Ada tiga pesan penting dalam pidato SBY Selasa (11/7) malam yang lalu. Pertama, di tengah-tengah kemelut yang melanda Partai Demokrat selama dua bulan terakhir ini, ia menegaskan keharusan konsolidasi untuk menghadapi krisis internal dan upaya perongrongan eksternal. Kedua, ia seperti mempembarui mandat kepada Ketua Umum Anas Urbaningrum untuk menjalankan kepemimpinan partai. Ketiga, penegasan bahwa SBY akan mulai mengambil jarak pada urusan internal kepartaian dalam rangka konsentrasi pada tugas-tugas kenegaraan.
Jika analisis ini dimulai dari pokok ketiga dari pidato itu, sebuah kesimpulan tampaknya akan menjadi sangat penting untuk dicermati. SBY, di tengah-tengah kekecewaan publik yang meluas terhadap gaya dan efektivitas kepemimpinannya, tampak mulai mengambil langkah-langkah yang terencana untuk konsentrasi pada tugas-tugas managerial pemerintahan.
Apapun beban politik yang ditanggungnya sekarang, langkah seperti ini jelas sebuah awal yang baik untuk memperbaiki kinerjanya selama tiga tahun terakhir masa jabatannya. Oleh Konstitusi, ia jelas tidak memiliki peluang untuk maju kembali dalam kontestasi kepresidenan 2014. Apa yang tersisa baginya adalah mengakhiri kepemimpinannya untuk meninggalkan kesan yang baik. Orang memang akan menilai tindakan ini sebagai “too little and too late.” Tapi apa boleh buat. Tak ada pilihan lain.
Jadi, berbeda dengan ulasan banyak pengamat yang menilai bahwa Pidato 11 Juli itu merupakan indikasi untuk menepiskan “todongan pistol Anas yang tak terlihat di punggung SBY,” SBY justru memilih untuk tidak ingin lagi diganggu dengan friksi internal partai yang semakin hari semakin ruwet. Ia kemudian menyerahkan urusan partai sepenuhnya kepada kepemimpinan Ketua Umum.
Keputusan ini sebenarnya telah mengakhiri satu babak dari rangkaian dilema Partai Demokrat sejak kasus Nazaruddin meledak. Sejauh yang bisa diamati, partai ini sebenarnya mengidap tiga dilema serius sebagai dampak mencuatnya kasus itu.
Pertama, apakah PD akan terus mengalami pembusukan karena dicitrakan sebagai partai korup oleh praktek korup bendaharanya? Kedua, apakah PD akan dibiarkan terus melemah akibat perebutan faksi-faksi internalnya yang semakin tajam, yakni faksi Anas dan faksi Marzuki? Dan ketiga, apakah PD akan tetap mengalami dualisme kepemimpinan pada tingkat eksekutif antara kepemimpinan formal di bawah Anas Urbaningrum di satu pihak, dan dikte informal Ketua Dewan Pembinanya di pihak lain?
Dengan keputusan SBY untuk menyerahkan tugas konsolidasi internal kepada Ketua Umum, PD telah memecahkan dilema yang terakhir itu. Kini tinggal dua dilema lainnya yang harus diselesaikan.
Konsolidasi Internal
Tugas utama Ketua Umum Anas Urbaningrum untuk melakukan konsolidasi partai pertama-tama adalah menyelesaikan friksinya dengan faksi Marzuki Alie yang sejauh ini menganggap kepemimpinan Anas terlalu lembek dan terlalu-HMI. Dalam pandangan Marzuki, di bawah kepemimpinan Anas, Partai Demokrat akan dipakai sebagai basis kekuatan baru untuk kepentingan penggalangan dukungan bagi pencalonan Presiden, setidaknya pada 2019.
