Sunday, April 1, 2012

Setelah RUU Pilpres Disahkan

RANCANGAN Undang-undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) yang pada Senin, 7 Juli lalu resmi disahkan DPR menjadi Undang-undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyisakan sejumlah persoalan krusial yang bisa mereduksi makna pemilihan umum (pemilu) langsung. Reduksi atau manipulasi kedaulatan rakyat mencakup sejumlah hal di antaranya tertutupnya calon presiden independen untuk mencalonkan diri. Mengapa para elite di parlemen tidak percaya diri untuk mempersilahkan calon independen tampil dalam kompetisi demokrasi 2004? Bukankah tidak mudah bagi calon independen untuk memenangkan pemilu? Misalkan calon independen itu orang sekaliber Nurcholish Madjid, berapa banyak publik di Indonesia yang mengenal sosok cendekiawan Muslim ini?  Dan kendatipun publik mengenal sosok ini, bukankah tidak serta merta mereka akan memilihnya?

Kemudian soal dibolehkannya seorang terdakwa mencalonkan diri sebagai calon presiden. Logika dan nurani model apa yang bisa menerima aturan demikian? Bukankah pemilu dimaksudkan sebagai upaya legal-konstitusional untuk memilih pemimpin bangsa yang bisa membebaskan bangsa ini dari jurang krisis multidimensional yang mensyaratkan sosok yang bersih, bermoral, berintegritas, dan berkeadaban?

Demikian pula masih terbukanya celah praktik-praktik pencucian uang (money laundering). Yang terakhir ini terkait dengan tidak dibatasinya sumbangan maksimal dari partai politik maupun pasangan calon ke dalam rekening kampanye Pemilu Presiden. Dalam masa transisi seperti sekarang, saat banyak penyimpangan kekuasaan (abuse of pawer) gampang terjadi, mengapa soal seserius ini tidak diatur?

Memang sulit dipungkiri bahwa sejumlah persoalan tersebut merupakan akibat atau konsekuensi logis dari barter pasal yang dilakukan anggota dewan. Melalui mekanisme saling take and give alias sama-sama untung anggota dewan telah menggadaikan kepentingan bangsa untuk interest dan keuntungan politik sesaat, sempit, dan partisan. Publik mafhum benar bahwa hilangnya syarat pendidikan calon presiden cukup SLTA atau sederajat  merupakan harga yang harus dibayar atas dibolehkannya seorang terdakwa menjadi atau dicalonkan sebagai presiden.  Syarat bagi parpol atau gabungan parpol untuk bisa mencalonkan pasangan capres-cawapres cukup dengan tiga persen jumlah kursi yang diperoleh di DPR atau meraih lima persen suara dalam pemilu walau tak punya kursi di parlemen merupakan “kebaikan” hati politisi Golkar atau PDIP atas hilangnya usulan-usulan pasal yang mengganjal kedua parpol ini untuk mengegolkan capresnya yang sudah jauh-jauh hari dielus. Sepintas memang tampak ganjil, bagaimana mungkin lawan politik memberi jalan bagi kemenangan parpol lain yang notabene menjadi rival terberatnya?

Tidak berlebihan jika dikatakan, Partai Golkar dan PDIP telah memenangkan kompetisi demokrasi (pemilu) sebelum pemilu yang sesungguhnya berlangsung. Dominasi mereka dalam mendesakkan kepentingan-kepentingan kelompoknya dalam ranah perumusan electoral laws mengindikasikan hal ini. Tidak adanya interupsi berarti menjelang disahkannya RUU ini menjadi bukti kesekian bahwa anggota dewan memang masih berminat mempermanenkan status quo seraya mempersetankan cita-cita reformasi.

