Setelah diwarnai pelbagaiperkembangan "baru" yang menarik, kasus Akbar Tandjung atau masyhur dengan sebutan Buloggate II kini tengah memasuki babak akhir. Berbagai perkembangan baru itu ditandai dengan tersingkapnya berbagai kebohongan, kesaksian palsu, dan rekayasa.
Pertama, pengakuan Dadang Sukandar (Ketua Yayasan Raudatul Jannah) di hadapan majelis hakim bahwa dirinya telah memberi kesaksian atau keterangan palsu. Dana nonbudgeter Bulog yang sebelumnya dikatakan untuk keperluan penyaluran sembako, ternyata 90 persen hanya fiktif belaka. Kedua, “Skenario Mahakam” (belakangan terungkap Skenario Mayestik) yang diungkap oleh penasihat hukum Rahardi Ramelan (Trimoelja D Soerjadi) yang menyatakan bahwa Akbar dan pengacaranya (Hotman Sitompul) menawarkan skenario besar penyelamatan posisi Akbar.
Tawaran yang cenderung hanya menguntungkan Akbar itu, seperti kita tahu
ditolak Rahardi, bahkan ia menantang Akbar untuk fight di pengadilan. Sebuah tantangan yang logis, karena tak ada orang waras yang mau dijadikan kambing hitam atau dikorbankan untuk suatu hal yang tidak benar atau tak dilakukan. Persis pada titik inilah dugaan adanya manipulasi dan rekayasa pada kasus Buloggate II tersebut kian menemukan titik terangnya.
Ketiga, upaya tim penasihat hukum Rahardi yang mempertanyakan akta pendirian Yayasan Raudhatul Jannah yang dibuat di Subang, padahal para pendirinya tinggal di Jakarta. Demikian pula adanya nama almarhum Dadi Surjadi sebagai wakil ketua yayasan tahun 2001, padahal Dadi sudah meninggal sejak tahun 2000 (Kompas, 1/5). Fakta ini pastilah menggelikan dan menghina akal sehat. Keempat, pengakuan Winfried Simatupang-kontraktor penyaluran sembako-bahwa pengembalian dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar kepada penyidik Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu adalah bagian dari skenario untuk menyelamatkan Akbar Tandjung.
Poin pertama di atas secara common sense jelas terbukti. Artinya, tanpa publik harus terlalu lama menunggu keputusan pengadilan, akal sehat publik dengan gampang “memvonis” Dadang Sukandar sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi dan memberikan kesaksian palsu. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau menguntungkan diri sendiri, dengan sendirinya terpenuhi. Dan soal kesaksian palsu ini Dadang bisa dijerat dakwaan baru berupa sumpah atau saksi palsu. Bukan saja bukti-bukti obyektif yang terpenuhi, tapi juga atas dasar “persangkaan” hakim seperti diamanatkan Pasal 174 Ayat 1 (satu). “Persangkaan” hakim itu makin kukuh karena didasarkan pada pengakuan terdakwa sendiri.
Adapun poin kedua di atas-meski sudah ditunjukkan dan dikuatkan oleh rekaman kaset soal isi atau substansi pertemuan yang membuktikan adanya skenario penyelamatan Akbar, pihak Akbar dan pengacaranya tetap saja menyangkalnya (baca: tidak mengakui secara eksplisit materi pertemuan dan cenderung menuduh pihak Rahardi mengalihkan persoalan). Dikatakan oleh Akbar, bahwa pertemuan di Hotel Gran Mahakam itu benar adanya, tapi menyangkut substansi yang dituduhkan Trimoelja, Akbar mengaku lupa. Dan sialnya dalam sistem hukum pembuktian di negeri kita, rekaman tidak bisa dijadikan barang bukti. Lebih dari itu, orang tak bisa dihukum karena lupa. Hanya mungkin perlu diingkatkan, mengapa untuk hal-hal yang begitu penting, para terdakwa kerap terserang penyakit “lupa”. Publik lagi-lagi gampang “memvonis” bahwa sejatinya mereka tengah membela diri atau menutupi kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mereka tak benar-benar lupa.
