Meskipun langit runtuh, hukum harus tetap jalan. Itulah moto yang amat populer di kalangan penegak hukum — dulu lazim dikenal dengan sebutan hamba wet. Ini berarti, apa pun yang terjadi dan siapa pun si pelanggar hukum, tidak boleh ada keraguan sedikit pun untuk memrosesnya dan jika terbukti bersalah harus segera mengirim mereka ke penjara, hari itu juga.
Idealisme hukum semacam ini memang masih sangat jauh dari Bumi Indonesia. Langit belum runtuh, namun “sebagian besar” penegak hukum di republik ini justru kerap menelingkung aturan-aturan itu dan menendangnya ke keranjang sampah. Aturan atau hukum yang terang dibuat remang. Aturan yang remang dibuat gelap hingga sulit diurai dan menimbulkan banyak tafsir. Orang akhirnya sibuk menafsir dan memperdebatkan aturan main dan substansinya. Sementara pada saat yang sama si pelanggar hukum menyiapkan banyak cara untuk berkelit dari jerat hukum, dengan misalnya menyewa pengacara kondang yang bertarif mahal. Ujung-ujungnya mudah ditebak: si pelanggar hukum akhirnya lolos dari jerat hukum.
Itulah yang terjadi saat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara) berhadapan dengan kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau orang yang memiliki kekuasaan ekonomi. Setiap kasus besar terkuak justru makin membenarkan pemeo berikut: hard cases make bad laws (kasus berat atau besar dapat membuat hukum yang buruk). Kasus besar tersebut melibatkan (mantan) pejabat atau konglomerat.
Cukup banyak perkara korupsi yang telah disidik kejaksaan akhirnya dihentikan dan bukan dilimpahkan ke pengadilan. Terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), seperti yang baru-baru ini dihadiahkan kepada Sjamsul Nursalim, membuktikan betapa hukum gampang ditelikung demi menyelamatkan para kapitalis kroni di satu sisi dan menghina nalar sehat publik dan rasa keadilan masyarakat di sisi lain. Kejaksaan Agung dengan enteng dan tanpa risih memberikan “kado” pahit itu kepada masyarakat saat HUT Adhyaksa ke-44 pertengahan Juli 2004 lalu. Jaksa Agung MA Rachman berdalih Syamsul Nursalim telah mendapat surat keterangan lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), satu kebijakan yang dikeluarkan dengan dasar Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Sejatinya bukan hukum itu sendiri yang buruk, melainkan aparat penegak hukumnya yang “menyulap” hukum yang baik menjadi buruk. Di negeri ini sistem hukum untuk menjerat para penjarah uang rakyat sudah teramat memadai guna menyeret para koruptor ke penjara. Robert Klitgaard, konsultan masalah korupsi di 30 negara dan penulis beragam buku tentang petunjuk pemberantasan korupsi, pernah menengarai betapapun bagusnya sistem hukum suatu negara, namun jika pelaksanaannya di lapangan tidak bagus, maka akan sia-sia belaka. Ekuador, misalnya, merupakan contoh bagus dari negara yang memiliki sistem hukum yang baik tapi pelaksanaan di lapangan sangat buruk. Hasilnya gampang diterka: pemberantasan korupsi tidak berhasil. Itulah mengapa Klitgaard menyarankan dalam pemberantasan korupsi diperlukan kombinasi antara dua hal: sistem hukum yang baik dan implementasinya di lapangan secara baik pula.
Dalam situasi ketika korupsi telah menyatu dalam sistem, atau korupsi berlangsung secara sistemik seperti di Indonesia dalam masa transisi kini, keadaannya makin pekat piuh (distortions) dan sulit diurai. Kebebasan pers atau demokrasi liberal yang dipraktikkan di sini berkat gerakan reformasi memang tak sepenuhnya mampu membantu upaya pemberantasan korupsi. Pers memang hanya bertugas dan berkewajiban memberitakan tentang berbagai tindak penyalahgunaan kekuasaan dan mengabarkannya ke khalayak. Tugas aparat penegak hukumlah untuk menyelelidiki lebih jauh seberapa benar berita itu. Di sisi lain berbagai lembaga pemantau korupsi yang marak pasca-Soeharto atau terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai amanat Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), tidak serta merta mendongkrak optimisme publik akan terkikisnya tindak korupsi. Ini karena kunci dari pemberantasan korupsi adalah munculnya sosok penegak hukum yang memiliki integritas, moralitas, dan keberanian.
