Perang melawan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) telah menjadi salah satu diskursus penting pasca kejatuhan rezim Soeharto. Selain reformasi politik dan ekonomi, reformasi hukum -- yang salah satu poin pentingnya adalah memberantas korupsi -- merupakan isu krusial yang mencerminkan tekad besar aktivis prodemokrasi dan reformasi untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri yang bersih. Sebagai wacana publik, isu ini --khususnya korupsi -- (pernah) mendapat perhatian yang luar biasa besar dari masyarakat, pers, mahasiswa, LSM, dan kekuatan civil society lainnya.
Perhatian publik tersebut tampaknya dipicu oleh kenyataan betapa praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) makin menunjukkan tingkat mencemaskan dan disadari ikut menenggelamkan bangsa ke jurang kesengsaraan. Korupsi telah merusak sendi-sendi penting kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Para pencuri uang rakyat juga makin beragam, tidak saja di lingkaran Istana -- para kroni-pejabat-pengusaha seperti masa sebelumnya -- melainkan juga menyeruak di banyak tempat, bahkan juga di parlemen.
Jika ada yang berpandangan bahwa pers yang bebas mampu menekan penyalahgunaan kekuasaan (baca: korupsi), seperti hasil studi yang dilakukan Brunette dan Weder (1998), maka tampaknya pandangan tersebut tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia pasca-gerakan reformasi. Di sini pers bukan saja bebas memberitakan kebobrokan pejabat (meski belakangan kebebasan pers ini mendapat ujian berat), namun lembaga-lembaga non-pemerintah yang peduli di bidang korupsi juga mengecambah seperti jamur di musim hujan.
Namun kebebasan pers ternyata tidak mengendurkan nafsu para pejabat atau petinggi negara untuk mengambil uang rakyat seperti pernah terjadi di Korea Selatan, Paraguay, dan Bolivia. Padahal berbagi upaya telah dilakukan untuk mengerem laju korupsi. Di ranah undang-undang, telah dibuat berbagai perangkat aturan untuk menghentikan praktik ini -- termasuk memberlakukan sistem pembuktian terbalik (terbatas dan berimbang). Bahkan telah pula dibentuk lembaga superkuat semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dengannya "impotensi" aparat penegak hukum konvensional diharap bisa tertanggulangi. Namun sejauh ini semua upaya itu belum membuahkan hasil otimal.
Pertanyaannya, mengapa badai korupsi belum berlalu? Selain karena aparat penegak hukum -- jaksa, polisi, hakim-- merupakan warisan rezim Orde Baru yang belum tersentuh angin reformasi, penguasa juga tidak memiliki visi yang jelas-tegas tentang pemberantasan korupsi. Selain minim visi, pemerintah dan aparat berwenang juga kesulitan merumuskan strategi pemberantasan dan pencegahan tindak korupsi.
Bukan motif hukum
Pengalaman dan studi Robert Klitgard dkk. (2000) menunjukkan, berbagai aksi pemberantasan korupsi di banyak negara menemui kegagalan karena selain mereka tidak memiliki strategi untuk memberantas penyakit akut nan mematikan ini, gerakan anti-korupsi, juga pemerintah, terlalu terpukau pada pendekatan hukum, imbauan moral, pandangan yang keliru soal korupsi (di antaranya korupsi dianggap hal wajar karena terjadi di mana-mana; korupsi sudah ada sejak dulu; konsep korupsi kabur dan tergantung pada budaya; perlu perubahan nilai dan sikap besar; korupsi dianggap menguntungkan/memudahkan urusan, dan seterusnya).
Demokrasi dan pasar bebas juga dianggap akan meminimalkan tindak korupsi karena dalam iklim ini kompetisi dan accountability akan terjadi hingga mengurangi korupsi. Namun dalam masa transisi menuju demokrasi yang lebih stabil dan terkonsolidasi seperti di Indonesia, peluang membiaknya korupsi justru makin meninggi. Pada titik ini berlangsungnya pasar bebas dan demokrasi liberal dalam masa transisi tak sepenuhnya mampu mengeliminasi tindak korupsi.