Poin ketiga dan keempat di atas, berdasarkan logika publik, jelas menunjukkan adanya rekayasa untuk menutup-nutupi (cover-up) kenyataan yang sebenarnya. Hal ini juga kian membenarkan dugaan adanya skenario besar untuk “menyelamatkan” Akbar atau Golkar.
Rekonstruksi peristiwa (atau fakta) di persidangan di atas terasa urgen untuk dikemukakan kembali di sini. Sebab dari situ Majelis Hakim bisa menimbang dengan saksama putusan apa yang akan dijatuhkan kepada para terdakwa.
Lebih dari itu, tulisan ini dibuat untuk menyegarkan kembali ingatan Majelis Hakim akan signifikansi dan relevansi falsafah hukum dan peradilan kita. Tujuannya agar mereka bisa memutus perkara secara benar dan bijak. Ini karena kasus ini bukan saja telah dan akan menyedot perhatian publik, tapi juga—dan ini yang lebih penting—kasus ini adalah momentum kesekian kali untuk memulihkan kembali citra, wibawa dan wajah peradilan kita yang sudah belepotan itu. Amat sayang jika momentum itu kembali hilang.
Falsafah kekuasaan peradilan
Setiap mahasiswa fakultas hukum mafhum, kekuasaan peradilan yang dianut di negeri kita menganut falsafah Pancasila. Landasan filosofis ini menegaskan, pelaksanaan peradilan dilakukan berdasarkan sila pertama, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa. Kendati falsafah itu seolah-olah melakukan pendekatan yang lebih mengutamakan sila pertama, hal itu tak mengurangi landasan lain, seperti perikemanusiaan dan rule of law. Dengan demikian, yang dijunjung tinggi bukan judicial power tapi kekuasaan peradilan yang tunduk kepada supremasi hukum. Oleh karena itu, Pasal 4 UU No. 14/1970 telah merumuskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan wewenang peradilan, harus dijalankan: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” (M. Yahya Harahap, 1985).
Dalam perspektif seperti ini, keputusan apa pun yang diambil oleh sebuah lembaga peradilan, pertanggungjawabannya tidak semata-mata ditujukan kepada nurani masyarakat dan diri sendiri, tapi juga kepada Tuhan. Perasaan gentar, takut, dan ewuh pakewuh tentu harus dibuang. Karena itu sangat naif jika sebuah keputusan hukum dibayang-bayangi oleh kekuasaan politik-ekonomi sekelompok orang/penguasa. Sebuah keputusan hukum harus bebas dari kekuasaan extra judicial baik berupa ancaman, intimidasi, atau bahkan dipengaruhi oleh uang. Sebaliknya, seorang terdakwa tak dibenarkan untuk mempengaruhi keputusan yang bakal diambil oleh hakim dengan memberikan “sesuatu”. Cita-cita, idealisme, dan tujuan peradilan kita bukan saja keadilan lahir dan kebebasan peradilan, tapi juga terjaganya nurani publik. Ketertiban yang akan dibangun adalah ketertiban yang hakiki, lahir-batin, bukan ketertiban semu seperti yang sering terjadi selama ini.
Landasan filosofis di atas terasa urgen untuk dikemukakan di sini, terlebih ketika banyak putusan-putusan hukum di negeri kita terkesan kuat menafikan perspektif ketuhanan dan mengingkari keadilan publik. Lebih jauh, landasan filosofis di atas juga untuk mengingatkan kembali nurani para hakim yang sedang dan akan mengadili kasus-kasus besar di Indonesia. Sebab dari palu yang digenggamnyalah masa depan, nasib, dan jalan hidup seseorang akan ditentukan. Penjelasan di bawah ini barangkali akan membantu memahami pernyataan di atas.
