KONTROVERSI pemberlakuan hak atau lembaga recall hari-hari ini kembali mengemuka menyusul disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR/DPRD, MPR, dan DPD (RUU Susduk) oleh DPR beberapa waktu lalu. Gagasan menghidupkan kembali “hantu” Orde Baru itu meluncur ke aras politik setelah jauh hari sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyatakan hasratnya untuk “mendisiplinkan” anggota dewan yang kinerja dan performance-nya payah.
Tak jelas apakah ide itu benar-benar untuk mendongkrak kinerja dan performance anggota partai yang bertugas di parlemen (di antaranya sering mangkir dan hanya datang untuk tanda tangan dan setelah itu pulang), ataukah justru diniatkan seperti pada masa Orde Baru: memberangus dan memecat anggota parpol di dewan yang tak sehaluan dengan garis kebijakan partai.
Hal ini karena di kalangan internal PDIP sendiri kerap lahir “pembangkangan” terhadap kebijakan partai, sehingga sangat mungkin gagasan tersebut dibalut keinginan untuk melikuidasi kadernya yang “tak disiplin” (baca: mbalelo) dengan berlindung di balik alasan luhur: mendisiplinkan anggota partai yang sedang bertugas di DPR. Sebab jika pokok soalnya menyangkut disiplin anggota partai, maka orang-orang seperti Taufik Kiemas dan Guruh Soekarnoputra yang tidak pernah datang ke DPR harus di-recall. Bagaimana mau memperjuangkan kepentingan konstituen, jika datang ke DPR saja ogah-ogahan?
Pada titik ini, lembaga recall berada dalam wilayah abu-abu (grey area). Batas antara mendisiplinkan anggota partai dan melikuidasi anggota partai dari partai politik (DPR) karena sikap-sikap politiknya yang berbeda dengan garis partai tampak buram. Apalagi yang dimaksud garis partai itu juga tak jelas kriteria dan cakupannya. Maka persis pada titik inilah usulan menghidupkan kembali lembaga recall dipersepsi oleh para analis dan aktivis pro-demokrasi sebagai upaya partai politik untuk memandulkan daya kritis anggota partai dan membuat mereka tak berdaya di hadapan kekuatan partai politik yang memiliki hak untuk mencabut dan menarik anggotanya yang dinilai tidak disiplin dari parlemen. Bukankah hak ini juga makin mengukuhkan oligarki partai dan membuat DPR menjadi lembaga sangat kuat (superbody)?
Sesungguhnya kekhawatiran itu muncul bukan semata-mata trauma sejarah kelam bangsa kita di masa lalu. Akan tetapi juga soal kredibilitas dan moralitas (ketua) partai politik di masa kini yang memang memiliki track record kurang meyakinkan dalam mengemban amanat reformasi. Di masa silam, Orde Baru begitu bernafsu menundukkan anggota partai di parlemen yang berpandangan kritis terhadap kebijakan partai dan penguasa. Berseberangan dengan kebijakan partai sama halnya menandatangani sertifikat kematian bagi karier politiknya di parlemen dan di partai. Hal itulah yang dialami oleh Bambang Warih Koesoema (Golkar) dan Sri Bintang Pamungkas (PPP) di masa Orba dulu. Karena kekuasaan partai begitu cermat, dan kontrol dari eksekutif (penguasa) begitu hebat, maka independensi dan kebebasan wakil rakyat di parlemen menjadi mandul, perannya tak efektif, dan tugas mereka bukan mengagregasi tuntutan konstituennya, tapi justru menjadi tukang stempel (rubber stamp) penguasa dan parpol.
Sementara di sisi lain, ada gelagat kuat dari partai yang tengah berkuasa (the rulling party) untuk menerapkan kembali cara-cara otoriter. Cara ini dianggap efektif untuk menyeragamkan pendapat kalangan internal partai yang belakangan kerap bertubrukan dengan pendapat/sikap DPP atau bahkan menyeberang ke partai lain. Dan lembaga recall dinilai jalan keluar terbaik untuk meredam berlanjutnya aksi pembangkangan itu.
Hal ini karena di kalangan internal PDIP sendiri kerap lahir “pembangkangan” terhadap kebijakan partai, sehingga sangat mungkin gagasan tersebut dibalut keinginan untuk melikuidasi kadernya yang “tak disiplin” (baca: mbalelo) dengan berlindung di balik alasan luhur: mendisiplinkan anggota partai yang sedang bertugas di DPR. Sebab jika pokok soalnya menyangkut disiplin anggota partai, maka orang-orang seperti Taufik Kiemas dan Guruh Soekarnoputra yang tidak pernah datang ke DPR harus di-recall. Bagaimana mau memperjuangkan kepentingan konstituen, jika datang ke DPR saja ogah-ogahan?
Pada titik ini, lembaga recall berada dalam wilayah abu-abu (grey area). Batas antara mendisiplinkan anggota partai dan melikuidasi anggota partai dari partai politik (DPR) karena sikap-sikap politiknya yang berbeda dengan garis partai tampak buram. Apalagi yang dimaksud garis partai itu juga tak jelas kriteria dan cakupannya. Maka persis pada titik inilah usulan menghidupkan kembali lembaga recall dipersepsi oleh para analis dan aktivis pro-demokrasi sebagai upaya partai politik untuk memandulkan daya kritis anggota partai dan membuat mereka tak berdaya di hadapan kekuatan partai politik yang memiliki hak untuk mencabut dan menarik anggotanya yang dinilai tidak disiplin dari parlemen. Bukankah hak ini juga makin mengukuhkan oligarki partai dan membuat DPR menjadi lembaga sangat kuat (superbody)?
Sesungguhnya kekhawatiran itu muncul bukan semata-mata trauma sejarah kelam bangsa kita di masa lalu. Akan tetapi juga soal kredibilitas dan moralitas (ketua) partai politik di masa kini yang memang memiliki track record kurang meyakinkan dalam mengemban amanat reformasi. Di masa silam, Orde Baru begitu bernafsu menundukkan anggota partai di parlemen yang berpandangan kritis terhadap kebijakan partai dan penguasa. Berseberangan dengan kebijakan partai sama halnya menandatangani sertifikat kematian bagi karier politiknya di parlemen dan di partai. Hal itulah yang dialami oleh Bambang Warih Koesoema (Golkar) dan Sri Bintang Pamungkas (PPP) di masa Orba dulu. Karena kekuasaan partai begitu cermat, dan kontrol dari eksekutif (penguasa) begitu hebat, maka independensi dan kebebasan wakil rakyat di parlemen menjadi mandul, perannya tak efektif, dan tugas mereka bukan mengagregasi tuntutan konstituennya, tapi justru menjadi tukang stempel (rubber stamp) penguasa dan parpol.
Sementara di sisi lain, ada gelagat kuat dari partai yang tengah berkuasa (the rulling party) untuk menerapkan kembali cara-cara otoriter. Cara ini dianggap efektif untuk menyeragamkan pendapat kalangan internal partai yang belakangan kerap bertubrukan dengan pendapat/sikap DPP atau bahkan menyeberang ke partai lain. Dan lembaga recall dinilai jalan keluar terbaik untuk meredam berlanjutnya aksi pembangkangan itu.
Aturan tanpa sanksi
Usulan diberlakukannya mekanisme recall untuk mengontrol anggota parlemen setidaknya berangkat dari dua hal. Pertama, banyaknya anggota dewan yang tak disiplin. Kedua, tiadanya mekanisme kontrol yang efektif dan sanksi yang tegas dalam tubuh parpol dan dalam diri dewan itu sendiri. Akibatnya selain sering membolos, anggota dewan juga merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang melampaui lembaga apa pun sehingga membuat mereka bersikap “semau gue”. Praktik suap dan pemberian amplop yang sering berseliweran di parlemen, seperti dikemukakan oleh mantan anggota dewan dari F-PDIP Indira Damayanti, dengan jelas menunjukkan kecenderungan di atas. Sikap dan tindakan anggota dewan tersebut makin mengukuhkan keraguan publik akan moralitas dan kredibilitas mereka.
Selain itu, anggota parpol kita memang tampak kurang greget dalam menyuarakan kepentingan konstituen. Kepentingan sempit, sektoral dan bahkan sektarian justru kerap mendominasi “perjuangan” anggota dewan kita di parlemen. Kecenderungan itu tentu harus dihentikan agar tak meluber dan menulari anggota dewan kita lainnya yang masih rajin hadir di parlemen dan konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat, meskipun harus bertabrakan dengan garis partai.
Merujuk pada kondisi riil anggota dewan kita sekarang, upaya menghidupkan kembali mekanisme recall sangat beralasan. Memang sudah ada Kode Etik DPR Pasal 6 Ayat 1 yang menyatakan: ''Anggota harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya.''; dan Pasal 6 Ayat 2: ''Ketidakhadiran anggota secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin dari pimpinan fraksi merupakan suatu pelanggaran kode etik.'' Akan tetapi, sanksi atas pelanggaran kode etik itu tidak ada. Yang ada adalah sanksi moral dari publik dan pers berupa kecaman pedas terhadap mereka yang gemar membolos. Tentu saja agar demokrasi kita bisa sehat, sanksi atas pelanggaran kode etik harus ada. Adalah ganjil dan aneh jika ada pelanggaran tapi tak ada sanksi. Berharap sanksi moral akan efektif dalam mengontrol anggota dewan tampaknya seperti mimpi di siang bolong. Soalnya, masihkah anggota dewan kita saat ini memiliki rasa malu?
Pada titik ini lembaga recall jika diterapkan secara fair dan obyektif memiliki sisi-sisi positif. Pertama, mendongkrak kadar keseriusan anggota dewan dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat, di antaranya dengan menghadiri sidang-sidang di parlemen. Kedua, menjaga wibawa parlemen dari tingkah laku anggota dewan yang tak pantas. Ketiga, pada skala lebih luas, mekanisme recall dapat mengembalikan rasionalitas dan moralitas demokrasi.
Usulan diberlakukannya mekanisme recall untuk mengontrol anggota parlemen setidaknya berangkat dari dua hal. Pertama, banyaknya anggota dewan yang tak disiplin. Kedua, tiadanya mekanisme kontrol yang efektif dan sanksi yang tegas dalam tubuh parpol dan dalam diri dewan itu sendiri. Akibatnya selain sering membolos, anggota dewan juga merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang melampaui lembaga apa pun sehingga membuat mereka bersikap “semau gue”. Praktik suap dan pemberian amplop yang sering berseliweran di parlemen, seperti dikemukakan oleh mantan anggota dewan dari F-PDIP Indira Damayanti, dengan jelas menunjukkan kecenderungan di atas. Sikap dan tindakan anggota dewan tersebut makin mengukuhkan keraguan publik akan moralitas dan kredibilitas mereka.
Selain itu, anggota parpol kita memang tampak kurang greget dalam menyuarakan kepentingan konstituen. Kepentingan sempit, sektoral dan bahkan sektarian justru kerap mendominasi “perjuangan” anggota dewan kita di parlemen. Kecenderungan itu tentu harus dihentikan agar tak meluber dan menulari anggota dewan kita lainnya yang masih rajin hadir di parlemen dan konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat, meskipun harus bertabrakan dengan garis partai.
Merujuk pada kondisi riil anggota dewan kita sekarang, upaya menghidupkan kembali mekanisme recall sangat beralasan. Memang sudah ada Kode Etik DPR Pasal 6 Ayat 1 yang menyatakan: ''Anggota harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya.''; dan Pasal 6 Ayat 2: ''Ketidakhadiran anggota secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin dari pimpinan fraksi merupakan suatu pelanggaran kode etik.'' Akan tetapi, sanksi atas pelanggaran kode etik itu tidak ada. Yang ada adalah sanksi moral dari publik dan pers berupa kecaman pedas terhadap mereka yang gemar membolos. Tentu saja agar demokrasi kita bisa sehat, sanksi atas pelanggaran kode etik harus ada. Adalah ganjil dan aneh jika ada pelanggaran tapi tak ada sanksi. Berharap sanksi moral akan efektif dalam mengontrol anggota dewan tampaknya seperti mimpi di siang bolong. Soalnya, masihkah anggota dewan kita saat ini memiliki rasa malu?
Pada titik ini lembaga recall jika diterapkan secara fair dan obyektif memiliki sisi-sisi positif. Pertama, mendongkrak kadar keseriusan anggota dewan dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat, di antaranya dengan menghadiri sidang-sidang di parlemen. Kedua, menjaga wibawa parlemen dari tingkah laku anggota dewan yang tak pantas. Ketiga, pada skala lebih luas, mekanisme recall dapat mengembalikan rasionalitas dan moralitas demokrasi.
