Tuhan. Perasaan gentar, takut, dan ewuh pakewuh tentu harus dibuang. Karena itu sangat naif jika sebuah keputusan hukum dibayang-bayangi oleh kekuasaan politik-ekonomi sekelompok orang/penguasa. Sebuah keputusan hukum harus bebas dari kekuasaan extra judicial baik berupa ancaman, intimidasi, atau bahkan dipengaruhi oleh uang. Sebaliknya, seorang terdakwa tak dibenarkan untuk mempengaruhi keputusan yang bakal diambil oleh hakim dengan memberikan “sesuatu”. Cita-cita, idealisme, dan tujuan peradilan kita adalah bukan saja keadilan lahir dan kebebasan peradilan, tapi juga terjaganya nurani publik. Ketertiban yang akan dibangun adalah ketertiban yang hakiki, lahir-batin, bukan ketertiban semu seperti yang sering terjadi selama ini.
Landasan filosofis di atas terasa urgens untuk dikemukakan di sini, terlebih ketika banyak putusan-putusan hukum di negeri kita terkesan kuat menafikan perspektif ketuhanan dan mengingkari keadilan publik. Lebih jauh, landasan filosofis di atas juga untuk mengingatkan kembali nurani para hakim yang sedang dan akan mengadili kasus-kasus besar di Indonesia. Sebab dari palu yang digenggamnyalah masa depan, nasib, dan jalan hidup seseorang akan ditentukan. Penjelasan di bawah ini barangkali akan membantu memahami pernyataan di atas.
Setiap mahasiswa fakultas hukum mafhum, kekuasaan peradilan yang dianut di negeri kita menganut falsafah Pancasila. Landasan filosofis ini menegaskan, pelaksanaan peradilan dilakukan berdasarkan sila pertama, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa. Kendati falsafah itu seolah-olah melakukan pendekatan yang lebih mengutamakan sila pertama, hal itu tak mengurangi landasan lain, seperti perikemanusiaan dan rule of law. Dengan demikian, yang dijunjung tinggi bukan judicial power tapi kekuasaan peradilan yang tunduk kepada supremasi hukum. Oleh karena itu, Pasal 4 UU No. 14/1970 telah merumuskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan wewenang peradilan, harus dijalankan: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” (M. Yahya Harahap, 1985).
Dalam perspektif seperti ini, keputusan apa pun yang diambil oleh sebuah lembaga peradilan, pertanggungjawabannya tidak semata-mata ditujukan kepada nurani masyarakat dan diri sendiri, tapi juga kepada Tuhan. Perasaan gentar, takut, dan ewuh pakewuh tentu harus dibuang. Karena itu sangat naif jika sebuah keputusan hukum dibayang-bayangi oleh kekuasaan politik-ekonomi sekelompok orang/penguasa. Sebuah keputusan hukum harus bebas dari kekuasaan extra judicial baik berupa ancaman, intimidasi, atau bahkan dipengaruhi oleh uang. Sebaliknya, seorang terdakwa tak dibenarkan untuk mempengaruhi keputusan yang bakal diambil oleh hakim dengan memberikan “sesuatu”. Cita-cita, idealisme, dan tujuan peradilan kita adalah bukan saja keadilan lahir dan kebebasan peradilan, tapi juga terjaganya nurani publik. Ketertiban yang akan dibangun adalah ketertiban yang hakiki, lahir-batin, bukan ketertiban semu seperti yang sering terjadi selama ini.
Landasan filosofis di atas terasa urgens untuk dikemukakan di sini, terlebih ketika banyak putusan-putusan hukum di negeri kita terkesan kuat menafikan perspektif ketuhanan dan mengingkari keadilan publik. Lebih jauh, landasan filosofis di atas juga untuk mengingatkan kembali nurani para hakim yang sedang dan akan mengadili kasus-kasus besar di Indonesia. Sebab dari palu yang digenggamnyalah masa depan, nasib, dan jalan hidup seseorang akan ditentukan. Penjelasan di bawah ini barangkali akan membantu memahami pernyataan di atas.
Asas pembuktian
Seperti dimaklumi, sistem peradilan di negara kita menganut asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem ini merupakan gabungan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-intime. Jika dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, maka dalam sistem conviction-intime kesalahan atau ketidakbersalahan seorang terdakwa ditentukan oleh “keyakinan” subyektif sang hakim. Keyakinan hakim itu terbit dari alat-alat bukti yang disodorkan kepadanya atau yang muncul di pengadilan. Hakim bisa saja mengabaikan temuan-temuan itu, dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, hakim dalam sistem ini sungguh-sungguh amat berkuasa (powerful) dalam menentukan hitam-putihnya seseorang.
Karena itu sistem yang diberlakukan di Indonesia mencoba menjembatani dua kutub ekstrem di atas: satu kutub yang amat menekankan pada fakta atau bukti dan kutub lainnya yang menekankan “keyakinan” subyektif hakim. Itu berarti seorang terdakwa baru dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta keterbuktikan kesalahan tersebut “dibarengi” pula dengan keyakinan hakim (M. Yahya Harahap; 1985).
Akan tetapi, meski secara teoretis-normatif sistem ini mencoba menyeimbangkan antara unsur obyektif (“fakta-fakta”) dan unsur subyektif hakim (“keyakinan”), dalam praktiknya unsur subyektif hakim tersebut sering terlihat amat dominan dalam menentukan keputusan hukum. Ini karena unsur subyektif hakim tersebut dilatari oleh masa lalu sang hakim, moralitas, integritas, dan interaksi atau komunikasinya dengan terdakwa. Mohon diingat, hakim adalah manusia biasa, dengan segala kenisbian, keterbatasan dan sifat manusiawi lainnya seperti mudah tergoda oleh iming-iming materi dari terdakwa atau malah takut ancaman yang mungkin timbul dari keputusan yang dihasilkan. Apalagi jika seorang terdakwa berhasil menyuap sang hakim. Hal-hal seperti inilah yang membuat segenap bukti yang tampak di pengadilan—betapa pun validnya—akan sia-sia belaka. Seorang hakim bisa saja berdalih bahwa bukti yang disodorkan di pengadilan tak meyakinkan dan karenanya ia membebaskan terdakwa dari semua tuduhan yang didakwakan kepadanya. Dalam pengalaman di negeri kita selama tiga dasawarsa lebih, fenomena ini sering terjadi. Publik kerap tercabik-cabik nurani dan rasa keadilannya.
Hal itu bukan tak mungkin terjadi pada kasus Buloggate II ini. Apalagi sejak awal kasus ini memang diplot untuk mengikuti skenario dana mengalir ke yayasan yang kontroversial itu. Dan mudah diduga hakim atau jaksa akan konsisten dengan materi berita acara tersebut. Dalam persidangan selama ini, ada kesan kuat hakim dan jaksa “melindungi” Akbar dan abai terhadap nurani publik. Ditangguhkannya penahanan terhadap Akbar beberapa waktu lalu, hanyalah salah satu bukti betapa Akbar mendapat “perlakuan” khusus. Karena itu, sangat mungkin mereka akan membela Akbar dengan pelbagai kewenangan yang dimiliki.
Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment