Sunday, April 1, 2012

Hukum Menghambat Ekonomi?

Wapres Jusuf Kalla mengingatkan KPK bahwa tidak semua pejabat adalah “bandit”. Pernyataan itu muncul akibat gejala yang kian meluas bahwa para pimpinan proyek dan direksi BUMN yang semakin takut melaksanakan berbagai program strategis yang dapat mendorong perekonomian karena jika hal itu dilakukan dapat menjadi “korban” program pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Kasarnya, kini kian banyak orang yang tidak berani membuat kebijakan karena salah-salah bisa masuk penjara. Akibatnya banyak dana di pusat maupun di daerah yang menumpuk dan dibiarkan tidur sementara para bankir juga kian takut mengucurkan kredit sehingga bank sebagai poros roda perekonomian menjadi tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Sebelum muncul pernyataan Wapres itu sudah banyak pakar ekonomi yang membahas masalah tersebut, termasuk juga para ahli dan praktisi hukum yang mencoba memberi solusi dari kemacetan tersebut. Yang belum jelas adalah bagaimana sikap dan solusi pemerintah sebagai pelaksana dan parlemen sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembuatan aturan perundang-undangannya. Karena jika tidak ada solusi, maka orang akan mengikuti logika pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa seolah-olah upaya penegakan hukum justru menghambat ekonomi.

Tentu, jika logika semacam itu diteruskan akan sangat berbahaya. Semua orang tahu bahwa investor tidak mau masuk ke Indonesia karena salah satu sebabnya adalah tidak adanya kepastian hukum. Sementara upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK adalah justru bagian dari upaya penegakan hukum itu sendiri. Artinya, pemberantasan korupsi seharusnya kompatibel dengan pemenuhan prasyarat dasar dalam menciptakan kepastian hukum.

Jadi seharusnya tidak ada masalah dengan apa yang dilakukan KPK dan orang tidak perlu takut melaksakan kebijakan yang diperlukan sejauh tidak melanggar aturan. Justru dengan aturan yang jelas maka sebuah kebijakan dapat dilaksanakan dengan efektif. Tapi ternyata logika sederhana semacam itu tidak dapat dijalankan. Faktanya tetap saja orang kian takut menjalankan kebijakan. Dengan kata lain, jika hal itu dibiarkan terus maka situasinya akan semakin ruwet dan ujung-ujungnya orang akan saling lempar tanggungjawab jika kemudian terjadi kemacetan yang semakin parah.

Maka untuk keluar dari kemacetan tersebut pihak pemerintah harus mengambil langkah yang berani secara ad hoc dan jangka pendek maupun dalam kerangka kerja yang jelas dan fundamental sesuai dengan desain besar penegakan hukum jangka panjang. Tapi sampai saat ini kita tidak melihat kemana arah kebijakan pemerintah yang bersifat jangka pendek dalam masalah ini sebagaimana kita juga tidak tahu seperti apa desain besar yang disusun oleh pemerintah. Lebih parah lagi kita tidak tahu apakah pemerintah punya desain semacam itu atau tidak.

Artinya, kemacetan dan keruwetan tersebut memang akibat dari ketidak jelasan desain besar penegakan hukum di Indonesia. Sementara dunia usaha tidak dapat menunggu terlalu lama hingga desain besar itu selesai dibuat karena sudah banyak yang sekarat dan rakyat tidak bisa terkatung-katung lebih lama dengan perut yang kian kosong. Maka harus dilakukan tindakan cepat tapi terkontrol dalam memberikan kepastian hukum kepada pimpinan proyek, direksi BUMN, pelaku usaha dan pelaku ekomoni secara luas agar mereka dapat menjalankan fungsinya dengan optimal.

Kumpulkan mereka dan tanyai apa saja masalah yang dihadapi sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya itu. Dari situ kemudian dapat dibuat langkah-langkah taktis untuk membuat kebijakan hukum yang kuat dan taat asas dengan jaminan-jaminan yang dapat dipercaya pula. Dengan mengerahkan semua mandat legal dan politik yang dimiliki oleh pemerintah dan parlemen maka jaminan semacam itu pasti dapat dibuat. Tentu, jika bola tidak dapat digulirkan secara politis, maka dalam hal ini pihak kejaksaan agung adalah pihak yang paling berkompeten untuk melakukan kick off dengan membuat langkah fundamental dan cepat yang diperlukan.

Dalam kondisi semacam itu diperlukan inisiatif dari institusi semacam kejaksaan untuk memperjuangkan dan mengegolkan kebijakan hukum yang kuat dan spesifik tapi sekaligus integral dengan acuan undang-undang terkait. Tanpa kebijakan yang spesifik semacam itu maka tak akan tercipta jaminan hukum yang tajam dan kuat. Dan tanpa jaminan yang kuat, orang tidak akan terbebas dari kecemasan. Dan jika nantinya telah tersusun jaminan definitif maka para pelaku usaha, bankir dan pimpinan proyek dapat dengan aman melaksakan fungsinya tanpa rasa cemas menjadi “korban” KPK.

Jadi, langkah KPK tidak ada kaitannya dengan ketidak jelasan hukum yang membuat takut para pimpinan proyek, direksi BUMN, para bankir dan pelaku usaha. Ketakutan itu muncul karena tidak adanya jaminan spesifik yang kuat dan fundamental bagi mereka ditambah dengan sulitnya mencari kebenaran dan keadilan hukum begitu seseorang terperosok ke dalam masalah hukum di negeri ini. Jika dua hal tersebut dapat diciptakan, hukum tidak lagi menjadi faktor penghambat ekonomi melainkan justru menjadi pendorong ekonomi.

Tentu, langkah pembuatan jaminan adekuat semacam itu bukan berarti hukum ditundukkan oleh kebutuhan yang spesifik belaka. Sebuah hukum tidak boleh dibuat hanya untuk melindungi segelintir orang dari hukum yang lain. Hukum memang harus responsif agar dapat dilaksanakan dengan mudah dan mendatangkan hasil secara langsung, tapi tidak boleh melayani kepentingan segelintir orang. Hukum dibuat untuk menegakkan kepastian dan kebenaran.

Tapi kebenaran lebih mudah muncul dari kesalahan ketimbang dari kekaburan, ujar Sir Francis Bacon. Dan kita sudah berkali-kali melakukan kesalahan tapi tetap saja tidak dapat menemukan kebenaran. Rasanya kita ini tidak sebodoh keledai yang terperosok ke lubang yang sama berkali-kali. Tapi kalau tidak bodoh lalu apa sebabnya sehingga masih juga belum bisa keluar dari kekaburan dan keruwetan yang kita ciptakan sendiri?

Asmar Oemar Saleh, Advokat, Managing Partner pada Law Firm AoS & Partners

No comments:

Post a Comment