Untuk mencegah kekuatannya menjadi makin besar, Marzuki diam-diam terus berusaha mendeskreditkan Anas sebagai bahaya bagi SBY. Dia pulalah yang melalui berbagai jaringan politiknya berusaha menyingkirkan kelompok-kelompok non-HMI yang mendukung Anas, dan akan melokalisasi wilayah pengaruh Anas hanya di basis tradisional HMI-nya saja. Upaya lain yang sejauh ini dilakukannya adalah mengusulkan suksesi di tengah jalan untuk mengganatikan Anas melalui Kongres Luar Biasa.
Keputusan SBY untuk memberi kepada Anas peluang memperkuat kepemimpinannya, jelas membuat langkah-langkah Marzuki Alie mengalami blunder. Apakah perseteruan mereka akan terus berlangsung? Atau apakah kubu Marzuki Alie akan bikin rekonsiliasi? Kita masih harus membaca keadaan.
Tantangan Anas yang lain untuk konsolidasi kepartaian adalah menertibkan kader-kader yang bermasalah, persis seperti yang diamanatkan SBY. Ini memang perkara yang gampang-gampang susah. Seperti halnya partai-partai lain, PD juga mengidap masalah-masalah etika politik, praktek politik-uang, oportunisme politik, para politisi kutu loncat yang hanya berkepentingan untuk mencari kekayaan dan kekuasaan, serta orientasi ideologis yang sangat kabur sebagai partai politik.
Karena kriterium untuk penertiban kader “bermasalah” belum terlalu terang – dan selalu terseret ke wilayah abu-abu antara etika vs. kekuasaan – maka standarnya adalah menjaga mereka untuk tetap berada di koridor hukum, moralitas umum, dan tujuan-tujuan politik partai. Ini tentu merupakan wilayah fatsoen politik.
Tapi sebenarnya konsolidasi partai tidak hanya cukup di wilayah itu. Jika Anas ingin terus survive di dalam politik dengan peranan yang lebih signifikan dan strategis, ada kebutuhan yang lebih esensial, yakni reformasi kepartaian.
Reformasi Kepartaian
Sejak didirikannya, PD tidak pernah muncul dengan jargon sebagai partai alternatif untuk memerankan fungsi-fungsi ideal sebuah partai politik. PD lebih didesain secara pragmatis sebagai mesin pemilu, persis seperti Golkar, dengan hanya mengandalkan jaringan-jaringan kekuasaan peninggalan Orde Baru.
Reformasi kepartaian yang harus dilakukan PD haruslah dimulai dengan sebuah aksioma primer bahwa partai ini akan membangun tradisi politik baru. Tidak ada reformasi kepartaian yang berhasil tanpa upaya memutus tradisi politik lama. Tak ada pembaruan yang signifikan jika tradisi lama masih akan terus dipraktekkan.
Apa yang dimaksud dengan tradisi politik baru adalah persis merupakan kebalikan mutlak dari tradisi politik lama. Jika tradisi politik lama adalah bahwa partai dibangun sekadar sebagai alat untuk menggalang suara untuk kepentingan pemilu, maka tradisi baru yang akan dibangun haruslah dalam rangka menggalang dukungan bedasarkan kepentingan-kepentingan spesifik basis sosialnya.
Jika tradisi politik lama adalah partai dengan orientasi elitis, maka tradisi baru yang akan dibangun adalah dalam rangka merevitalisasi representasi popular. Jika tradisi lama adalah politik uang, maka tradisi baru yang akan dibangun adalah untuk membangkitkan kembali kepercayaan bahwa partai-politik mengemban amanat untuk kemaslahatan publik. Jika tradisi politik lama adalah politik transaksional demi kalkulasi-kalkulasi untung-rugi dan jualan suara, maka tradisi baru yang akan dibangun adalah komitmen ideologis untuk membangun masa depan keadaban politik.