Oleh karena itu sangat sulit memahami pernyataan beberapa politisi di parlemen—termasuk Hamzah Haz--bahwa tidak ada praktik politik dagang sapi dalam  pembahasan, perumusan dan persetujuan electoral laws di atas. Pernyataan itu lebih tepat disebut sebagai upaya bela diri atau apologia sejumlah parpol atas sejumlah kejanggalan dan keganjilan sebuah electoral laws yang sebenarnya juga diakui sendiri oleh mereka, meski pengakuan itu tak diungkapkan secara verbal, eksplisit, dan terang benderang. Statemen Ketua MPR Amien Rais yang menyatakan bahwa UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang telah disahkan merupakan “sesuatu yang dilematis, dan mencerminkan ketidaksempurnaan demokrasi di Tanah Air”,  tampak lebih wise dan jujur. Kenyataannya memang demikianlah kualitas demokrasi di Indonesia di satu sisi dan integritas elite-elite politik di parlemen di sisi lain. Upaya menutup-nutupi (cover up)  realitas politik dengan pernyataan-pernyataan berbau membela diri malah akan membuat demokrasi kita tidak maju-maju, jalan di tempat. Mengapa kita tidak jujur mengakui kekurangan diri dan mencoba memperbaikinya?

Beberapa Implikasi 

Kini nasi telah menjadi bubur. Harapan publik atas terciptanya aturan main pemilu (electoral laws) yang demokratis, kompetitif, dan bervisi jauh ke depan karena merangkum dan mencakup kepentingan bangsa-negara tidak terpenuhi. Beberapa implikasi negatif UU Pilpres ini diprediksi sulit dielakkan. Tidak diaturnya dana kampanye secara fair dan tidak diskriminatif akan membuka kesempatan bagi berlanjutnya praktik-praktik money politic dalam pemilu. Seperti dimaklumi, UU tentang Pemilihan Presiden dan Wapres hanya menetapkan batas maksimal sumbangan dari pihak ketiga, tetapi tidak berlaku bagi calon presiden atau parpol yang mencalonkan. Lebih dari itu aturan ini juga membuka peluang bagi calon-calon presiden untuk memperoleh dana kampanye tak terbatas tanpa melanggar batas maksimal sumbangan dana kampanye karena aturan untuk ini memang tidak ada. Tampaknya para anggota Panja menyadari betul aneka konsekuensi yang bakal dituai jika aturan pembatasan dana kampanye dari individu/capres  atau parpol tidak dibatasi.

Implikasi lebih lanjut, bagi parpol atau pribadi capres yang mengantongi banyak uang, ia akan dengan mudah mendominasi kampanye di media-media massa (cetak atau elektronik). Apalagi aturan pembatasan kampanye ini juga tidak diatur secara eksplisit dan terperinci. Maka menjadi wajar jika kemudian muncul dugaan, hanya partai besar dan memiliki cadangan “devisa” melimpah seperti PDIP dan Partai Golkar saja yang akan leluasa berkampanye dan menggalang dukungan sesuai jumlah dana kampanye yang dimilili. Pada titik ini, kita patut heran, mengapa parpol-parpol seperti PBB, PKB, PAN, PK, PPP tidak menyadari implikasi ini. Apakah mereka sudah memiliki dana yang besar hingga cukup percaya diri bersaing dengan kedua parpol tersebut? 

Soal dana kampanye ini menjadi isu krusial dan memiliki kepekaan politik yang tinggi yang berhubungan erat dengan obsesi publik terhadap terwujudnya clean government. Namun berbareng dengan itu sinyalemen publik dan fakta di ranah empiris menunjukkan bahwa korupsi di tingkat elite politik (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) di era reformasi ini malah menunjukkan kadar yang mengkhawatirkan dan berlangsung massif. Maka pertanyaan atau gugatan seperti dari mana dana kampanye parpol-parpol didapat menjadi absah belaka.