Asas pembuktian
Seperti dimaklumi, sistem peradilan di negara kita menganut asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem ini merupakan gabungan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-intime. Jika dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, maka dalam sistem conviction-intime kesalahan atau ketidakbersalahan seorang terdakwa ditentukan oleh “keyakinan” subyektif sang hakim. Keyakinan hakim itu terbit dari alat-alat bukti yang disodorkan kepadanya atau yang muncul di pengadilan. Hakim bisa saja mengabaikan temuan-temuan itu, dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, hakim dalam sistem ini sungguh-sungguh amat berkuasa (powerful) dalam menentukan hitam-putihnya seseorang.
Karena itu sistem yang diberlakukan di Indonesia mencoba menjembatani dua kutub ekstrem di atas: satu kutub yang amat menekankan pada fakta atau bukti dan kutub lainnya yang menekankan “keyakinan” subyektif hakim. Itu berarti seorang terdakwa baru dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta keterbuktikan kesalahan tadi “dibarengi” pula dengan keyakinan hakim (M. Yahya Harahap; 1985).
Akan tetapi, meski secara teoretis-normatif sistem ini mencoba menyeimbangkan antara unsur obyektif (fakta-fakta) dan unsur subyektif hakim (“keyakinan”), dalam praktiknya unsur subyektif hakim tersebut sering terlihat amat dominan dalam menentukan keputusan hukum. Ini karena unsur subyektif hakim tersebut dilatari oleh masa lalu sang hakim, moralitas, integritas, dan interaksi atau komunikasinya dengan terdakwa. Mohon diingat, hakim adalah manusia biasa, dengan segala kenisbian, keterbatasan dan sifat manusiawi lainnya seperti mudah tergoda oleh iming-iming materi dari terdakwa atau malah takut ancaman yang mungkin timbul dari keputusan yang dihasilkan. Hal-hal seperti inilah yang membuat segenap bukti yang tampak di pengadilan--betapa pun validnya—akan sia-sia belaka. Seorang hakim bisa saja berdalih bahwa bukti yang disodorkan di pengadilan tak meyakinkan dan karenanya ia membebaskan terdakwa dari semua tuduhan yang didakwakan kepadanya. Atau kalaupun seorang terdakwa dijatuhi hukuman, maka putusan hakim tersebut dinilai publik terlalu ringan, tak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Dalam pengalaman di negeri kita selama tiga dasawarsa lebih, fenomena ini sering terjadi. Publik kerap tercabik-cabik nurani dan rasa keadilannya.
Hal inilah yang terjadi pada kasus Buloggate II. Apalagi sejak awal kasus ini memang diplot untuk mengikuti skenario dana mengalir ke yayasan yang kontroversial itu. Dan seperti diduga, hakim atau jaksa “konsisten” dengan materi berita acara tersebut. Dalam persidangan selama ini, ada kesan kuat hakim dan jaksa “melindungi” Akbar dan abai terhadap nurani publik. Ditangguhkannya penahanan terhadap Akbar beberapa waktu lalu, hanyalah salah satu bukti betapa Akbar mendapat “perlakuan” khusus. Karena itu, sangat mungkin mereka akan membela Akbar dengan pelbagai kewenangan yang dimiliki.
Oleh karena itu, nasib Akbar dan putusan akhir terhadapnya pada akhirnya akan sangat tergantung pada pertama, kecermatan dan kewaskitaan (wisdom) hakim dalam menyimak bukti-bukti yang berhasil dikuak di persidangan. Kedua penghayatan seorang hakim terhadap falsafah kekuasaan peradilan di negeri kita. Dan ketiga, “keyakinan” subyektif hakim atas semua bukti yang diajukan, termasuk beberapa kejutan-kejutan baru seperti disebut di atas.
Di atas semua itu, majelis hakim harus ingat bahwa pembongkaran tuntas atas kasus ini akan mengubah drastis lanskap politik dan hukum kita di masa depan. Bahkan masa depan Republik dan hukum kita ke depan amat bergantung pada keputusan hukum yang akan diambil majelis hakim. Kini publik menunggu dengan cemas apakah Majelis Hakim akan setia pada falsafah peradilan dan hukum kita—dengan tak menafikan fakta-fakta di persidangan, ataukah justru mengkhianatinya.
Asmar Oemar Saleh, Advokat
Pertama, pengakuan Dadang Sukandar (Ketua Yayasan Raudatul Jannah) di hadapan majelis hakim bahwa dirinya telah memberi kesaksian atau keterangan palsu. Dana nonbudgeter Bulog yang sebelumnya dikatakan untuk keperluan penyaluran sembako, ternyata 90 persen hanya fiktif belaka. Kedua, “Skenario Mahakam” (belakangan terungkap Skenario Mayestik) yang diungkap oleh penasihat hukum Rahardi Ramelan (Trimoelja D Soerjadi) yang menyatakan bahwa Akbar dan pengacaranya (Hotman Sitompul) menawarkan skenario besar penyelamatan posisi Akbar.
Tawaran yang cenderung hanya menguntungkan Akbar itu, seperti kita tahu
ditolak Rahardi, bahkan ia menantang Akbar untuk fight di pengadilan. Sebuah tantangan yang logis, karena tak ada orang waras yang mau dijadikan kambing hitam atau dikorbankan untuk suatu hal yang tidak benar atau tak dilakukan. Persis pada titik inilah dugaan adanya manipulasi dan rekayasa pada kasus Buloggate II tersebut kian menemukan titik terangnya.
Ketiga, upaya tim penasihat hukum Rahardi yang mempertanyakan akta pendirian Yayasan Raudhatul Jannah yang dibuat di Subang, padahal para pendirinya tinggal di Jakarta. Demikian pula adanya nama almarhum Dadi Surjadi sebagai wakil ketua yayasan tahun 2001, padahal Dadi sudah meninggal sejak tahun 2000 (Kompas, 1/5). Fakta ini pastilah menggelikan dan menghina akal sehat. Keempat, pengakuan Winfried Simatupang-kontraktor penyaluran sembako-bahwa pengembalian dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar kepada penyidik Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu adalah bagian dari skenario untuk menyelamatkan Akbar Tandjung.
Poin pertama di atas secara common sense jelas terbukti. Artinya, tanpa publik harus terlalu lama menunggu keputusan pengadilan, akal sehat publik dengan gampang “memvonis” Dadang Sukandar sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi dan memberikan kesaksian palsu. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau menguntungkan diri sendiri, dengan sendirinya terpenuhi. Dan soal kesaksian palsu ini Dadang bisa dijerat dakwaan baru berupa sumpah atau saksi palsu. Bukan saja bukti-bukti obyektif yang terpenuhi, tapi juga atas dasar “persangkaan” hakim seperti diamanatkan Pasal 174 Ayat 1 (satu). “Persangkaan” hakim itu makin kukuh karena didasarkan pada pengakuan terdakwa sendiri.
Adapun poin kedua di atas-meski sudah ditunjukkan dan dikuatkan oleh rekaman kaset soal isi atau substansi pertemuan yang membuktikan adanya skenario penyelamatan Akbar, pihak Akbar dan pengacaranya tetap saja menyangkalnya (baca: tidak mengakui secara eksplisit materi pertemuan dan cenderung menuduh pihak Rahardi mengalihkan persoalan). Dikatakan oleh Akbar, bahwa pertemuan di Hotel Gran Mahakam itu benar adanya, tapi menyangkut substansi yang dituduhkan Trimoelja, Akbar mengaku lupa. Dan sialnya dalam sistem hukum pembuktian di negeri kita, rekaman tidak bisa dijadikan barang bukti. Lebih dari itu, orang tak bisa dihukum karena lupa. Hanya mungkin perlu diingkatkan, mengapa untuk hal-hal yang begitu penting, para terdakwa kerap terserang penyakit “lupa”. Publik lagi-lagi gampang “memvonis” bahwa sejatinya mereka tengah membela diri atau menutupi kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mereka tak benar-benar lupa.