Bumerang bagi demokrasi
Akan tetapi mekanisme recall bisa menjadi bumerang bagi demokrasi dan reformasi itu sendiri. Ini terjadi ketika mekanisme kontrol anggota dewan ini dilakukan atas dasar kebijakan dan garis politik partai yang subyektif, jangka pendek, dan bahkan bertentangan dengan semangat demokrasi. Dalam konteks politik mutakhir, sering kali keputusan atau garis politik partai tersebut tak nyambung dengan aspirasi rakyat--khususnya di daerah--dan karena itu bertentangan dengan semangat reformasi. Di era sekarang misalnya publik menghendaki terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, penghapusan Dwifungsi TNI/Polri, atau pemberantasan KKN. Tapi dalam praktik, kehendak publik tersebut dimentahkan oleh kebijakan parpol yang tak bijaksana. Misalnya soal dukung-mendukung terhadap calon gubernur atau pejabat tertentu yang bermasalah. Sikap anggota dewan yang menolak pencalonan Sutiyoso sebagai gubernur untuk kedua kalinya, misalnya, dapatkah dianggap bertentangan dengan kebijakan partai? Atau bagaimana PDIP menyikapi anggota dewannya yang mbalelo terhadap keputusan partai sementara keputusan anggota dewan yang berseberangan tersebut sejalan dengan aspirasi rakyat banyak? Dalam kasus penentuan jadi tidaknya Pansus Bulog II, apakah tindakah lima orang kadernya yang menyatakan setuju pansus--Julius Usman, Indira Damayanti, Haryanto Taslam, Mochtar Buchori, dan Meilono Suwondo-dapat dianggap bertentangan dengan garis kebijakan partai? Bukankah tindakan mereka justru bersesuaian dengan rasionalitas reformasi dan moralitas demokrasi?
Hari-hari ini situasi kebatinan politik lokal di daerah memang kerap memperlihatkan sikap politik yang berseberangan dengan pusat. Dominasi peran dan kepentingan pusat tampak menonjol hingga membuat kepentingan, aspirasi petinggi partai di daerah dan kalangan grass root terpinggirkan yang akhirnya melahirkan konflik di kalangan internal partai. Misal konflik politik mutakhir di Jawa Tengah yang melibatkan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Mardjito versus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Konflik itu bermula dari keinginan Mardjito yang didukung masyarakat PDIP Jateng untuk maju sebagai calon gubernur Jateng, sementara Megawati (Pusat) menghendaki gubernur sekarang (Mardiyanto) sebagai calon tunggal dari PDIP. Namun perbedaan sikap tersebut akhirnya diselesaikan DPP PDIP dengan memberhentikan Mardjito sebagai Ketua DPD PDIP Jateng.
Pada titik ini niat luhur menegakkan disiplin anggota dewan melalui mekanisme recall pantas diragukan. Jangan-jangan yang terjadi adalah pemberangusan anggota dewan yang justru gigih memperjuangkan kepentingan konstituennya seperti di masa lalu. Dan pada titik ini pula mengapa di negara-negara yang demokrasinya maju lembaga recall sulit ditemui—kecuali Australia yang bahkan mencantumkan soal recall dalam konstitusinya. Bagaimana kita keluar dari jebakan lembaga recall ini.
Pertama, perlu dibuat aturan dan prosedur yang detail dan jelas kapan seorang anggota dewan bisa di-recall. Kedua, guna menghindari subyektifitas dan pertimbangan like and dislike parpol tertentu, perlu dibentuk anggota dewan kehormatan atau komisi etik yang terdiri dari tokoh masyarakat yang memiliki moralitas, integritas, dan track record yang baik dalam memperjuangkan demokrasi. Karena itu mesti recall telah memiliki legalitas, namun dalam pelaksanaannya harus melalui pertimbangan dewan kehormatan. Atau kalaupun dilakukan oleh parpol harus terlebih dulu meminta persetujuan dewan kehormatan di lembaga legislatif, seperti diusulkan Denny JA.
Bangsa ini hendaknya berani memilih mekanisme dan aturan demokrasi sesuai dengan pengalaman bangsa kita dan sejauh mungkin menjauhi triar and error. Tak semua yang datang dari luar cocok untuk bangsa kita, betapapun di luar sana praktik itu mendatangkan kebaikan. “Seorang budak harus dipukul dengan tongkat, tapi orang merdeka cukup dengan isyarat,” kata pepatah Arab. Dan isyarat itu (kritik publik dan kecaman pers) rasanya tak mengubah mentalitas dan tingkah laku anggota dewan kita. Jangan-jangan mereka memang bermental budak dan harus “dipukul” dengan menghidupkan kembali lembaga recall. Tentu dengan kriteria dan prosedur demokratis seperti dipaparkan dalam tulisan ini.
