Sunday, April 1, 2012

Menegaskan Kembali Inklusivisme PAN *Menyambut Rakernas PAN

Berbeda dengan kebanyakan partai politik yang lahir pasca tumbangnya Orde Baru, yang sebagian besar hanya reaksi sesaat terhadap proses demokratisasi dan reformasi—yang ditandai dengan ketidakjelasan visi, misi, tujuan, dan persepsi para pendiri partai tentang masa depan bangsa dan partai itu sendiri, Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan dengan platform terbuka, inklusif, dan merangkul semua komponen bangsa (suku, agama, ras, gender, profesi). Program atau arah program yang ditawarkannya pun amat jelas dan kental nuansa reformisnya. Selain “menjual” tokoh (M Amien Rais), PAN juga “menjual” ide, platform, dan cetak biru parpol yang genial, modern, terbuka. Tak pelak lahirnya PAN dianggap bisa memenuhi harapan bagi terwujudnya Indonesia baru yang berkeadilan, berperadaban, dan modern.

Dalam perjalanannya, partai yang didirikan oleh sejumlah cendekiawan terkemuka dari berbagai lapisan dan asal-usul sosial, jender, ras dan agama ini tak sepenuhnya mampu menghimpun massa pemilih yang besar. Dalam kampanye perdana pasca Orde Baru 1999 silam, PAN hanya mendapat sedikit suara (sekitar 7 persen). Ketokohan Amien Rais sebagai lokomatif dan pejuang reformasi ternyata tak mampu mendongkrak suara PAN. Ia kalah jauh dengan PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri yang meski sempat menjadi korban Orba tapi ironisnya absen dalam penggulingan Soeharto. Bahkan yang lebih tragis, PAN kalah dengan Partai Golkar yang sudah “dinajiskan” oleh banyak publik—termasuk oleh Amien Rais (PAN) sendiri.

Kekalahan PAN ini menyebabkan petinggi PAN masygul. Rasa masygul ini sebenarnya merupakan gejala yang dapat dipahami. Sebelum pemilu digelar, setiap partai selalu sesumbar akan memenangkan pertandingan. Demikian pula para petinggi PAN. Optimisme yang berlebihan ini sontak membuat orang-orang PAN meradang ketika menyaksikan partainya gagal mendulang banyak suara. Konstituten atau pangsa pasar utama PAN, yaitu kalangan Islam modernis seperti Muhammadiyah dan elite perkotaan lainnya, yang sebelumnya  diduga akan memberikan suaranya ke PAN, ternyata banyak yang memberikan suaranya ke partai lain.

Berbagai sebab diajukan untuk menjelaskan mengapa PAN belum berhasil mereguk suara yang signifikan. Pertama, sebagaimana partai-partai baru lainnya, PAN ketika itu belum memiliki infrastruktur politik yang menyebar hingga ke pelosok negeri. Waktu yang tersedia dan sumber daya finansial yang terbatas tak memungkinkan PAN membangun jaringan hingga ke pelosok desa, sementara mayoritas pemilih berdiam di daerah pedesaan. Kedua, masih kuatnya infrastruktur partai peninggalan Orde Baru (Golkar dan PPP) hingga ke tingkat paling rendah (ranting) membuat kedua partai ini masih relatif solid dan lebih siap mengonsolidasikan diri. Publik pun tampaknya lebih familiar dengan partai-partai peninggalan Orba ini. Fenomena ini dibuktikan dengan masih signifikannya suara yang diraih kedua partai tersebut.

Ketiga,  tidak dicantumkannya asas Islam ternyata membuat gamang para pemilih Muslim (khususnya dari kalangan Muhammadiyah). Paling tidak itulah yang dilihat oleh kubu di dalam PAN yang menghendaki agar PAN lebih berwarna hijau. Pandangan ini didasarkan pada fakta sedikitnya warga Muhammadiyah yang memilih PAN. Suara-suara publik Muslim modernis (Muhammadiyah)  banyak diberikan ke partai-partai yang berasaskan Islam seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Persatuan Pembangunan (PPP), atau Partai Keadilan (PK). Sementara publik Muslim tradisionalis (warga Nahdliyyin) suaranya banyak yang mengalir ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keempat, desain partai modern dan partai masa depan yang disandang PAN tak memungkinkannya memiliki massa fanatik atau loyalis  die hard seperti halnya PDI-P dengan Megawati sebagai ikon terbesarnya atau PKB sebelum pecah dengan Abdurrahman Wahid sebagai simbol utamanya. 

YANG paling membuat gamang para petinggi PAN atas sedikitnya suara yang diraih adalah poin ketiga di atas. Itulah mengapa menjelang Kongres I PAN di Yogyakarta pada bulan Februari 2000 silam, muncul gagasan untuk membawa PAN ke arah “kanan”. Ini ditandai dengan usulan sebagian peserta dari kalangan Muslim untuk menerapkan asas Islam. Tentu saja usulan ini menyalahi platform PAN yang pluralis, inklusif dan tidak sektarian. Langkah ini juga bentuk pengkhianatan terhadap para pendiri PAN lainnya, khususnya yang berasal dari kalangan bukan Islam. Karena itu usulan ini ditolak oleh beberapa kalangan PAN seperti Faisal Basri, Bara Hasibuan, Amir Sidharta, atau Sindhunata. Sebagai kompromi, kubu AM Fatwa (kelompok yang menghendaki PAN lebih berwarna hijau) mengusulkan agar PAN mencantumkan asas iman dan takwa. Dengan begitu PAN diharapkan bisa menarik kalangan publik Islam.

