DUNIA tampaknya tak pernah sepi dari pelanggaran berat hak asasi manusia. Sayangnya, banyak di antara pelaku tersebut belum atau tak bisa diadili di negara tempat kejahatan berlangsung karena sistem hukum yang berlaku di negara tersebut tidak memadai atau rezim bersangkutan cenderung melindungi para pelaku. Oleh karena itu praktek impunity (kejahatan tanpa proses hukum) dengan mudah dapat ditemukan di negara-negara yang memang tidak serius dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM). Akibatnya para pelanggar berat hak asasi manusia dengan leluasa berkeliaran tanpa proses hukum. Kalaupun ada proses hukum maka itu tidak lebih dari rekayasa dan sandiwara belaka. Ujung-ujungnya mudah diduga: orang yang diduga kuat terlibat dalam kejahatan berat HAM dinyatakan bebas. Publik dengan perih menyaksikan semua kenyataan pahit tersebut, tanpa bisa berbuat banyak.
Dan harapan itu—yang sebenarnya lahir melalui proses perjuangan yang panjang—akhirnya menemui titik terang. Pada 17 Juli 1998, sebuah statuta yang sekarang dikenal sebagai Statuta Roma disetujui oleh 120 negara, 7 negara menentang, dan 21 negara abstain. Para peserta konferensi diplomatik PBB di Roma, seperti dicatat oleh Jerry Fowler (2000), menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional: genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa, crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang). Ironisnya, Amerika Serikat, negara yang mendaku dirinya sebagai kampiun demokrasi dan penjaga ketertiban dan hak asasi manusia di seluruh penjuru Bumi, menentang disahkannya statuta tersebut. Lebih ironis lagi, Amerika berdiri di barisan para penentang statuta ini bersama Irak—‘musuh berat’ AS yang belakangan dianggapnya sebagai ‘Poros Setan’. Para aktivis hak asasi manusia di dunia dengan gampang menuduh AS sebagai negara yang tak konsisten, ambigu dan gemar menerapkan standar ganda (double standart).
Tentu saja angin segar bagi tegaknya keadilan dan hilangnya kekejaman terhadap kemanusiaan di atas barulah langkah awal. Soalnya statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya. Dan pada hari Kamis (11/4) silam, sebanyak 60 negara telah meratifikasi Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC). Keengganan Amerika untuk meratifikasi Undang-Undang Roma 1998 tersebut disayangkan oleh banyak kalangan. Arti penting ICC ini secara gamblang diungkapkan oleh mantan duta besar perang kejahatan semasa pemerintahan Bill Clinton, David Scheffer,”Ini merupakan momen yang luar biasa penting dalam sejarah dunia, suatu pencapaian dalam peradilan,” (Kompas, 11/4).
“MOMEN yang luar biasa penting dalam sejarah dunia” itu disambut antusias oleh negara-negara di dunia. Negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, misalnya, sudah meratifikasi Statuta Roma ini. Demikian pula dengan Kanada. Bahkan negara-negara seperti Bosnia, Bulgaria, Kamboja, Kongo, Irlandia, Jordania, Mongolia, Nigeria, Rumania, dan Slovakia menyerahkan ratifikasi lebih awal. Ini berarti negara yang meratifikasi didirikannya pengadilan permanen internasional sudah mencapai 66 negara (Kompas, 12/4). Yang menjadi tanda tanya besar adalah, mengapa negara-negara di Asia tak bersemangat mendukung dan meratifikasi Undang-Undang Roma 1998. Demikian pula dengan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Berkenaan dengan negeri kita satu pertanyaan penting patut diajukan: mengapa pemerintah Republik Indonesia tak segera menunjukkan komitmen dan political will-nya untuk mengakhiri praktek impunity dengan meratifikasi Statuta Roma tersebut?
