Langkah semacam itu akan menghasilkan efek ganda, yakni terjadinyanya penyegaran penanganan HAM sekaligus akan tercipta prasyarat awal bagi terjadinya reformasi hukum dalam arti bahwa hukum dapat menjadi independen dan tidak tersubordinasi oleh politik. Baru setelah hukum terlepas dari subordinasi politik kita dapat melakukan terobosan besar yang lain, yakni peletakan dasar sistem hukum yang menyeluruh.
Kita tahu bahwa skala kerusakan hukum di negeri ini sudah melewati ambang batas, dalam arti sudah tidak dapat dilakukan perbaikan dengan menyandarkan pada elemen-elemen formal dari sistem hukum yang tersedia. Patut diingat bahwa suatu sistem akan berjalan apabila seluruh elemennya yang saling berkait secara sinergis berfungsi dengan benar. Apabila ada satu elemen yang macet maka akan macetlah seluruh sistem itu.
Banyak orang mengatakan bahwa sistem hukum kita tumpang tindih alias tidak tertata secara koheren dan sistematis. Bahkan dapat dikatan menjadi kian rumit dan silang-sengkarut sehingga “keadilan” pun sering tersesat di labirin kerumitan itu. Hukum dan keadilan di negeri ini menjadi saudara kandung yang saling main akal-akalan dengan berlindung di balik kerumitan tanpa akhir itu. Mereka tidak pernah saling bertemu karena memang orang terlalu sibuk dengan kerumitan itu sehingga lupa terhadap substansinya.
Tiap hari orang juga bicara soal lembek dan lambannya Kejaksaan, MA, Kepolisian, KPK, sebagai pilar utama untuk melakukan penegakan dan lebih jauh lagi reformasi hukum. Tapi pada saat yang sama orang juga bicara soal mafia peradilan yang sudah menjadi lingkaran setan. Pertanyaannya adalah, bagaimana memecahkan lingkaran setan yang sudah macet itu? Tentu, kita tidak dapat mengandalkan elemen-elemen yang sudah ada itu akan melakukan “metamorfosis” karena kehendaknya sendiri. Dibutuhkan suatu upaya ekstra untuk memecahkan lingkaran setan itu. Diperlukan langkah radikal dan spektakuler dalam salah satu atau seluruh elemen dalam sistem yang ada.
Kita tidak dapat melakukan perbaikan hanya dengan langkah parsial dan dalam skala yang biasa pula. Kita memerlukan langkah radikal dan spektakuler serta yang membawa dampak besar. Reformasi di kalangan penegak hukum sama artinya dengan melakukan peremajaan, sebagian yang sudah rusak berat dan tidak dapat diperbaiki harus disingkirkan dan sebagian yang sudah jera akan diberdayakan. Kita yakin bahwa para penegak hukum itu adalah manusia yang memiliki hati nurani. Mereka adalah manusia yang memiliki rasa takut juga.
Kita yakin, di antara sekian ratus juta manusia Indonesia, pasti ada orang yang sanggup menjadi pemimpin semacam itu. Yakni pemimpin yang sanggup bertindak radikal dan visioner. Dikatakan radikal karena menuju reformasi hingga menyentuh sampai akar-akarnya, dan dikatakan visioner karena akan membawa hukum negeri ini ke jalan “pencerahan” yang sebenar-benarnya. Jika gebrakan spektakuler dan sistematis itu dilakukan maka akan menimbulkan multiflier effect, menjadi bola salju yang akan menggelinding ke segala arah, termasuk ke berbagai lembaga hukum utama negeri ini.
Kita masih punya waktu. Setidaknya dalam tiga tahun sisa masa pemerintahan Presiden SBY ini. Itu pun dengan catatan, jika dia dan para pemimpin yang lainnya ingin membuat sejarah dan hendak berbakti kepada bangsa dan negara. Sebagaimana kata pepatah kuno bahwa ukuran seorang pemimpin akan tergantung besar kecilnya tindakan yang dilakukan. Tapi jika SBY ingin menjadi seorang pemimpin dalam ukuran biasa, maka tidak perlu melakukan apa-apa selain menjalankan tugas seorang presiden sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang presiden “yang baik dan benar”. Dalam istilah hukum yang nyaris sudah jadi slogan itu; “menjadi presiden sesuai dengan amanat konstitusi”.
Tapi, apakah sebenarnya amanat konstitusi itu? Bukankah rumusan itu hanya akan menjadi rumusan kosong jika tidak diberi nilai dengan tindakan besar? Jangan lupa, kekuasan yang dipercayakan oleh rakyat kepada seorang presiden sungguh sangat besar. Maka kekuasaan itu juga akan menjadi tidak ada artinya jika tidak diterjemahkan menjadi tindakan yang besar pula!
Banyak orang mengatakan bahwa sistem hukum kita tumpang tindih alias tidak tertata secara koheren dan sistematis. Bahkan dapat dikatan menjadi kian rumit dan silang-sengkarut sehingga “keadilan” pun sering tersesat di labirin kerumitan itu. Hukum dan keadilan di negeri ini menjadi saudara kandung yang saling main akal-akalan dengan berlindung di balik kerumitan tanpa akhir itu. Mereka tidak pernah saling bertemu karena memang orang terlalu sibuk dengan kerumitan itu sehingga lupa terhadap substansinya.
Tiap hari orang juga bicara soal lembek dan lambannya Kejaksaan, MA, Kepolisian, KPK, sebagai pilar utama untuk melakukan penegakan dan lebih jauh lagi reformasi hukum. Tapi pada saat yang sama orang juga bicara soal mafia peradilan yang sudah menjadi lingkaran setan. Pertanyaannya adalah, bagaimana memecahkan lingkaran setan yang sudah macet itu? Tentu, kita tidak dapat mengandalkan elemen-elemen yang sudah ada itu akan melakukan “metamorfosis” karena kehendaknya sendiri. Dibutuhkan suatu upaya ekstra untuk memecahkan lingkaran setan itu. Diperlukan langkah radikal dan spektakuler dalam salah satu atau seluruh elemen dalam sistem yang ada.
Kita tidak dapat melakukan perbaikan hanya dengan langkah parsial dan dalam skala yang biasa pula. Kita memerlukan langkah radikal dan spektakuler serta yang membawa dampak besar. Reformasi di kalangan penegak hukum sama artinya dengan melakukan peremajaan, sebagian yang sudah rusak berat dan tidak dapat diperbaiki harus disingkirkan dan sebagian yang sudah jera akan diberdayakan. Kita yakin bahwa para penegak hukum itu adalah manusia yang memiliki hati nurani. Mereka adalah manusia yang memiliki rasa takut juga.
Jika hal itu dilakukan pasti akan muncul dukungan yang sangat luas di masyarakat maupun di media massa. Bersamaan dengan itu kita harus membuat cetak biru reformasi hukum yang visioner lalu dimumumkan kepada publik. Kemudian kita lakukan penataan sistem hukum yang menyeluruh, termasuk bagaimana membenahi tata manajemen dan administrasi, termasuk perbaikan kesejahteraan para penegak hukum dan prasyarat-prasyarat teknis yang mutlak harus dipenuhi dalam upaya reformasi. Penataan itu akhirnya juga akan diikuti oleh upaya transparansi dalam segala hal.
Kita membutuhkan orang-orang yang mampu menerjemahkan cetak biru tersebut di Kejaksaan, MA dan Kepolisian.Selain mampu menerjemahkan cetak biru reformasi hukum yang komprehensif dan visioner dalam tubuh lembaga itu sendiri, lebih dari itu ia adalah orang yang mampu melakukan tindakan besar pula. Kita membutuhkan sosok pimpinan penegak hukum sebagai pemimpin yang kuat dalam arti harfiah. Ia adalah manusia yang sanggup menghadapi risiko apa pun, termasuk risiko untuk mati.
Kita yakin, di antara sekian ratus juta manusia Indonesia, pasti ada orang yang sanggup menjadi pemimpin semacam itu. Yakni pemimpin yang sanggup bertindak radikal dan visioner. Dikatakan radikal karena menuju reformasi hingga menyentuh sampai akar-akarnya, dan dikatakan visioner karena akan membawa hukum negeri ini ke jalan “pencerahan” yang sebenar-benarnya. Jika gebrakan spektakuler dan sistematis itu dilakukan maka akan menimbulkan multiflier effect, menjadi bola salju yang akan menggelinding ke segala arah, termasuk ke berbagai lembaga hukum utama negeri ini.
Barangkali itu kedengaran seperti utopia atau mimpi di siang bolong belaka. Tapi kini sudah bukan saatnya lagi berbicara canggih melalui analisis hukum dalam perspektif formal sistem jurisprudensi atau telaah sosiologis, filosifis atau sosio-kultural. Itu sudah terlalu banyak dilakukan, tapi faktanya tidak mengubah apa-apa. Dalam konteks reformasi hukum kita, yang diperlukan bukan elaborasi diskursif semata-mata melainkan, sekali lagi, sebuah tindakan besar.
Hanya dengan begitu kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan pulih kembali. Dan jika kepercayaan itu mulai pulih maka kita sudah mendapatkan separuh modal untuk melakukan penegakan dan penataan hukum. Siapa pun tahu betapa mahal harga sebuah kepercayaan. Apalagi jika kepercayaan itu datang dari rakyat.
Kita masih punya waktu. Setidaknya dalam tiga tahun sisa masa pemerintahan Presiden SBY ini. Itu pun dengan catatan, jika dia dan para pemimpin yang lainnya ingin membuat sejarah dan hendak berbakti kepada bangsa dan negara. Sebagaimana kata pepatah kuno bahwa ukuran seorang pemimpin akan tergantung besar kecilnya tindakan yang dilakukan. Tapi jika SBY ingin menjadi seorang pemimpin dalam ukuran biasa, maka tidak perlu melakukan apa-apa selain menjalankan tugas seorang presiden sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang presiden “yang baik dan benar”. Dalam istilah hukum yang nyaris sudah jadi slogan itu; “menjadi presiden sesuai dengan amanat konstitusi”.
Tapi, apakah sebenarnya amanat konstitusi itu? Bukankah rumusan itu hanya akan menjadi rumusan kosong jika tidak diberi nilai dengan tindakan besar? Jangan lupa, kekuasan yang dipercayakan oleh rakyat kepada seorang presiden sungguh sangat besar. Maka kekuasaan itu juga akan menjadi tidak ada artinya jika tidak diterjemahkan menjadi tindakan yang besar pula!
Asmar Oemar Saleh, Advokat, Pendiri Reform Institute
No comments:
Post a Comment