Poin ketiga dan keempat di atas, berdasarkan logika publik, jelas menunjukkan adanya rekayasa untuk menutup-nutupi (cover-up) kenyataan yang sebenarnya. Hal ini juga kian membenarkan dugaan adanya skenario besar untuk “menyelamatkan” Akbar atau Golkar.
Rekonstruksi peristiwa (atau fakta) di persidangan di atas terasa urgen untuk dikemukakan kembali di sini. Sebab dari situ Majelis Hakim bisa menimbang dengan saksama putusan apa yang akan dijatuhkan kepada para terdakwa.
Lebih dari itu, tulisan ini dibuat untuk menyegarkan kembali ingatan Majelis Hakim akan signifikansi dan relevansi falsafah hukum dan peradilan kita. Tujuannya agar mereka bisa memutus perkara secara benar dan bijak. Ini karena kasus ini bukan saja telah dan akan menyedot perhatian publik, tapi juga—dan ini yang lebih penting—kasus ini adalah momentum kesekian kali untuk memulihkan kembali citra, wibawa dan wajah peradilan kita yang sudah belepotan itu. Amat sayang jika momentum itu kembali hilang.
Falsafah kekuasaan peradilan
Setiap mahasiswa fakultas hukum mafhum, kekuasaan peradilan yang dianut di negeri kita menganut falsafah Pancasila. Landasan filosofis ini menegaskan, pelaksanaan peradilan dilakukan berdasarkan sila pertama, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa. Kendati falsafah itu seolah-olah melakukan pendekatan yang lebih mengutamakan sila pertama, hal itu tak mengurangi landasan lain, seperti perikemanusiaan dan rule of law. Dengan demikian, yang dijunjung tinggi bukan judicial power tapi kekuasaan peradilan yang tunduk kepada supremasi hukum. Oleh karena itu, Pasal 4 UU No. 14/1970 telah merumuskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan wewenang peradilan, harus dijalankan: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” (M. Yahya Harahap, 1985).
Dalam perspektif seperti ini, keputusan apa pun yang diambil oleh sebuah lembaga peradilan, pertanggungjawabannya tidak semata-mata ditujukan kepada nurani masyarakat dan diri sendiri, tapi juga kepada Tuhan. Perasaan gentar, takut, dan ewuh pakewuh tentu harus dibuang. Karena itu sangat naif jika sebuah keputusan hukum dibayang-bayangi oleh kekuasaan politik-ekonomi sekelompok orang/penguasa. Sebuah keputusan hukum harus bebas dari kekuasaan extra judicial baik berupa ancaman, intimidasi, atau bahkan dipengaruhi oleh uang. Sebaliknya, seorang terdakwa tak dibenarkan untuk mempengaruhi keputusan yang bakal diambil oleh hakim dengan memberikan “sesuatu”. Cita-cita, idealisme, dan tujuan peradilan kita bukan saja keadilan lahir dan kebebasan peradilan, tapi juga terjaganya nurani publik. Ketertiban yang akan dibangun adalah ketertiban yang hakiki, lahir-batin, bukan ketertiban semu seperti yang sering terjadi selama ini.
Landasan filosofis di atas terasa urgen untuk dikemukakan di sini, terlebih ketika banyak putusan-putusan hukum di negeri kita terkesan kuat menafikan perspektif ketuhanan dan mengingkari keadilan publik. Lebih jauh, landasan filosofis di atas juga untuk mengingatkan kembali nurani para hakim yang sedang dan akan mengadili kasus-kasus besar di Indonesia. Sebab dari palu yang digenggamnyalah masa depan, nasib, dan jalan hidup seseorang akan ditentukan. Penjelasan di bawah ini barangkali akan membantu memahami pernyataan di atas.
Asas pembuktian
Seperti dimaklumi, sistem peradilan di negara kita menganut asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem ini merupakan gabungan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-intime. Jika dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, maka dalam sistem conviction-intime kesalahan atau ketidakbersalahan seorang terdakwa ditentukan oleh “keyakinan” subyektif sang hakim. Keyakinan hakim itu terbit dari alat-alat bukti yang disodorkan kepadanya atau yang muncul di pengadilan. Hakim bisa saja mengabaikan temuan-temuan itu, dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, hakim dalam sistem ini sungguh-sungguh amat berkuasa (powerful) dalam menentukan hitam-putihnya seseorang.
