Sunday, April 1, 2012

QUO VADIS Penegakan Hukum di Indonesia?

Komitemen pemerintah Megawati Soekarnoputri dalam menegakkan hukum tampaknya belum banyak beranjak dari paradigma lama. Prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara yang berdasar atas kekuasaan masih belum sepenuhnya terwujud. Ada memang satu dua “prestasi” aparat penegak hukum, misalnya hukuman seumur hidup bagi Hendra Rahardja atau di-“Nusa Kambangkan”nya si “raja hutan” Bob Hasan. Tapi jika dibandingkan dengan banyaknya kasus yang terjadi, maka prestasi itu belum bisa dijadikan dasar untuk optimis bahwa penegakan hukum di Indonesia akan berjalan normal tanpa intervensi, diskriminasi, dan rekayasa.

Baru-baru ini misalnya kita menemukan diskriminasi aparat penegak hukum dalam memperlakukan terdakwa. Ini terjadi ketika majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan bagi Akbar Tandjung. Kasus ini semakin mengukuhkan pesimisme publik akan penegakan hukum di Indonesia. Pendek kata, sejauh ini prestasi penegakan hukum di Indonesia belum ada yang bisa dibanggakan dan membangkitkan kembali optimisme publik pada prinsip keadilan untuk semua (justice for all).  Keadilan masih mengendap kuat di angan-angan. Akibatnya, publik kerap merasa kecewa dengan putusan pengadilan, dan ini berakibat mengkristalnya frustrasi dan amarah publik.

Ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum sesungguhnya memiliki dampak yang serius. Misalnya, publik lebih merasa puas untuk menyelesaikan setiap kasus hukum yang ditemukan menurut cara-cara mereka sendiri—karena cara-cara, institusi, aparat penegak hukum dan mekanisme yang lazim digunakan dalam negara hukum nyaris tak berfungsi. Ketika ada seorang maling ayam tertangkap basah, misalnya, sontak publik “menyelesaikannya” dengan cara membakar hidup-hidup si pelaku,  setelah sebelumnya massa menghajar si pelaku. Tindakan yang lazim dikenal dengan “tindakan main hakim sendiri” itu  merupakan pukulan dahsyat bagi setiap aparat penegak hukum dan bukti hilangnya kredibilitas institusi penegak hukum di mata publik.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan “main hakim sendiri” itu seolah telah menjadi trend dan kerap dipraktikkan masyarakat setiap kali mereka menemukan orang yang dianggap melanggar hukum. Masyarakat memang pantas kecewa dengan kualitas aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan belakangan pengacara/advokat). Hanya saja kekecewaan mereka memang tidak sepatutnya diwujudkan melalui tindakan-tindakan yang justru melawan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.  Pada titik ini kita teringat sajak yang ditulis oleh Rendra: Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat/apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa/apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan/maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa/lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya….

Rusaknya  penegakan hukum sebenarnya telah berlangsung lama. Jika diurut ke belakang keadaan ini dimulai sejak zaman Demokrasi Terpimpin dan semakin parah pada masa Orde Baru, ketika kekuasaan benar-benar menjadi panglima. Alih-alih sebagai penjaga keadilan, negara justru kerap tampil sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Pelanggaran negara terhadap hukum dan keadilan bisa pula muncul dari banyaknya produk hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan publik, dan sebaliknya hanya memenuhi kehendak kekuasaan.

Dapatkah keadaan ini diubah? Ada sementara masyarakat yang berpandangan bahwa keadaan sudah teramat buruk, dan untuk keluar dari situasi ini tidaklah gampang, kecuali melalui perubahan radikal seperti pernah diusulkan oleh Daniel S Lev.  Umpamanya, pengadilan dan kejaksaan yang menyimpan persoalan parah untuk diperbaiki secara singkat, sebaiknya dihapuskan saja dan diganti dengan institusi-institusi, hakim-hakim, jaksa-jaksa, staf-staf dan struktur baru yang mengizinkan penanaman norma dan tradisi baru (Tempo, 6 Januari 2002).

Ilustrasi berikut barangkali bisa menjelaskan apatisme publik di atas. Seluruh mata rantai penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim serta pengacara) telah terkontaminasi dengan virus mematikan yang bernama KKN.  Berbagai perkara yang digelar hampir tidak ada yang “gratis”, melainkan  melalui proses “jual beli” jika ingin memenangkan suatu perkara.  Keadilan bak barang dagangan. Siapa yang memiliki sumber daya keuangan akan bisa “membeli” keadilan. Sogok, suap, kolusi, dan semacamnya bukan lagi tabu. Dan hal-hal seperti ini bukan sekadar gejala atau simptom, tapi sudah menjadi tradisi di negeri ini.

Di negeri kita hukum memang telah menjadi permainan dan alat transaksi oleh sebagian aparat penegak hukum. Bagi pencari keadilan realitas ini sangat dipahami. Hampir semua pencari keadilan menyatakan “tobat” untuk tidak mengulangi lagi jalan yang berliku ini. Bagaimana tidak, sejak di polisi, jaksa, sampai ke hakim, seorang yang berperkara sudah harus merogoh kantongnya. Belum lagi jika terjadi banding, kasasi serta peninjauan kembali (PK). Dalam mekanisme seperti ini hanya orang kuatlah (baik secara materi maupun kedudukan) yang bisa memenangkan perkara. Ironisnya dalam mekanisme seperti ini sebagian pengacara acap memanfaatkan situasi ini untuk menggelembungkan kantongnya dengan cara “memeras” kliennya dengan bertindak sebagai perantara kepada aparat penegak hukum lainnya untuk memuluskan skenario yang dirancang.

