Sunday, April 1, 2012

Surat Terbuka Kepada Presiden SBY

Bapak Presiden yang terhormat

Setelah dua tahun negara ini di bawah kepemimpinan Anda keadaan secara umum tidak banyak yang berubah secara signifikan. Secara umum sektor politik berada pada kondisi yang normal, bergerak secara wajar, dan tidak ada guncangan yang berpotensi menganggu agenda demokratisasi dan reformasi. Sektor ekonomi juga berjalan wajar. Secara makro sudah nampak indikasi yang positif, tapi secara mikro masih banyak persoalan yang tak kunjung tuntas. Sektor riil masih belum menemukan momentum untuk melaju dengan sigap, meski sesungguhnya potensi untuk mendorong sektor itu sudah tersedia. Orang selalu bertanya-tanya, meski negara memiliki cukup uang tapi kenapa tidak kunjung menetes ke bawah untuk menggerakkan roda ekonomi rakyat. Tentu Anda menginginkan roda ekonomi berputar lebih cepat, dengan kecepatan yang wajar dan tidak melaju secara zigzag tanpa kendali, sehingga menabrak sana-sini atau lebih celaka akan meluncur menuju jurang. 

Saya tahu Anda adalah orang yang berpikir dan bertindak hati-hati dan penuh perhitungan. Tapi berhati-hati bukan berarti boleh membuang-buang waktu. Pada saat seperti ini bangsa membutuhkan keputusan cepat dan mantap. Kami tahu bahwa sikap hati-hati Anda itu telah menghasilkan prestasi yang cukup “fenomenal” menyangkut penyelesaian damai kasus Aceh. Juga bagaimana Anda dengan elegan mengelola conflict of interet di lingkungan kabinet dan istana. Anda telah dengan cerdik mengelola potensi politik dilematis, dalam kaitan kompleks antara Wapres Jusuf Kalla, Partai Golkar dan konstelasi politik yang berubah-ubah di parlemen.

Artinya, seluruh elemen kunci politik tingkat tinggi negeri ini ternyata diam-diam terseret oleh irama yang Anda mainkan. Suka tidak suka, meski Anda sering dikritik sebagai politikus yang lamban, dan “peragu”, toh pada akhirnya semua mengikuti ritme “tarik-ulur” gaya Anda itu. Dalam hal ini banyak orang gemas dan tidak sabar dengan gaya itu. Tapi apa boleh buat, gaya Anda itu ternyata cukup efektif untuk mengelola konflik politik yang potensial merusak sistem yang mulai terbangun.Anda memang bukan seorang dirigen yang dengan sigap mengarahkan jalannya orkestra, melainkan lebih sebagai seorang pemimpin yang membiarkan permainan ditentukan oleh jalannya orkestra itu sendiri. Lalu pada saat yang tepat masuk untuk mengunci permainan.

Reformasi Hukum yang Radikal

Dalam hal ini Anda telah berhasil mengamalkan politik yang seolah-olah akomodatif itu. Dan dalam konteks paradigma politik semacam itu, Anda cukup berhasil. Tapi dalam bidang hukum paradigma semacam itu tidak tepat.Kita tahu bahwa skala kerusakan penegakan hukum di negeri ini sudah melewati ambang batas, dalam arti sudah tidak dapat dilakukan perbaikan dengan menyandarkan pada elemen-elemen formal dari sistem hukum yang tersedia. Maksud saya, jika kita bicara instrumen yang ada, secara formal sebenarnya sudah tersedia. Perangkat perundang-undangan beserta perangkat pelaksananya sudah lebih dari cukup.

Seluruh elemen yang dibutuhkan oleh sebuah sistem sudah ada. Tapi kenapa sistem itu tidak berjalan? Patut diingat, suatu sistem akan berjalan apabila seluruh elemennya yang saling berkait secara sinergis berfungsi dengan benar. Apabila ada satu elemen yang macet maka akan macetlah seluruh sistem itu. Banyak orang mengatakan bahwa sistem hukum kita tumpang tindih alias tidak tertata secara koheren dan sistematis. Bahkan dapat dikatan menjadi kian rumit dan silang-sengkarut sehingga “keadilan” pun sering tersesat di labirin kerumitan itu. Hukum dan keadilan di negeri ini menjadi saudara kandung yang saling main akal-akalan dengan berlindung di balik kerumitan tanpa akhir itu. Mereka tidak pernah saling bertemu karena memang orang terlalu sibuk dengan kerumitan itu sehingga lupa terhadap substansinya.

Tiap hari orang juga bicara soal Kejaksaan, Pengadilan, Kepolisian, KPK, sebagai pilar utama untuk melakukan reformasi hukum. Tapi pada saat yang sama orang juga bicara soal mafia peradilan yang sudah menjadi lingkaran setan. Pertanyaannya adalah, bagaimana memecahkan lingkaran setan yang sudah macet itu? Tentu, kita tidak dapat mengandalkan elemen-elemen yang sudah ada itu akan melakukan “metamorfosa” karena kehendaknya sendiri. Dibutuhkan suatu upaya ekstra untuk memecahkan lingkaran setan itu. 

Diperlukan langkah radikal dan spektakuler dalam salah satu atau seluruh elemen dalam sistem yang ada.
Jika langkah menyeluruh itu mustahil dilakukan, maka kita dapat mulai pada salah satunya saja. Pada jajaran kejaksaan misalnya. Kita harus melakukan reformasi menyeluruh di lembaga ini. Bagaimana caranya? Tak ada cara lain kecuali dengan melakukan pembenahan  ke dalam secara mendasar. 

Memang nantinya, akan terjadi guncangan hebat di situ. Tapi kerusakan yang demikian parah tidak dapat dilakukan perbaikan hanya dengan langkah biasa dalam skala yang biasa pula. Sekali lagi, kita memerlukan langkah spektakuler yang memiliki dampak besar. Saya jamin, rakyat dan media massa pasti akan mendukung. 

Saya yakin jika tindakan itu dilakukan secara konsisten maka para jaksa juga akan dengan cepat mengambil posisi di barisan kaum reformis. Saya yakin jaksa juga manusia yang memiliki hati nurani. Mereka adalah manusia yang memiliki rasa takut juga. Mereka tahu perbedaan antara yang benar dan yang salah. Intinya, mereka adalah manusia yang sudah telanjur terbiasa mengetahui betapa perbedaan antara yang benar dan salah hanya dibatasi oleh tabir yang sangat tipis serta dengan gampang pula memanipulasi perbedaan itu, terlena oleh godaan uang. Maka hanya suatu tindakan yang keras dan spektakuler yang dapat mengguncang dan menggetarkan hatinya, suatu guncangan dahsyat yang dapat menyadarkan mereka dari keterlenaan itu.
Baru setelah itu, dapat kita laksanakan program-program pembenahan yang sistematis. Tentu, bersamaan dengan itu harus disusun cetak biru rencana aksi yang dirumuskan berdasarkan mandat kejaksaan, termasuk bagaimana membenahi tata manajemen dan administrasi,perbaikan kesejahteraan para penegak hukum dan prasyarat-prasyarat teknis yang mutlak harus dipenuhi dalam upaya reformasi. 
 
Masalahnya adalah apakah kita sudah punya cetak biru itu dan visioner atau belum? Jika belum ada, maka harus dibuat, lalu dimumumkan kepada publik. Sebagaimana saya katakan, ketika seorang Jaksa Agung dilantik misalnya, maka ia harus membuat cetak biru kejaksaan, apa dan bagaimana misalnya melakukan reformasi lembaga tersebut.Dan apa yang harus dilakukan keluar. Tapi sampai hari ini kita tidak melihat hal itu. Tapi, sekali lagi, seandainya cetak biru itu ada, sebagus apa pun, tidak akan berarti jika tidak dilakukan pembenahan kedalam secara mendasar sebagai pintu masuk untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya,dan  membangun kembali kepercayaan masyarakat.   

Maka, untuk itu diperlukan seorang Jaksa Agung yang punya visi,bersih,berkarakter,punya integritas kuat,dan amanah Selain mampu membuat cetak biru kejaksaan yang komprehensif dan visioner, lebih dari itu ia adalah orang yang mampu melakukan tindakan besar. Kita tidak membutuhkan manusia ukuran biasa. Kita membutuhkan sosok Jaksa Agung sebagai pemimpin yang kuat dalam arti harafiah. Ia adalah manusia yang sanggup menghadapi risiko apa pun, termasuk risiko untuk mati. Dalam keadaan “darurat” seperti sekarang ini, manusia ukuran biasa adalah kartu mati. Seperti yang telah saya katakan, suatu sistem yang macet dimana elemen-elemennya saling mengunci maka yang harus melakukan terobosan besar adalah elemen utamanya, yakni sang pemimpin.

Saya yakin, di antara sekian ratus juta manusia Indonesia, pasti ada orang yang sanggup menjadi pemimpin semacam itu. Dalam konteks ini, Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa kita memerlukan kepemimpinan “tangan besi”. Saya kurang suka dengan istilah itu, meski dalam beberapa hal substansinya saya setujui. Saya lebih suka menyebutnya sebagai kepemimpinan hukum yang radikal dan visioner. Dikatakan radikal karena menuju reformasi hingga menyentuh sampai akar-akarnya. Dan dikatakan visioner karena akan membawa hukum negeri ini ke jalan “pencerahan” yang sebenar-benarnya, bukan untuk menghancurkan “rumah hukum” itu melainkan guna membangkitkannya dari puing-puing kehancuran yang telah dilakukan oleh para pemiliknya sendiri.

Bapak Presiden yang terhormat,
Barangkali apa yang saya katakan ini mengandung sejenis “kegeraman” tertentu, bahkan juga “kemarahan”, atau jika tidak demikian, sebagian orang akan menganggap sebagai sejenis utopia atau mimpi di siang bolong belaka. Kata-kata saya begitu telanjang.Apa boleh buat, saya memang tidak ingin berbicara dengan rumit dengan melakukan analisis hukum dalam perspektif formal sistem hukum atau telaah sosiologis, filosifis atau sosio-kultural. Hal itu sudah terlalu banyak dilakukan, tapi faktanya tidak mengubah apa-apa. Dalam konteks reformasi hukum kita, yang diperlukan bukan elaborasi diskursif semata-mata melainkan, sekali lagi, sebuah tindakan besar.

Hanya dengan begitu kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan pulih kembali. Dan jika kepercayaan itu mulai pulih maka kita sudah mendapatkan separuh modal untuk melakukan penegakan hukum. Anda pasti tahu betapa mahal nilai sebuah kepercayaan.Apalagi jika kepercayaan itu datang dari rakyat. Artinya pula, modal Anda sebagai pemimpin juga akan bertambah besar. Jika gebrakan besar itu dilakukan maka akan menimbulkan multiflier effect, menjadi bola salju yang akan menggelinding ke segala arah, termasuk ke berbagai lembaga hukum utama negeri ini.

Anda masih punya waktu, Bapak Presiden. Setidaknya dalam tiga tahun sisa masa jabatan Anda. Yang saya katakan di sini hanya satu contoh saja, yakni bagaimana melakukan reformasi radikal dan spektakuler di bidang hukum, dengan contoh di jajaran kejaksaan. Masih banyak bidang yang lain yang dapat dilakukan gebrakan serupa. Jikalau pun tidak dapat melakukan di semua bidang, maka satu gebrakan besar sudah cukup untuk memicu gebrakan-gebrakan yang lain. 

Itu pun dengan catatan, jika Anda ingin membuat sejarah dan hendak berbakti kepada bangsa dan negara. Ukuran seorang pemimpin adalah besar kecilnya tindakan yang dia lakukan. Tapi jika Anda ingin menjadi seorang pemimpin dalam ukuran biasa, Anda tidak perlu melakukan apa-apa selain menjalankan tugas seorang presiden sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang presiden “yang baik dan benar”. Dalam istilah hukum yang nyaris sudah jadi slogan itu; “menjadi presiden sesuai dengan amanat konstitusi”.
                                           
Asmar Oemar Saleh, advokat, Managing Partner Law Firm AoS & Partners


No comments:

Post a Comment