Di Indonesia, berbagai kasus korupsi yang sempat mampir di pengadilan justru makin mengukuhkan anggapan bahwa semua itu hanya rekayasa atau "pengadilan sandiwara" belaka. Memang ada satu-dua koruptor kakap yang berhasil dijebloskan ke penjara, namun prestasi tersebut kelihatannya lebih merupakan cara aparat untuk meyakinkan publik bahwa mereka tengah serius memberantas KKN dan menegakkan hukum. Jika dicermati koruptor yang berhasil digelandang ke penjara tersebut lebih karena ekspose media massa semata sehingga belum layak dijadikan indikator bahwa supremasi hukum telah ditegakkan. Ada nuansa politis yang kental sehubungan dengan diseretnya koruptor kakap yang umumnya sudah tidak memiliki sandaran politik itu.
Dengan kata lain, penegakan hukum kerap bertaut atau tercampuri oleh kepentingan politik -- dari menyingkirkan lawan politik sampai menarik simpati publik. Sama sekali jauh dari keinginan dan tekad untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Oleh karena itu kita sulit untuk menyangkal anggapan bahwa korupsi telah menyatu dalam masyarakat, dan penyelenggara negara -- khususnya aparat penegak hukum -- telah teracuni virus mematikan bernama KKN. Puluhan tahun silam, salah satu founding fathers kita, Moh Hatta telah menubuatkan hal ini.
Menjelang jatuhnya Soeharto, isu korupsi di Indonesia sebenarnya telah mendapat perhatian yang cukup luas. Publikasi-publikasi internasional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti Transparency International dan Political and Economical Risk Consultancy (PERC) yang secara rutin melakukan pemantauan terhadap praktik korupsi di tingkat global. Namun ketika itu isu-isu korupsi yang digaungkan tidak pernah mendapat respons positif dari pemerintah. Rezim Soeharto secara sengaja memang tidak mengagendakan pemberantasan korupsi sebagai agenda utamanya. Sebab rezim ini memang sudah korup. Memberantas korupsi sama halnya memberantas dirinya sendiri. Dan itu mustahil.
Oleh karena itu tumbangnya Orde Baru sebenarnya telah membuka jalan bagi proses penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terjadi di masa lampau secara tuntas, transparan, dan adil. Namun harapan publik tersebut membentur kenyataan pahit: pemerintahan pasca-Soeharto ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk mengurai perkara korupsi. Bahkan ada indikasi kuat para penyelenggara negara mempraktikkan hal yang sama dengan tingkat dan kadar yang bisa membuat negeri ini jatuh terkapar dalam kubangan krisis berlarut-larut. Sebuah anekdot tapi terdengar getir bercerita, jika dulu korupsi dilakukan di bawah meja, kini mejanya pun ikut dikorup. Maka berlangsunglah korupsi dalam ruang terbuka dan kasat mata.
Masyarakat kita nyaris putus asa melihat penanganan aparat hukum terhadap para pelaku korupsi yang setiap kali diproses umumnya dapat meloloskan diri dari jeratan hukum. Ataupun kalau dijerat hukum, pada saat hendak dieksekusi koruptornya raib ditelan bumi. Kita juga kerap disuguhi tontonan menggelikan dari aparat seperti dikeluarkannya Surat Perintah Penghentikan Penyidikan (SP3) pada kasus-kasus besar. Ada memang koruptor kelas teri yang ketiban "sial" hingga harus meringkuk di penjara. Namun jumlahnya tak seberapa.
Pesan untuk presiden
Di tengah pesimisme terhadap upaya pemberantasan korupsi itulah berlangsung pemilihan presiden secara langsung. Momen ini memaksa para kandidat untuk menjelaskan tekadnya dalam memberantas korupsi.
Kesempatan tersebut muncul berbarengan dengan gejala positif bahwa sebagian masyarakat semakin menyadari dampak buruk dari praktik korupsi. Pengalaman puluhan tahun hidup bersama Orde Baru yang menampilkan praktik korupsi birokratik yang sistemik dianggap sebagai pengalaman buruk yang memiliki efek destruktif bagi tegaknya nation state modern. Korupsi memang telah menghasilkan buruknya pelayanan publik, tercederainya demokrasi dan supremasi hukum, kerusakan lingkungan, kebangkrutan moral penyelenggara negara, dan seterusnya. Namun kesadaran masyarakat itu belum menjadi kesadaran bersama yang diwujudkan misalnya dalam praktik-praktik konkret sehari-hari. Menolak memberi suap, misalnya, atau tidak menyogok aparat saat mengurus SIM atau KTP. Maka alih-alih melapor pejabat yang korup, mereka bahkan memandang korupsi sebagai hal biasa, bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Dalam tingkat lanjut, kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi menjadi semacam modal sosial (social capital) bagi pemberantasan korupsi yang lebih luas. Jika sebelumnya gerakan anti-korupsi sering kandas di tengah jalan karena kurang berfungsinya institusi penegakan hukum dan kurang besarnya dukungan publik, di masa-masa mendatang kesadaran tersebut harus direspon aparat dan penguasa dengan, pertama, menghentikan praktik diskriminasi hukum. Kedua, menutup celah bagi munculnya korupsi baru. Dukungan elite sosial, agama, politik, dan kalangan profesional atas program besar ini patut menjadi perhatian serius pemerintah.