Dengan dihilangkannya beberapa persyaratan, seperti ketentuan parpol yang mengajukan capres harus memperoleh suara 20 persen, larangan terdakwa menjadi capres, pendidikan minimal sarjana, serta syarat capres harus bisa membaca dan menulis, memberikan peluang kepada tokoh-tokoh untuk bisa maju menjadi capres. Megawati yang semula akan dihambat dengan syarat sarjana bisa lempang maju sebagai capres. Begitu pula capres dari PAN Amien Rais, Hamzah Haz (PPP), Akbar Tandjung (Golkar), dan KH Abdurrahman Wahid (PKB). Mereka tidak akan lagi terhambat oleh persyaratan untuk maju menjadi capres. Implikasinya, pada Pemilu 2004 nanti akan muncul banyak calon presiden dari beragam partai. Jika publik tidak kritis, maka calon presiden yang memiliki popularitas meski minus kapabilitas dan rendah integritas dan moralitasnya, akan berpeluang besar untuk mengumpulkan suara di atas rata-rata partai yang ada.

Apalagi kultur masyarakat kita juga belum sepenuhnya mengedepankan rasionalitas dalam memilih. Preferensi publik dalam memilih partai kerap kali didasarkan pada aspek emosional-personal dan ideologis. Pertimbangan nalar politik yang lebih rasional-institusional memang belum terwujud secara bermakna dalam tradisi kepartaian di Tanah Air. Selain itu kharisma dan romantisisme ideologis-politis masa lalu malah acap menjadi faktor determinan dalam mempertimbangkan parpol mana yang akan dipilih dan akhirnya akan menentukan kemenangan sebuah parpol.

Banyaknya calon presiden yang akan muncul—sebagai implikasi dari lolosnya batas minimal perolehan suara sebesar 3 persen--juga akan  menyulitkan partai-partai Islam atau partai-partai gurem untuk bersatu merapatkan barisan menghalau laju partai konservatif seperti Golkar atau PDIP. Masing-masing parpol dan capres akan melenggang sendirian, meski kemungkinan untuk meraup suara signifikan terbilang kecil. Jika hasil pemilu masih seperti tahun sebelumnya (1999), atau setidaknya mendekati angka-angka yang pernah diraih, maka sebenarnya berkoalisi merupakan pilihan politik yang amat strategis. Egoisme parpol/tokoh politik mestinya bisa dihilangkan.

Patut diingat, PDIP dan Partai Golkar memiliki peluang untuk melanggengkan dominasinya dalam perolehan suara dalam pemilu mendatang. Sumber dana dan pengalaman berpolitik dan berkampanye yang dimiliki kedua parpol ini hendaknya tidak dipandang sebelah mata. Sering kali para elite parpol di luar kedua parpol itu meremehkan kekuatan lawan dan terlalu percaya terhadap kekuatan diri. Benar bahwa elite-elite politik seperti Megawati, Akbar Tanjung, atau Hamzah Haz, memiliki citra tidak sedap. Megawati misalnya mengidap stigma buruk seperti tidak kreatif dalam menjalankan amanat-amanat reformasi sehingga di tangannya agenda-agenda besar reformasi seperti penuntasan kasus-kasus KKN tampak buram dan mengalami stagnasi.

Citra buruk Akbar dan partainya juga sulit dihapus. Turut sertanya Akbar dalam pemerintahan otoritarianisme Orde Baru ternyata tidak mampu memerosotkan secara signifikan partai dan tokoh ini. Kini Akbar memang mengidap masalah hukum yang amat serius. Namun siapa menjamin bahwa Akbar dan partainya akan kedodoran suaranya dalam pemilu mendatang? Siapa pula bisa memastikan Megawati dan partainya gagal meraih suara melimpah dalam pemilu nanti? Yang lebih pelik lagi adalah jika kedua parpol ini berkoalisi. Maka apa yang mendesak dilakukan partai-partai lain seperti PAN, PBB, PKS, PPP? Hanya ada satu jawaban: koalisi.

Asmar Oemar Saleh, Pendiri Reform Institute

No comments:

Post a Comment