Sesungguhnya dicantumkannya asas iman dan takwa merupakan upaya kalangan dalam PAN yang tak sabar untuk cepat-cepat menang dalam pemilu. Dengan cara ini mereka berupaya mendesain dan mencitrakan wajah PAN sebagai partai (umat) Islam. Term iman dan takwa jelas berkonotasi Islam. Selain karena kedua kata itu diambil dari bahasa Arab, iman dan takwa juga kerap menjadi asas setiap organisasi Islam. Jalan tengah ini toh membuat gerah beberapa kalangan PAN yang tetap menghendaki terjaganya khittah kemajemukan dan tak sektarian. Dan sejauh ini, PAN gagal mengelola konflik internal antara dua kubu di atas. Keluarnya Faisal Basri, Bara Hasibuan, Amir Sidharta, atau Sindhunata—untuk menyebut beberapa, menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, manajemen konflik di dalam tubuh PAN belum berjalan secara maksimal. Kedua, besarnya pengaruh para politisi Muslim di sekitar Amien Rais yang menghendaki PAN lebih berwarna hijau.
Kendati konflik internal merupakan hal yang wajar dalam setiap organisasi sosial dan politik—bahkan organisasi keagamaan pun tak luput dari ancaman ini, tapi perpecahan menyangkut asas sebuah partai seperti dialami PAN tentu merupakan perkara besar. Jika PAN terus dibawa ke arah kanan dan terjebak pada simbol-simbol keagamaan tertentu, maka ini merupakakan angin buruk bagi pengalaman berdemokrasi di Indonesia. Kelak sejarah dengan pedih mencatat, orang-orang PAN gampang terjebak pada kepentingan pragmatis jangka pendek—meraih suara sebanyak mungkin—bahkan untuk mewujudkan impian ini, mereka (barangkali cuma beberapa orang tapi memiliki pengaruh kuat) tak segan-segan mengorbankan hal substansial seperti asas, visi  atau platform partai. 


Tentu saja publik politik di negeri ini berharap, PAN bisa menyelesaikan kemelut dan dilema tersebut: hasrat meraih banyak konstituen dan tetap teguh di atas asas atau khittah kemajemukan. Sebab jika dibandingkan dengan pimpinan dan partai-partai yang ada lainnya, PAN dengan Amien Rais sebagai tokoh utama dan calon presiden, memiliki peluang untuk memimpin negeri ini. Pandangan dan platform awal PAN yang genial dan modern ditambah kiprah dan track record Amien Rais dalam  memimpin gerakan reformasi, kecakapan dalam berorganisasi dan berdiplomasi, dan last but not least integritas moral yang dimiliki (tak terlibat skandal busuk KKN misalnya) tampaknya belum tertandingi oleh tokoh-tokoh lain yang kini bertebaran di pentas politik kita. Peta politik tentu berubah jika muncul tokoh luar biasa dan partai politik  baru yang lebih menjanjikan. Dan sejauh ini, kedua hal tersebut belum tampak tanda-tanda kemunculannya.

Oleh karena itu, Rapet Kerja Nasional (Rakernas) PAN yang akan diadakan di Batam pada 10 Juni ini, hendaknya bisa dijadikan momentum bagi para petinggi PAN untuk paling tidak merenungkan beberapa hal berikut. Pertama, kembali kepada asas kemajemukan. Ini karena kegagalan PAN menjaring suara dari kalangan Muslim sangat mungkin bukan karena platform PAN yang terbuka. Tapi karena belum tersosialisasinya visi, misi, platform dan tujuan PAN  kepada publik secara baik. Kemenangan partai nasionalis PDI-P atas partai-partai lain (termasuk partai Islam) pada pemilu 1999 barangkali bisa menjelaskan asumsi di atas. Selain itu kegagalan partai-partai Islam dalam pemilu 1955 (pemilu yang dinilai banyak pengamat sebagai pemilu yang sangat fair dan jujur) dalam meraih suara mayoritas juga layak dijadikan cermin. Ketika itu partai-partai Islam hanya memperoleh 43, 7 persen suara (Masyumi: 20, 9 %, NU: 18, 4 %, PSII: 2,9 %, dan Perti 43, 7 %).

Kedua, PAN juga harus lebih aktif “menjual” platform dan agenda PAN ke semua kalangan, termasuk kalangan bukan Islam. Ini ditandai dengan langkah simbolik memasukkan pengurus PAN dari kalangan bukan Islam, termasuk dari kalangan non-Muhammadiyah. Sebab ada kesan, warga non-Muhammadiyah di tubuh PAN kerap merasa dianaktirikan dan dijadikan warga PAN kelas dua. Jika PAN berhasil mengagendakan dua hal di atas, dan lebih gigih memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat, maka PAN kian memiliki daya tarik dan daya jual. Kalaupun PAN tetap kalah dalam pemilu, maka menjadi partai oposisi yang kritis dan cerdas—seperti dirumuskan di awal-awal kelahiran PAN--barangkali menjadi pilihan yang tepat. Pengalaman membuat Poros Tengah kemarin dulu  justru malah meniadakan sama sekali  kekuatan dan fungsi oposisi dalam politik kita. Dan itulah yang membuat pemerintahan kita tak berjalan secara efektif.

Seperti diniatkan sejak awal, PAN hadir untuk memberikan pendidikan politik dan pencerdasan kehidupan bangsa. Komitmen itulah yang harus terus dipegang para petinggi PAN. Tak soal adakah ia menjadi partai pemenang pemilu atau bukan. Sebab ia memang partai masa depan dan sangat mungkin publik di sini belum siap menerima gagasan-gagasan besar yang diusung PAN.

Asmar Oemar Saleh, Praktisi Hukum

No comments:

Post a Comment