Oleh karena itu gerakan anti-korupsi kini sedang berada dalam momentum yang tepat setidaknya karena beberapa hal. Pertama, gerakan tersebut mendapat dukungan kuat di tingkat masyarakat (khususnya elemen masyarakat madani dan ormas keagamaan). Kedua, di tingkat negara mulai terlihat political will pemerintah untuk menangani masalah korupsi secara komprehensif, imparsial, dan profesional. Bukti untuk ini misalnya terlihat dari banyaknya aturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi, termasuk pembentukan KPK. Meski semua itu belum seperti diharapkan bersama, namun dukungan konstitusional ini merupakan langkah penting untuk mengikis korupsi. Ketiga, presiden terpilih jangan lagi mengulang berbagai kegagalan yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Keseriusan pemerintah baru akan terlihat dari siapa yang menduduki pos-pos kunci penegakan hukum. Keempat, rumus korupsi yang diperkenalkan Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, dan H Lindsey Parris (2000), bahwa C = M + D - A harus dihilangkan (C : corruption, M : monopoly power, D : discreation by officials, D : accountability). Rumus ini menunjukkan, korupsi adalah kejahatan kalkulasi ekonomi. Jika probabilitas tertangkap kecil, hukuman ringan, dan hasil yang didapat besar dibandingkan insentif yang didapat pejabat pemerintah, maka kemungkinan besar korupsi akan terjadi.
Pesan Klitgaard dkk itu patut direnungkan. Kegagalan pemberantasan korupsi selama ini lebih disebabkan oleh miskinnya visi dan strategi pemerintah ketimbang kurang atau tiadanya aturan perundang-undangan. Hanya kini kita berharap-harap cemas, siapa orang-orang yang akan memegang kendali dalam memberantas korupsi ini. Semoga harapan dan dukungan publik itu tak lagi menembus dinding kekecewaan seperti sebelumnya.
Asmar Oemar Saleh, Pendiri Reform Institute
Perhatian publik tersebut tampaknya dipicu oleh kenyataan betapa praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) makin menunjukkan tingkat mencemaskan dan disadari ikut menenggelamkan bangsa ke jurang kesengsaraan. Korupsi telah merusak sendi-sendi penting kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Para pencuri uang rakyat juga makin beragam, tidak saja di lingkaran Istana -- para kroni-pejabat-pengusaha seperti masa sebelumnya -- melainkan juga menyeruak di banyak tempat, bahkan juga di parlemen.
Jika ada yang berpandangan bahwa pers yang bebas mampu menekan penyalahgunaan kekuasaan (baca: korupsi), seperti hasil studi yang dilakukan Brunette dan Weder (1998), maka tampaknya pandangan tersebut tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia pasca-gerakan reformasi. Di sini pers bukan saja bebas memberitakan kebobrokan pejabat (meski belakangan kebebasan pers ini mendapat ujian berat), namun lembaga-lembaga non-pemerintah yang peduli di bidang korupsi juga mengecambah seperti jamur di musim hujan.
Namun kebebasan pers ternyata tidak mengendurkan nafsu para pejabat atau petinggi negara untuk mengambil uang rakyat seperti pernah terjadi di Korea Selatan, Paraguay, dan Bolivia. Padahal berbagi upaya telah dilakukan untuk mengerem laju korupsi. Di ranah undang-undang, telah dibuat berbagai perangkat aturan untuk menghentikan praktik ini -- termasuk memberlakukan sistem pembuktian terbalik (terbatas dan berimbang). Bahkan telah pula dibentuk lembaga superkuat semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dengannya "impotensi" aparat penegak hukum konvensional diharap bisa tertanggulangi. Namun sejauh ini semua upaya itu belum membuahkan hasil otimal.