Akan tetapi mekanisme recall bisa menjadi bumerang bagi demokrasi dan reformasi itu sendiri. Ini terjadi ketika mekanisme kontrol anggota dewan ini dilakukan atas dasar kebijakan dan garis politik partai yang subyektif, jangka pendek, dan bahkan bertentangan dengan semangat demokrasi. Dalam konteks politik mutakhir, sering kali keputusan atau garis politik partai tersebut tak nyambung dengan aspirasi rakyat--khususnya di daerah--dan karena itu bertentangan dengan semangat reformasi. Di era sekarang misalnya publik menghendaki terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, penghapusan Dwifungsi TNI/Polri, atau pemberantasan KKN. Tapi dalam praktik, kehendak publik tersebut dimentahkan oleh kebijakan parpol yang tak bijaksana. Misalnya soal dukung-mendukung terhadap calon gubernur atau pejabat tertentu yang bermasalah. Sikap anggota dewan yang menolak pencalonan Sutiyoso sebagai gubernur untuk kedua kalinya, misalnya, dapatkah dianggap bertentangan dengan kebijakan partai? Atau bagaimana PDIP menyikapi anggota dewannya yang mbalelo terhadap keputusan partai sementara keputusan anggota dewan yang berseberangan tersebut sejalan dengan aspirasi rakyat banyak? Dalam kasus penentuan jadi tidaknya Pansus Bulog II, apakah tindakah lima orang kadernya yang menyatakan setuju pansus--Julius Usman, Indira Damayanti, Haryanto Taslam, Mochtar Buchori, dan Meilono Suwondo-dapat dianggap bertentangan dengan garis kebijakan partai? Bukankah tindakan mereka justru bersesuaian dengan rasionalitas reformasi dan moralitas demokrasi?
Hari-hari ini situasi kebatinan politik lokal di daerah memang kerap memperlihatkan sikap politik yang berseberangan dengan pusat. Dominasi peran dan kepentingan pusat tampak menonjol hingga membuat kepentingan, aspirasi petinggi partai di daerah dan kalangan grass root terpinggirkan yang akhirnya melahirkan konflik di kalangan internal partai. Misal konflik politik mutakhir di Jawa Tengah yang melibatkan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Mardjito versus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Konflik itu bermula dari keinginan Mardjito yang didukung masyarakat PDIP Jateng untuk maju sebagai calon gubernur Jateng, sementara Megawati (Pusat) menghendaki gubernur sekarang (Mardiyanto) sebagai calon tunggal dari PDIP. Namun perbedaan sikap tersebut akhirnya diselesaikan DPP PDIP dengan memberhentikan Mardjito sebagai Ketua DPD PDIP Jateng.
Pada titik ini niat luhur menegakkan disiplin anggota dewan melalui mekanisme recall pantas diragukan. Jangan-jangan yang terjadi adalah pemberangusan anggota dewan yang justru gigih memperjuangkan kepentingan konstituennya seperti di masa lalu. Dan pada titik ini pula mengapa di negara-negara yang demokrasinya maju lembaga recall sulit ditemui—kecuali Australia yang bahkan mencantumkan soal recall dalam konstitusinya. Bagaimana kita keluar dari jebakan lembaga recall ini.
Pertama, perlu dibuat aturan dan prosedur yang detail dan jelas kapan seorang anggota dewan bisa di-recall. Kedua, guna menghindari subyektifitas dan pertimbangan like and dislike parpol tertentu, perlu dibentuk anggota dewan kehormatan atau komisi etik yang terdiri dari tokoh masyarakat yang memiliki moralitas, integritas, dan track record yang baik dalam memperjuangkan demokrasi. Karena itu mesti recall telah memiliki legalitas, namun dalam pelaksanaannya harus melalui pertimbangan dewan kehormatan. Atau kalaupun dilakukan oleh parpol harus terlebih dulu meminta persetujuan dewan kehormatan di lembaga legislatif, seperti diusulkan Denny JA.
Bangsa ini hendaknya berani memilih mekanisme dan aturan demokrasi sesuai dengan pengalaman bangsa kita dan sejauh mungkin menjauhi triar and error. Tak semua yang datang dari luar cocok untuk bangsa kita, betapapun di luar sana praktik itu mendatangkan kebaikan. “Seorang budak harus dipukul dengan tongkat, tapi orang merdeka cukup dengan isyarat,” kata pepatah Arab. Dan isyarat itu (kritik publik dan kecaman pers) rasanya tak mengubah mentalitas dan tingkah laku anggota dewan kita. Jangan-jangan mereka memang bermental budak dan harus “dipukul” dengan menghidupkan kembali lembaga recall. Tentu dengan kriteria dan prosedur demokratis seperti dipaparkan dalam tulisan ini.
No comments:
Post a Comment