Tentu reformasi kepartaian tidaklah sesederhana rumusan-rumusan normatif di atas. Akan ada banyak agenda kongkret pada tahap transisional untuk memutuskan hubungan dengan praktek-praktek politik lama. Wilayah reformasi kepartaian mencakup hampir semua dimensi hubungan-hubungan kekuasaan antara partai dengan masyarakat, juga antara partai dengan negara.
Asmar Oemar Saleh, Ketua Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM, DPP Partai Demokrat
Jika analisis ini dimulai dari pokok ketiga dari pidato itu, sebuah kesimpulan tampaknya akan menjadi sangat penting untuk dicermati. SBY, di tengah-tengah kekecewaan publik yang meluas terhadap gaya dan efektivitas kepemimpinannya, tampak mulai mengambil langkah-langkah yang terencana untuk konsentrasi pada tugas-tugas managerial pemerintahan.
Apapun beban politik yang ditanggungnya sekarang, langkah seperti ini jelas sebuah awal yang baik untuk memperbaiki kinerjanya selama tiga tahun terakhir masa jabatannya. Oleh Konstitusi, ia jelas tidak memiliki peluang untuk maju kembali dalam kontestasi kepresidenan 2014. Apa yang tersisa baginya adalah mengakhiri kepemimpinannya untuk meninggalkan kesan yang baik. Orang memang akan menilai tindakan ini sebagai “too little and too late.” Tapi apa boleh buat. Tak ada pilihan lain.
Jadi, berbeda dengan ulasan banyak pengamat yang menilai bahwa Pidato 11 Juli itu merupakan indikasi untuk menepiskan “todongan pistol Anas yang tak terlihat di punggung SBY,” SBY justru memilih untuk tidak ingin lagi diganggu dengan friksi internal partai yang semakin hari semakin ruwet. Ia kemudian menyerahkan urusan partai sepenuhnya kepada kepemimpinan Ketua Umum.
Keputusan ini sebenarnya telah mengakhiri satu babak dari rangkaian dilema Partai Demokrat sejak kasus Nazaruddin meledak. Sejauh yang bisa diamati, partai ini sebenarnya mengidap tiga dilema serius sebagai dampak mencuatnya kasus itu.
Pertama, apakah PD akan terus mengalami pembusukan karena dicitrakan sebagai partai korup oleh praktek korup bendaharanya? Kedua, apakah PD akan dibiarkan terus melemah akibat perebutan faksi-faksi internalnya yang semakin tajam, yakni faksi Anas dan faksi Marzuki? Dan ketiga, apakah PD akan tetap mengalami dualisme kepemimpinan pada tingkat eksekutif antara kepemimpinan formal di bawah Anas Urbaningrum di satu pihak, dan dikte informal Ketua Dewan Pembinanya di pihak lain?
Dengan keputusan SBY untuk menyerahkan tugas konsolidasi internal kepada Ketua Umum, PD telah memecahkan dilema yang terakhir itu. Kini tinggal dua dilema lainnya yang harus diselesaikan.
Konsolidasi Internal
Tugas utama Ketua Umum Anas Urbaningrum untuk melakukan konsolidasi partai pertama-tama adalah menyelesaikan friksinya dengan faksi Marzuki Alie yang sejauh ini menganggap kepemimpinan Anas terlalu lembek dan terlalu-HMI. Dalam pandangan Marzuki, di bawah kepemimpinan Anas, Partai Demokrat akan dipakai sebagai basis kekuatan baru untuk kepentingan penggalangan dukungan bagi pencalonan Presiden, setidaknya pada 2019.
Untuk mencegah kekuatannya menjadi makin besar, Marzuki diam-diam terus berusaha mendeskreditkan Anas sebagai bahaya bagi SBY. Dia pulalah yang melalui berbagai jaringan politiknya berusaha menyingkirkan kelompok-kelompok non-HMI yang mendukung Anas, dan akan melokalisasi wilayah pengaruh Anas hanya di basis tradisional HMI-nya saja. Upaya lain yang sejauh ini dilakukannya adalah mengusulkan suksesi di tengah jalan untuk mengganatikan Anas melalui Kongres Luar Biasa.