Kondisi di atas berlangsung setidaknya karena hal-hal berikut. Pertama, menyangkut persoalan struktural. Hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan polisi, jaksa, dan hakim. Mestinya sistem penggajian aparat penegak hukum meniru pola yang diterapkan di negara-negara maju. Tingkat kesejahteraan para penegak hukum yang rendah mendorong mereka untuk “mengejar setoran” melalui cara-cara haram. Idealnya mereka bisa membayar kredit rumah, kendaraan, serta menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Kedua, sistem rekrutmen yang belum bebas dari KKN. Mestinya pola rekrutmen harus bebas dari penyakit KKN agar bisa menghasilkan para penegak hukum yang terjaga integritas dan kredibilitasnya. Di tengah rendahnya kredibilitas aparat negara, pola rekrutmen yang bebas dari KKN ini tentu tidak mudah diwujudkan. Karena itu perlu ada lembaga khusus yang dibentuk untuk mencari calon penegak hukum agar benar-benar didapat seorang yang benar-benar berkualitas dan terjaga integritasnya. Mekanisme fit and proper test patut diterapkan.

 Ketiga, menyangkut persoalan kultural. Salah satu prestasi rezim Orde Baru dalam mendistorsi hukum adalah dikembangkannya budaya hormat kepada atasan secara tidak proporsional. Jika atasan melakukan suatu tindak KKN, misalnya, pejabat di bawahnya  enggan untuk melapor atau menegurnya. Situasi demikian mengakibatkan lunturnya teladan dari para atasan. Jika atasan saja melalukan praktik-praktik busuk, maka pejabat yang di bawahnya akan melakukan hal yang sama, terlebih jika tingkat kesejahteraan mereka rendah dan peluang untuk itu terbuka lebar. Pada titik ini terciptalah lingkaran setan KKN. Semua melakukan kebusukan. Akibatnya muncullah istilah “korupsi yang sistematis”.  Memberantas satu orang berarti memberantas yang lain. Jika ada satu orang yang mati, mati pulalah yang lain (tiji tibeh, mati siji mati kabeh). Di sinilah letak kesulitan memberantas korupsi di negeri kita dan itulah yang hendak didekonstruksi secara substansial oleh gerakan reformasi.

Keempat, kurangnya kontrol dari masyarakat. Alih-alih sebagai kekuatan penyeimbang, masyarakat malah kerap melakukan praktik KKN “kecil-kecilan” seperti dalam pengurusan SIM, KTP, serta surat-surat lain yang melibatkan birokrasi. Oleh karena itu, menggerakkan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap aparat penegak hukum dan menolak segala bentuk suap merupakan suatu keharusan. Pada titik ini kampanye besar-besaran untuk tidak ber-KKN dengan aparat hukum atau aparat birokrasi lainnya menemukan momentum dan signifikansinya.  Upaya ini diiringi pula dengan sanksi hukum yang berat bagi siapa saja yang melakukan praktik kotor ini.  Peran berbagai LSM yang concern dengan penegakan dan persoalan hukum pun menemukan relevansinya.

Di era transisi seperti sekarang melenyapkan KKN di kalangan aparat penegak hukum hingga ke titik nol memang nyaris mustahil. Karena itu memperkecil kesempatan dan celah untuk mencegah praktik kotor ini terjadi menjadi   keharusan. Dalam konteks ini yang terpenting adalah adanya proses hukum yang adil, fair, dan jujur bagi pelaku KKN. Celakanya, selama ini proses itu tak ada. Kalaupun ada hanya sandiwara dan rekayasa belaka.

Dalam konteks ini mendesak pula untuk dipikirkan dua hal. Pertama, perlunya mengandemen UU dan peraturan-peraturan lainnya yang tidak berpihak pada keadilan. Kedua, mengubah sistem peradilan yang ada (continental) ke sistem juri. Ini untuk mengakomodasi keluhan-keluhan selama ini yang menyatakan putusan hakim tidak mampu menangkap rasa keadilan masyarakat.

Dengan pola seperti ini, maka sistem rekrutmen hakim dan jaksa pun akan mengalami perubahan, misalnya calon hakim harus berusia minimal 40 tahun dan berasal dari institusi kejaksaan dan advokat yang terjaga integritas dan kredibilitasnya. Dengan demikian seorang calon hakim diharapkan memiliki bekal kemampuan konseptual dan teknis hukum serta kematangan, keberanian dan kemapanan ekonomi.

Tanpa memperhitungkan semua variabel di atas, maka semua seruan, imbauan, maklumat, bahkan kemauan politik untuk melakukan pembenahan aparat hukum yang bersih dari KKN tak banyak membuahkan hasil. Sebab yang diperlukan adalah perombakan radikal terhadap akar masalah, bukan mengobati gejala-gejala yang tampak di permukaan saja.

Asmar Oemar Saleh, Advokat dan Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Kantor Menteri Negara Urusan HAM.

No comments:

Post a Comment