Aturan perundang-undangan (sistem hukum) adalah satu hal, sementara penumbuhannya di ranah empiris adalah soal lain. Wawasan luas soal hukum yang dimiliki aparat tak serta-merta mengantarkan mereka pada tertunaikannya salah satu agenda besar reformasi ini. Integritas moral para penegak hukum juga tak mampu menolong langit keadilan dari reruntuhan jika modal sosial (social capital) ini tidak ditopang oleh keberanian untuk menindak siapa saja yang bersalah. Wewenang yang sangat besar yang dimiliki KPK tak serta-merta membuat lembaga ini mampu memenuhi mimpi-mimpi besar publik akan keadilan untuk semua (justice for all) jika tiga prasyarat tersebut—integritas, moralitas, keberanian—tidak dimiliki. Dengan wewenang yang sangat besar, namun minim prestasi mengagumkan, KPK kelak pada akhirnya akan bernasib sama seperti lembaga pemberantasan korupsi model Orde Baru dulu: menghambur-hamburkan uang negara namun minim atau sonder prestasi mengagumkan. Pimpinan KPK harus menyadari dan mengantisipasi ancaman kegagalan ini sejak dini. Jika tidak, bayangan kegagalan lembaga ini sudah mulai menghantui.
Kelahiran KPK didorong oleh satu krisis besar penegakan hukum, yaitu saat lembaga penegak hukum konvensional—kejaksaan dan kepolisian—tidak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dalam hal penegakan hukum menyangkut tindak pidana korupsi secara baik. Ini berarti kehadiran KPK tidak dapat dilepaskan dari fakta penegakan hukum yang buruk terhadap para koruptor yang dilakukan lembaga penegak hukum konvensional. Ada situasi darurat yang mengharuskan lembaga ini lahir ke dunia. Kesadaran bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diatasi secara luar biasa pula—satu hal yang kini tidak pernah terlaksana—telah ikut mendorong lahirnya lembaga nonkonvensional ini.
Jika kedua lembaga penegak hukum ini tidak mengalami disfungsi, maka KPK tidak perlu ada. Alih-alih menegakkan hukum, kedua lembaga ini malah ditengarai menjadi pelindung bagi para pelanggar hukum. Kedua hamba wet ini juga dituduh sebagai penyebab mandegnya pemberantasan korupsi karena aparat-aparatnya bukan saja gagal mentransformasikan cita-cita reformasi, melainkan juga terindikasi melakukan aneka penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Kultur dan mentalitas feodalistik, paternalistik, bahkan militeristik masih membalut kuat di benak aparat. Budaya ewuh pakewuh misalnya masih berlaku dan terlestarikan secara baik. Prinsip rule of law, not rule of men, seperti dikatakan Bernard Poduska, belum berlaku secara utuh-penuh.
Sekadar menyebut satu contoh. Kasus rumah mewah Jaksa Agung MA Rachman yang tidak dilaporkan ke KPKPN dan karena itu diduga didapatkan secara tidak benar—hingga kini belum juga menemui titik terang, bahkan kian hari makin gelap, tergerus oleh isu dan kasus hukum lain yang tidak kalah menghebohkan. Seperti dimaklumi, polisi tidak dapat menyelesaikan kasus besar itu karena hingga kini belum mendapatkan izin dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Kenyataan ini dijadikan dasar dan dalih bagi polisi untuk tidak melakukan proses hukum apa pun terhadap Rachman. Secara formalistik-legalistik, aturan memang mengharuskan polisi untuk mendapatkan izin dari presiden sebelum memeriksa pejabat negara. Sementara presiden sendiri tak pernah menunjukkan komitmennya secara tegas ihwal bagaimana korupsi atau kasus ini diberantas dan dituntaskan.
Jika kasus ini dijadikan dasar untuk menakar keseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi, khususnya menyangkut orang-orang besar dan berkuasa, maka kesimpulan kita cuma satu: pemberantasan korupsi masih menggantung tinggi di langit. Padahal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya clean government dan good governance. Jika demikian, bukankah tak salah berkesimpulan, pemerintahan sekarang tidak menghendaki tegaknya clean government dan good governance?
Asmar Oemar Saleh, Advokat, mantan Koordinator Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi
No comments:
Post a Comment