Keputusan SBY untuk memberi kepada Anas peluang memperkuat kepemimpinannya, jelas membuat langkah-langkah Marzuki Alie mengalami blunder. Apakah perseteruan mereka akan terus berlangsung? Atau apakah kubu Marzuki Alie akan bikin rekonsiliasi? Kita masih harus membaca keadaan.
Tantangan Anas yang lain untuk konsolidasi kepartaian adalah menertibkan kader-kader yang bermasalah, persis seperti yang diamanatkan SBY. Ini memang perkara yang gampang-gampang susah. Seperti halnya partai-partai lain, PD juga mengidap masalah-masalah etika politik, praktek politik-uang, oportunisme politik, para politisi kutu loncat yang hanya berkepentingan untuk mencari kekayaan dan kekuasaan, serta orientasi ideologis yang sangat kabur sebagai partai politik.
Karena kriterium untuk penertiban kader “bermasalah” belum terlalu terang – dan selalu terseret ke wilayah abu-abu antara etika vs. kekuasaan – maka standarnya adalah menjaga mereka untuk tetap berada di koridor hukum, moralitas umum, dan tujuan-tujuan politik partai. Ini tentu merupakan wilayah fatsoen politik.
Tapi sebenarnya konsolidasi partai tidak hanya cukup di wilayah itu. Jika Anas ingin terus survive di dalam politik dengan peranan yang lebih signifikan dan strategis, ada kebutuhan yang lebih esensial, yakni reformasi kepartaian.
Reformasi Kepartaian
Sejak didirikannya, PD tidak pernah muncul dengan jargon sebagai partai alternatif untuk memerankan fungsi-fungsi ideal sebuah partai politik. PD lebih didesain secara pragmatis sebagai mesin pemilu, persis seperti Golkar, dengan hanya mengandalkan jaringan-jaringan kekuasaan peninggalan Orde Baru.
Reformasi kepartaian yang harus dilakukan PD haruslah dimulai dengan sebuah aksioma primer bahwa partai ini akan membangun tradisi politik baru. Tidak ada reformasi kepartaian yang berhasil tanpa upaya memutus tradisi politik lama. Tak ada pembaruan yang signifikan jika tradisi lama masih akan terus dipraktekkan.
Apa yang dimaksud dengan tradisi politik baru adalah persis merupakan kebalikan mutlak dari tradisi politik lama. Jika tradisi politik lama adalah bahwa partai dibangun sekadar sebagai alat untuk menggalang suara untuk kepentingan pemilu, maka tradisi baru yang akan dibangun haruslah dalam rangka menggalang dukungan bedasarkan kepentingan-kepentingan spesifik basis sosialnya.
Jika tradisi politik lama adalah partai dengan orientasi elitis, maka tradisi baru yang akan dibangun adalah dalam rangka merevitalisasi representasi popular. Jika tradisi lama adalah politik uang, maka tradisi baru yang akan dibangun adalah untuk membangkitkan kembali kepercayaan bahwa partai-politik mengemban amanat untuk kemaslahatan publik. Jika tradisi politik lama adalah politik transaksional demi kalkulasi-kalkulasi untung-rugi dan jualan suara, maka tradisi baru yang akan dibangun adalah komitmen ideologis untuk membangun masa depan keadaban politik.
Tentu reformasi kepartaian tidaklah sesederhana rumusan-rumusan normatif di atas. Akan ada banyak agenda kongkret pada tahap transisional untuk memutuskan hubungan dengan praktek-praktek politik lama. Wilayah reformasi kepartaian mencakup hampir semua dimensi hubungan-hubungan kekuasaan antara partai dengan masyarakat, juga antara partai dengan negara.
Asmar Oemar Saleh, Ketua Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM, DPP Partai Demokrat
No comments:
Post a Comment