Karena itu sistem yang diberlakukan di Indonesia mencoba menjembatani dua kutub ekstrem di atas: satu kutub yang amat menekankan pada fakta atau bukti dan kutub lainnya yang menekankan “keyakinan” subyektif hakim. Itu berarti seorang terdakwa baru dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta keterbuktikan kesalahan tadi “dibarengi” pula dengan keyakinan hakim (M. Yahya Harahap; 1985).
Akan tetapi, meski secara teoretis-normatif sistem ini mencoba menyeimbangkan antara unsur obyektif (fakta-fakta) dan unsur subyektif hakim (“keyakinan”), dalam praktiknya unsur subyektif hakim tersebut sering terlihat amat dominan dalam menentukan keputusan hukum. Ini karena unsur subyektif hakim tersebut dilatari oleh masa lalu sang hakim, moralitas, integritas, dan interaksi atau komunikasinya dengan terdakwa. Mohon diingat, hakim adalah manusia biasa, dengan segala kenisbian, keterbatasan dan sifat manusiawi lainnya seperti mudah tergoda oleh iming-iming materi dari terdakwa atau malah takut ancaman yang mungkin timbul dari keputusan yang dihasilkan. Hal-hal seperti inilah yang membuat segenap bukti yang tampak di pengadilan--betapa pun validnya—akan sia-sia belaka. Seorang hakim bisa saja berdalih bahwa bukti yang disodorkan di pengadilan tak meyakinkan dan karenanya ia membebaskan terdakwa dari semua tuduhan yang didakwakan kepadanya. Atau kalaupun seorang terdakwa dijatuhi hukuman, maka putusan hakim tersebut dinilai publik terlalu ringan, tak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Dalam pengalaman di negeri kita selama tiga dasawarsa lebih, fenomena ini sering terjadi. Publik kerap tercabik-cabik nurani dan rasa keadilannya.
Hal inilah yang terjadi pada kasus Buloggate II. Apalagi sejak awal kasus ini memang diplot untuk mengikuti skenario dana mengalir ke yayasan yang kontroversial itu. Dan seperti diduga, hakim atau jaksa “konsisten” dengan materi berita acara tersebut. Dalam persidangan selama ini, ada kesan kuat hakim dan jaksa “melindungi” Akbar dan abai terhadap nurani publik. Ditangguhkannya penahanan terhadap Akbar beberapa waktu lalu, hanyalah salah satu bukti betapa Akbar mendapat “perlakuan” khusus. Karena itu, sangat mungkin mereka akan membela Akbar dengan pelbagai kewenangan yang dimiliki.
Oleh karena itu, nasib Akbar dan putusan akhir terhadapnya pada akhirnya akan sangat tergantung pada pertama, kecermatan dan kewaskitaan (wisdom) hakim dalam menyimak bukti-bukti yang berhasil dikuak di persidangan. Kedua penghayatan seorang hakim terhadap falsafah kekuasaan peradilan di negeri kita. Dan ketiga, “keyakinan” subyektif hakim atas semua bukti yang diajukan, termasuk beberapa kejutan-kejutan baru seperti disebut di atas.
Di atas semua itu, majelis hakim harus ingat bahwa pembongkaran tuntas atas kasus ini akan mengubah drastis lanskap politik dan hukum kita di masa depan. Bahkan masa depan Republik dan hukum kita ke depan amat bergantung pada keputusan hukum yang akan diambil majelis hakim. Kini publik menunggu dengan cemas apakah Majelis Hakim akan setia pada falsafah peradilan dan hukum kita—dengan tak menafikan fakta-fakta di persidangan, ataukah justru mengkhianatinya.
Asmar Oemar Saleh, Advokat
No comments:
Post a Comment