Pemerintah kita selama ini memang rajin mengeluarkan statemen politik ihwal keseriusannya dalam penegakan supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia seperti dituntut oleh gerakan reformasi. Tapi belum diratifikasinya Statuta Roma ini membuat aktivis HAM di negeri kita berpandangan bahwa pemerintah sebenarnya tidak serius dalam menegakkan hukum dan memutus rantai impunitas bagi para pelanggar hak asasi manusia.
Kita tak tahu persis mengapa pemerintah belum meratifikasi Satuta Roma ini. Karena pihak pemerintah sendiri memang tak menjelaskan persoalan penting ini ke publik. Menurut penulis, ada dua hal yang membuat pemerintah Indonesia bersikap seperti di atas. Pertama, pemerintah sadar bahwa kondisi penegakan hukum di negeri ini masih rendah. Sementara di sisi lain pelanggaran HAM berat masih terjadi. Kenyataan ini membuka peluang bagi korban untuk mengadu ke ICC. Patut diingat bahwa prinsip kerja Mahkamah adalah sebagai pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional. Ini berarti Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu, tidak bersedia melakukan penyelidikan dan tidak obyektif. Kedua, pemerintah Indonesia masih berminat melanggengkan praktek impunitas bagi oknum-oknum tertentu.
Sebagaimana Indonesia, Amerika (pada masa pemerintahan Clinton) juga telah menandatangani perjanjian ini, tapi pemerintah penggantinya, Bush, tak meratifikasinya. Padahal jika suatu negara tak meratifikasi, maka negara tersebut tidak bisa diajukan ke Mahkamah. Apa yang melatarbelakangi penolakan Amerika tersebut?
Pemerintah George W Bush tampaknya mendapat tantangan keras dari anggota parlemen (baik Partai Demokrat maupun Republik). Mereka mungkin tak rela jika ada warga negaranya yang diadili di Mahkamah. Selain itu, karena Mahkamah Pidana Internasional berwenang pula mengadili kejahatan agresi dan perang, sangat mungkin pemerintah Bush khawatir bakal mendapat kendala jika hendak melakukan agresi terhadap negara lain, seperti pernah dilakukan Bush di Afganistan beberapa waktu lalu. Sebab ada tanda-tanda Bush hendak menyerang Irak pada tahun ini juga. Spekulasi lain menyebut serangan ke Irak tersebut dilakukan sebelum pemilihan presiden AS tahun 2004 (Kompas, 9/4). Jika dugaan dan spekulasi ini benar maka jelas bahwa kepentingan politik domestik AS amat mempengaruhi keputusan apakah akan meratifikasi atau tidak.
Betapapun hasil Konferensi Roma tak luput dari berbagai kompromi untuk mendapatkan banyak dukungan, sejatinya Statuta Roma, seperti dikatakan oleh Jerry Fowler, menyediakan sebuah kerangka kerja dari keadilan internasional bagi generasi mendatang. Pengorbanan nyawa manusia dan penderitaan akibat rantai impunity, lanjut Fowler, akan semakin panjang jika kita tidak memberi kesempatan bagi kerangka kerja ini untuk diterapkan. Dengan kata lain, ini adalah upaya untuk mengakhiri segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan agresi.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika pemerintah Indonesia tak bersedia meratifikasi Statuta Roma ini. Sebab ketidakmauan pemerintah untuk melakukan ratifikasi sama halnya dengan memberi “angin surga” bagi para pelanggar hak asasi manusia untuk melanggengkan praktek keji mereka di masa depan. Akibatnya memang tragis, masyarakat yang kerap mengalami tindakan sewenang-wenang akan terus berhadapan dengan tembok besar ketidakadilan karena pengadilan kita “mandul” dan tidak efektif dan mereka tidak bisa mengadukan ke Mahkamah. Sesungguhnya ini adalah implikasi logis belaka dari keengganan pemerintah untuk meratifikasi Statuta Roma.
Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg-HAM RI
Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Kantor Meneg-HAM RI
No comments:
Post a Comment