Sunday, April 1, 2012

MENGAPA PENDIDIKAN HAM ITU PERLU?

Dalam  sejarah modern pasca Perang Dunia Kedua, diskursus tentang hak asasi manusia (HAM) berkembang pesat dan menjadi bahan perbincangan internasional. Sejak saat itu,  perdebatan dan diskursus tentang HAM melebar dan memenuhi ruang publik di seluruh jagat. Implikasinya pelbagai perangkat perundang-undangan maupun pelbagai peraturan yang diterapkan di negara-negara modern banyak mengadopsi nilai-nilai HAM dan sebisa mungkin menepis segala aturan hukum yang diindikasikan menyimpang dari nilai-nilai universal HAM. Wacana dan gagasan mengamandemen UUD 1945 di negara kita pun sebenarnya juga berangkat dari kecenderungan di atas.

Lebih dari itu, pelbagai konsep tentang HAM pun menyeruak di tengah-tengah lingkungan akademis-ilmiah. Saat ini misalnya kita tak kesulitan mencari referensi (buku) soal HAM. Penerjemahan buku-buku bertema HAM pun terlihat marak, setidaknya jika dibandingkan beberapa tahun silam. Bahkan kabarnya saat ini sudah diupayakan untuk membentuk program studi HAM di universitas-universitas di dalam negeri. Upaya mengirim mahasiswa ke luar negeri untuk mendalami HAM pun telah dilakukan. Dan yang lebih menggembirakan lagi, berbagai pusat studi HAM di kampus-kampus telah didirikan. Seluruh perkembangan di atas dalam jangka panjang berdampak positif dan  konstruktif bagi kehidupan manusia yang lebih beradab (civilized), demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.

Dalam konteks yang lebih luas, negara-negara yang tak memajukan dan mendukung terwujudnya HAM kerap dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy), dan  terkucil dari pergaulan internasional.  Memang perkembangan di atas melahirkan dampak ikutan (side effect) yang tak positif bagi pemajuan HAM, yaitu digunakannya isu-isu HAM untuk menekan negara-negara tertentu yang diduga melanggar HAM. Sering kali tekanan tersebut melahirkan ironi dan paradoks tersendiri seperti pelanggaran HAM oleh negara maju. Kasus Amerika Serikat yang sering “menekan” negara-negara berkembang  bisa dijadikan contoh.

Dalam konstelasi pemikiran di atas, derap reformasi di segenap angle kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjadi di negara kita, turut  menyadarkan kita semua akan  perlunya pemajuan, perlindungan, penegakan dan penghormatan hak asasi manusia dalam aras kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tak ada pilihan lain bagi bangsa kita untuk tak turut serta dalam arus perkembangan ini. Hal ini bukan semata-mata karena mengikuti arus zaman, tapi juga—dan ini yang terpenting--karena cita-cita, penghormatan dan pemajuan HAM ini bersumber dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

Akan tetapi, ketika kita hendak melangkah memenuhi tugas besar kemanusiaan ini, kaki kita kerap terantuk batu sandungan terbesarnya. Yaitu kita belum memahami secara benar hakikat, ruang lingkup, cakupan, dan pelbagai paramater nilai-nilai HAM. Pendeknya pandangan dan wawasan kita tentang HAM selama  ini cenderung parsial, terkotak-kotak, dan tidak komprehensif. Pada titik ini kita merasakan betul pentingnya pendidikan pelatihan HAM bagi publik dan aparatur negara.

Tak bisa dipungkiri, pendidikan HAM memiliki dimensi strategis dalam memajukan, melindungi, menegakkan dan menghormati HAM. Pendidikan HAM bukan saja merupakan ikhtiar untuk menyebarluaskan pemahaman dan wawasan HAM kepada seluruh masyarakat secara holistik, tetapi juga penciptaan agar HAM menjadi bagian integral dalam kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Kebutuhan akan pendidikan HAM ini menjadi kian penting dan menemukan relevansinya bagi masyarakat dan bangsa kita karena pengalaman masa lalu negara kita yang kelam oleh riuhnya pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh aparatur negara (state), maupun yang dilakukan oleh masyarakat (society) itu sendiri.