Pertanyaannya, mengapa badai korupsi belum berlalu? Selain karena aparat penegak hukum -- jaksa, polisi, hakim-- merupakan warisan rezim Orde Baru yang belum tersentuh angin reformasi, penguasa juga tidak memiliki visi yang jelas-tegas tentang pemberantasan korupsi. Selain minim visi, pemerintah dan aparat berwenang juga kesulitan merumuskan strategi pemberantasan dan pencegahan tindak korupsi.
Bukan motif hukum
Pengalaman dan studi Robert Klitgard dkk. (2000) menunjukkan, berbagai aksi pemberantasan korupsi di banyak negara menemui kegagalan karena selain mereka tidak memiliki strategi untuk memberantas penyakit akut nan mematikan ini, gerakan anti-korupsi, juga pemerintah, terlalu terpukau pada pendekatan hukum, imbauan moral, pandangan yang keliru soal korupsi (di antaranya korupsi dianggap hal wajar karena terjadi di mana-mana; korupsi sudah ada sejak dulu; konsep korupsi kabur dan tergantung pada budaya; perlu perubahan nilai dan sikap besar; korupsi dianggap menguntungkan/memudahkan urusan, dan seterusnya).
Demokrasi dan pasar bebas juga dianggap akan meminimalkan tindak korupsi karena dalam iklim ini kompetisi dan accountability akan terjadi hingga mengurangi korupsi. Namun dalam masa transisi menuju demokrasi yang lebih stabil dan terkonsolidasi seperti di Indonesia, peluang membiaknya korupsi justru makin meninggi. Pada titik ini berlangsungnya pasar bebas dan demokrasi liberal dalam masa transisi tak sepenuhnya mampu mengeliminasi tindak korupsi.
Di Indonesia, berbagai kasus korupsi yang sempat mampir di pengadilan justru makin mengukuhkan anggapan bahwa semua itu hanya rekayasa atau "pengadilan sandiwara" belaka. Memang ada satu-dua koruptor kakap yang berhasil dijebloskan ke penjara, namun prestasi tersebut kelihatannya lebih merupakan cara aparat untuk meyakinkan publik bahwa mereka tengah serius memberantas KKN dan menegakkan hukum. Jika dicermati koruptor yang berhasil digelandang ke penjara tersebut lebih karena ekspose media massa semata sehingga belum layak dijadikan indikator bahwa supremasi hukum telah ditegakkan. Ada nuansa politis yang kental sehubungan dengan diseretnya koruptor kakap yang umumnya sudah tidak memiliki sandaran politik itu.
Dengan kata lain, penegakan hukum kerap bertaut atau tercampuri oleh kepentingan politik -- dari menyingkirkan lawan politik sampai menarik simpati publik. Sama sekali jauh dari keinginan dan tekad untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Oleh karena itu kita sulit untuk menyangkal anggapan bahwa korupsi telah menyatu dalam masyarakat, dan penyelenggara negara -- khususnya aparat penegak hukum -- telah teracuni virus mematikan bernama KKN. Puluhan tahun silam, salah satu founding fathers kita, Moh Hatta telah menubuatkan hal ini.
Menjelang jatuhnya Soeharto, isu korupsi di Indonesia sebenarnya telah mendapat perhatian yang cukup luas. Publikasi-publikasi internasional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti Transparency International dan Political and Economical Risk Consultancy (PERC) yang secara rutin melakukan pemantauan terhadap praktik korupsi di tingkat global. Namun ketika itu isu-isu korupsi yang digaungkan tidak pernah mendapat respons positif dari pemerintah. Rezim Soeharto secara sengaja memang tidak mengagendakan pemberantasan korupsi sebagai agenda utamanya. Sebab rezim ini memang sudah korup. Memberantas korupsi sama halnya memberantas dirinya sendiri. Dan itu mustahil.
Oleh karena itu tumbangnya Orde Baru sebenarnya telah membuka jalan bagi proses penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terjadi di masa lampau secara tuntas, transparan, dan adil. Namun harapan publik tersebut membentur kenyataan pahit: pemerintahan pasca-Soeharto ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk mengurai perkara korupsi. Bahkan ada indikasi kuat para penyelenggara negara mempraktikkan hal yang sama dengan tingkat dan kadar yang bisa membuat negeri ini jatuh terkapar dalam kubangan krisis berlarut-larut. Sebuah anekdot tapi terdengar getir bercerita, jika dulu korupsi dilakukan di bawah meja, kini mejanya pun ikut dikorup. Maka berlangsunglah korupsi dalam ruang terbuka dan kasat mata.
Masyarakat kita nyaris putus asa melihat penanganan aparat hukum terhadap para pelaku korupsi yang setiap kali diproses umumnya dapat meloloskan diri dari jeratan hukum. Ataupun kalau dijerat hukum, pada saat hendak dieksekusi koruptornya raib ditelan bumi. Kita juga kerap disuguhi tontonan menggelikan dari aparat seperti dikeluarkannya Surat Perintah Penghentikan Penyidikan (SP3) pada kasus-kasus besar. Ada memang koruptor kelas teri yang ketiban "sial" hingga harus meringkuk di penjara. Namun jumlahnya tak seberapa.
Pesan untuk presiden
Di tengah pesimisme terhadap upaya pemberantasan korupsi itulah berlangsung pemilihan presiden secara langsung. Momen ini memaksa para kandidat untuk menjelaskan tekadnya dalam memberantas korupsi.
Kesempatan tersebut muncul berbarengan dengan gejala positif bahwa sebagian masyarakat semakin menyadari dampak buruk dari praktik korupsi. Pengalaman puluhan tahun hidup bersama Orde Baru yang menampilkan praktik korupsi birokratik yang sistemik dianggap sebagai pengalaman buruk yang memiliki efek destruktif bagi tegaknya nation state modern. Korupsi memang telah menghasilkan buruknya pelayanan publik, tercederainya demokrasi dan supremasi hukum, kerusakan lingkungan, kebangkrutan moral penyelenggara negara, dan seterusnya. Namun kesadaran masyarakat itu belum menjadi kesadaran bersama yang diwujudkan misalnya dalam praktik-praktik konkret sehari-hari. Menolak memberi suap, misalnya, atau tidak menyogok aparat saat mengurus SIM atau KTP. Maka alih-alih melapor pejabat yang korup, mereka bahkan memandang korupsi sebagai hal biasa, bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Dalam tingkat lanjut, kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi menjadi semacam modal sosial (social capital) bagi pemberantasan korupsi yang lebih luas. Jika sebelumnya gerakan anti-korupsi sering kandas di tengah jalan karena kurang berfungsinya institusi penegakan hukum dan kurang besarnya dukungan publik, di masa-masa mendatang kesadaran tersebut harus direspon aparat dan penguasa dengan, pertama, menghentikan praktik diskriminasi hukum. Kedua, menutup celah bagi munculnya korupsi baru. Dukungan elite sosial, agama, politik, dan kalangan profesional atas program besar ini patut menjadi perhatian serius pemerintah.
Oleh karena itu gerakan anti-korupsi kini sedang berada dalam momentum yang tepat setidaknya karena beberapa hal. Pertama, gerakan tersebut mendapat dukungan kuat di tingkat masyarakat (khususnya elemen masyarakat madani dan ormas keagamaan). Kedua, di tingkat negara mulai terlihat political will pemerintah untuk menangani masalah korupsi secara komprehensif, imparsial, dan profesional. Bukti untuk ini misalnya terlihat dari banyaknya aturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi, termasuk pembentukan KPK. Meski semua itu belum seperti diharapkan bersama, namun dukungan konstitusional ini merupakan langkah penting untuk mengikis korupsi. Ketiga, presiden terpilih jangan lagi mengulang berbagai kegagalan yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Keseriusan pemerintah baru akan terlihat dari siapa yang menduduki pos-pos kunci penegakan hukum. Keempat, rumus korupsi yang diperkenalkan Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, dan H Lindsey Parris (2000), bahwa C = M + D - A harus dihilangkan (C : corruption, M : monopoly power, D : discreation by officials, D : accountability). Rumus ini menunjukkan, korupsi adalah kejahatan kalkulasi ekonomi. Jika probabilitas tertangkap kecil, hukuman ringan, dan hasil yang didapat besar dibandingkan insentif yang didapat pejabat pemerintah, maka kemungkinan besar korupsi akan terjadi.
Pesan Klitgaard dkk itu patut direnungkan. Kegagalan pemberantasan korupsi selama ini lebih disebabkan oleh miskinnya visi dan strategi pemerintah ketimbang kurang atau tiadanya aturan perundang-undangan. Hanya kini kita berharap-harap cemas, siapa orang-orang yang akan memegang kendali dalam memberantas korupsi ini. Semoga harapan dan dukungan publik itu tak lagi menembus dinding kekecewaan seperti sebelumnya.
Asmar Oemar Saleh, Pendiri Reform Institute
No comments:
Post a Comment