Pendidikan HAM juga merupakan refleksi dari usaha untuk melindungi HAM. Perlindungan terhadap HAM ini kini bahkan telah menjadi tuntutan dan harapan seluruh lapisan masyarakat di satu sisi dan di sisi lain menjadi kewajiban negara. Para pendiri negara (founding fathers) telah mencoba merumuskannya dalam konstitusi, seperti terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 bagian ke satu bahwa: “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Begitu pula dengan pasal-pasal di dalamnya. Beberapa di antaranya adalah Pasal 27 ayat 1 (hak berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan); Ayat 2 (hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak); Pasal 28 (hak berserikat dan berkumpul).

Berkaitan dengan hal tersebut, MPR telah mengeluarkan TAP No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, dan merekomendasikan perlunya membentuk UU tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya pada tanggal 23 September 1999, diundangkanlah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Komnas HAM dengan menegaskan kewajiban pemerintah serta bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM (Pasal 71).  Selain penerbitan UU, MPR juga telah melakukan amandemen terhadap konstitusi dengan memerinci hal-hal yang menyangkut HAM (Pasal 28i dan 28j UUD 1945). Dan sebagai salah satu upaya penegakan HAM, negara juga telah menerbitkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur mengenai jenis pelanggaran, proses dan kewenangan pengadilan HAM untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM.

Akan tetapi semua itu tak akan bisa diwujudkan jika masyarakat dan apalagi aparaturnya tidak memiliki pemahaman dan wawasan yang komprehensif dan integral tentang hakikat dan nilai-nilai HAM.  Kecenderungan demikian bisa dilihat di lapangan. Misalnya ada kesan kuat bahwa aparatur negara—khususnya militer dan polisi--bersikap canggung dan gagap dalam menegakkan HAM. Di satu sisi mereka bertekad menjalankan tugas  seraya tetap menghormati, melindungi dan menegakkan HAM. Akan tetapi di sisi lain mereka kerap terbentur oleh opini publik bahwa apa yang mereka lakukan justru dianggap melanggar hukum dan HAM itu sendiri. Sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam menghalau para demonstran dengan jelas menunjukkan masih kaburnya penghormatan dan perlindungan terhadap HAM. Demikian juga kekerasan terhadap para jurnalis yang belakangan kembali merebak di sejumlah kota. Padahal sudah ada kode etik bagi aparatur penegak hukum yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 34/169  Tanggal 17 Desember 1979 dan prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparatur penegak hukum  (Disahkan kedelapan PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Tertuduh, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September 1990).

Lebih dari itu,  absen atau minimnya wawasan dan pengetahuan para aparatur negara terhadap nilai-nilai universal HAM turut menyumbang bagi kegagapan dan akhirnya kegagalan menjalankan tugas mulia tersebut. Sesungguhnya semua ini bisa ditepis dan diminimalisir jika para aparatur negara memiliki pemahaman yang memadai ihwal isu-isu dan nilai-nilai HAM dan masyarakat juga memiliki persepsi, visi, dan wawasan yang sama terhadap nilai-nilai HAM. Tanpa semua itu mustahil penghormatan, pemajuan, dan penegakan HAM bisa diwujudkan di negara kita.

Akan tetapi, kita harus sadar bahwa pendidikan HAM itu bukan hal mudah yang bisa diperoleh dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dan tanpa kerja keras. Ini adalah proses panjang yang memerlukan penghayatan, pengamalan praktis di lapangan, dan kerja sama antarkomponen bangsa—pemerintah, LSM, pers, kalangan kampus, dan kekuatan civil society lainnya. Ini berarti pendidikan HAM menjadi tugas kita semua, apa pun profesi dan jabatan kita. Siapa yang memulai dan peduli dengan hal ini? 

Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi HAM, Meneg Ham RI

1 comment: