Friday, June 22, 2018

Teori Awal Penciptaan Alam Semesta

Resensi buku oleh: Oir Nikonian

Sejak pertanyaan “mengapa kita ada” mengusik manusia berpuluh abad silam, ikhtiar untuk mencari jawabannya tak pernah berhenti. Banyak orang berpaling ke berbagai kekuatan besar di luar manusia. Para filsuf sejak Yunani klasik menyodorkan jawaban-jawaban spekulatif dengan mengandalkan kekuatan logika. Merekalah yang mendominasi pikiran manusia.

Tapi filsafat kini mati, kata Stephen Hawking. Filsafat tak sanggup mengimbangi perkembangan sains modern, terutama fisika. Obor penerang bagi pencarian ilmu pengetahuan kini dipikul para ilmuwan. Walaupun sains modern dianggap baru bermula pada abad ke-17, sumbangannya luar biasa bagi kemajuan peradaban, meski sayangnya juga bagi kerusakan.

Sains dan Agama: Tuhan Tidak Menciptakan Manusia; Manusia-lah yang Menciptakan Tuhan-Tuhan

Oleh J. Anderson Thomson dan Clare Aukofer

Sebelum John Lennon menuliskan impiannya tentang “hidup dalam damai” dalam lagu Imagine, ia lebih dulu membayangkan dunia tanpa surga, tanpa neraka, dan tanpa agama. Tetapi apa sebenarnya yang ia maksud dengan "tanpa agama"?

Ia membayangkan dunia tanpa para “utusan ilahi” yang memicu kekerasan seperti Osama bin Laden. Dunia di mana bencana alam seperti badai Katrina tidak dihubungkan dengan "kehendak Tuhan," melainkan diatasi dengan kebijakan dan teknologi. Dunia di mana politisi tak lagi berlomba-lomba menampilkan keimanan irasional demi dukungan. Dunia di mana berpikir kritis menjadi fondasi kehidupan bersama—dunia yang rasional.

Tuhan, Mekanika Kuantum, dan Jiwa Manusia

Oleh: Archer Clear 

Erwin Schrödinger, salah satu pendiri mekanika kuantum, pernah berkata:

“Saya hanya akan secara singkat menyebut di sini tentang ateisme yang terkenal dalam sains. Para teis terus-menerus menegurnya. Tanpa keadilan. Tuhan personal tidak dapat ditemukan dalam gambaran dunia yang hanya dapat diakses dengan mengorbankan segala sesuatu yang bersifat personal. Kita tahu bahwa setiap kali Tuhan dialami, itu adalah pengalaman yang nyata seperti kesan indra langsung, seperti nyata-nya kepribadian kita sendiri. Sebagai pengalaman, Tuhan memang tidak dapat ditemukan dalam gambaran ruang-waktu.”

Dan di lain kesempatan, ia menambahkan:

“Saya tidak menyukainya, dan saya menyesal pernah terlibat dengannya. Saya tidak bertemu Tuhan dalam ruang dan waktu. Tuhan adalah Spirit.”

Mengapa Alam Semesta Tidak Memerlukan Tuhan

Oleh Stephen Hawking & Leonard Mlodinow

Dahulu, dalam kepercayaan bangsa Viking, gerhana diyakini terjadi karena dua serigala mitologis—Skoll dan Hati—berusaha memangsa matahari atau bulan. Saat peristiwa ini terjadi, masyarakat akan menciptakan kegaduhan, memukul-mukul benda dan berteriak, berharap bisa mengusir kedua makhluk itu dan mengembalikan langit seperti sediakala. Seiring waktu, orang mulai menyadari bahwa gerhana akan berakhir terlepas dari usaha mereka menakut-nakuti monster tersebut. Fenomena alam tetap terjadi tanpa peduli pada ritual atau teriakan manusia.

Tuhan yang Berubah: Sebuah Evolusi Moral dan Kultural

Dalam buku The Evolution of God, Robert Wright mengisahkan perjalanan panjang bagaimana konsep Tuhan berkembang seiring dengan perubahan budaya dan dinamika sosial umat manusia. Buku ini bukanlah sekadar narasi sejarah agama, melainkan eksplorasi mendalam tentang bagaimana ide ketuhanan dibentuk, dibongkar, dan dibangun kembali dalam konteks evolusi moral umat manusia. Sebagaimana dicatat oleh Paul Bloom, seorang profesor psikologi dari Yale, Wright menawarkan pemikiran yang tajam, spekulatif namun berhati-hati, dalam menyajikan salah satu pertanyaan tertua dalam sejarah manusia: apakah Tuhan itu ada, dan jika ada, mengapa Dia tampak berubah?

Bagaimana Kita Hidup Setelah Matinya Tuhan

Peter Watson adalah seorang intelektual sejarah, jurnalis, dan penulis dari tiga belas buku, termasuk The German Genius, The Medici Conspiracy, dan The Great Divide. Dia juga pernah menulis untuk The Sunday Times, The New York Times, the Observer, dan the Spectator Dia tinggal di London. Dia cukup berbaik hati untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang buku barunya The Age of Atheists: How We Have Sought to Live Since the Death of God..

1.  Anda memulai pembahasan atheisme  dengan menyebut filsuf Jerman abad ke-19, Friedrich Nietzsche. Kenapa dia menjadi titik awal yang tepat?

Pada tahun 1882 Nietzsche menyatakan secara terus terang, dalam bahasa yang jelas mencolok, bahwa “Tuhan telah mati”, dan menambahkan “bahwa kita telah membunuhnya”. Dan ini hanya dua puluh tahun berselang setelah terbitnya karya Darwin, Origin of Species, yang benar-benar dipahami sebagai pukulan terbesar bagi Kekristenan (baca: agama). Tapi karya Nietzsche pantas mendapat pengakuan sebagai kedua terdekat. Darwinisme berasimilasi lebih cepat di Jerman daripada di Inggris karena gagasan evolusi itu terutama terjadi di sana. Darwin menyatakan dalam salah satu suratnya bahwa ide-idenya diterima lebih baik di Jerman daripada di tempat lain. Dan sejarah Kulturkampf di Jerman—pertempuran antara Protestan dan Katolik—yang berarti menyerang agama secara umum, oleh penganutnya sendiri. Orang-orang menanggapi Nietzsche dengan beragam pendapat yang kelihatannya satu sama lain saling melebihi—Ibsen, misalnya, W. B. Yeats, Robert Graves, James Joyce. Di Jerman ada fenomena generasi Nietzschean—berisi orang-orang muda yang menghidupkan filosofinya dalam komunitas khusus. Dan orang menanggapi Nietzsche karena gaya tulisannya begitu bernas, to the point, mudah diingat, dan jernih. Nietzsche memberitahu kita sefasih mungkin, bahwa tidak ada di luar, atau lebih tinggi dari hidup itu sendiri. Tidak ada yang beyond atau above, tidak ada transendensi dan tidak pula metafisik. Ini adalah pemikiran yang berbahaya pada waktu itu, dan tetap mengancam bagi banyak orang.

Tuesday, June 19, 2018

Sains dan Agama

Oleh: Werner Heisenberg
Diterjemahkan oleh Tim TACU

Werner Heisenberg (1901-1976) lahir di Würzberg, Jerman, dan menerima gelar doktor dalam fisika teoritis dari University of Munich. Ia menjadi terkenal karena terobosannya, yakni Prinsip Ketidakpastian dan penerima Penghargaan Nobel dalam Fisika di tahun 1932. Setelah Perang Dunia II, ia diangkat sebagai direktur Max Planck Institute untuk Fisika dan Astrofisika.
-------------------
Suatu malam selama Konferensi Solvay, beberapa anggota muda tetap tinggal di lounge hotel. Yang termasuk kelompok ini ialah Wolfgang Pauli dan saya sendiri, dan tak lama kemudian bergabung Paul Dirac. Salah satu dari kami berkata: “Einstein terus berbicara tentang Tuhan, apa yang bisa kita perbuat dengan itu? Hal ini sangat sulit untuk membayangkan bahwa seorang ilmuwan seperti Einstein harus memiliki ikatan yang kuat, seperti dengan tradisi keagamaan”.

“Tidak begitu banyak bagi Einstein dibandingkan Max Planck,” keberatan seseorang. “Dari beberapa ucapan Planck akan terlihat bahwa ia tidak melihat adanya kontradiksi antara agama dan sains, memang bahwa ia percaya keduanya sangat kompatibel.”

Monday, June 18, 2018

Menjadi Seorang Fisikawan

  Oleh: Brian Greene
  (Diadaptasi dari The Fabric of the Cosmos)

Bertahun-tahun yang lalu, saya menutup halaman terakhir dari The Myth of Sisyphus karya Albert Camus dengan rasa heran. Bagaimana mungkin kisah yang tampaknya begitu suram bisa memancarkan optimisme?

Sisyphus, tokoh utama cerita itu, dihukum untuk terus-menerus mendorong batu besar ke atas bukit—hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang kali. Namun Camus melihat harapan di tengah absurditas. Sisyphus, menurutnya, menang bukan karena ia berhasil mencapai puncak, melainkan karena ia memilih untuk terus mencoba. Dalam dunia yang tampak tidak peduli, kebebasannya untuk memilih bertahan adalah bentuk perlawanan sekaligus kemenangan.

Sains Vs Agama

Stephen Hawking

Pertama yang harus diperhatikan disini adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo mengatakan kalau ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran,  memprotes karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar karena yang dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran juga benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, Ibu kota Jawa Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian dari kata Bandung.

Begitu juga, Tuhan yang dibicarakan oleh Hawking berbeda dengan Tuhan yang dibicarakan oleh pemuka agama Islam, kristen, yahudi, dsb. Bagi Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai sebagai penjealasan atas fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah alat penjelasan sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah Tuhan. Anda tidak tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap. Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam kotak fenomena alam yang belum terjawab.

Newton dan Leibniz: Peletak Fondasi Ilmu Pengetahuan Modern

Berdasarkan ulasan Ernst Cassirer dalam “Newton and Leibniz,” The Philosophical Review, Vol. 52, No. 4, Juli 1943.

Perselisihan antara Isaac Newton dan Gottfried Wilhelm Leibniz telah banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah sains, terutama dalam konteks klaim penciptaan kalkulus. Namun, Ernst Cassirer dalam artikelnya di The Philosophical Review mengangkat sisi lain dari ketegangan antara dua raksasa intelektual ini: perbedaan mendalam dalam pandangan epistemologis mereka terhadap ilmu pengetahuan alam—atau dalam terminologi zaman mereka, filsafat alam.

Membedah perbedaan esensial di antara keduanya bukanlah perkara mudah. Kontroversi personal dan sentimen nasional yang mengiringi pertikaian ini kerap mengaburkan substansi filosofisnya. Surat-menyurat antara Leibniz dan Samuel Clarke (wakil Newton) pada tahun 1715–1716 lebih sering memunculkan polemik teologis dibandingkan klarifikasi intelektual. Untuk memahami inti perbedatan ini, kita harus menelaah dengan seksama cara pandang dasar masing-masing terhadap pengetahuan dan realitas.

Sains dan Pencarian Makna: Menyiasati Konflik Tua Antara Sains dan Agama

Oleh: F. Budi Hardiman
  
Tujuan agama sejati seharusnya adalah memaknai asas-asas dunia indrawi jauh ke dalam jiwa. – Leibniz

Di samping agama dan filsafat, sains merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang gigih mencari makna. Mungkin sains tidak menuntaskan banyak misteri kehidupan manusia, seperti misteri asal-usul kehidupan dan misteri kematian, namun langkah-langkah untuk memecahkan enigma-enigma seperti itu tampaknya berjalan progresif dalam sains. Kesan bahwa sains ingin menyaingi agama atau bahkan menggantikannya dalam perannya sebagai juru tafsir dunia cukuplah beralasan. Sains berambisi menjadi sistem pandangan dunia menyeluruh dan itulah yang terjadi dalam scientism. Di dalam saintisme kesahihan agama dalam memaknai dunia ditolak. Di tengah-tengah dominasi saintistis itu di abad ke-20 terjadi suatu tren yang sebaliknya: kesahihan sains dalam memaknai dunia juga dipersoalkan.

 Secara garis besar, ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam pencarian makna. Dengan makna di sini dimaksudkan terutama ‘kebenaran’. Pertama, sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Kedua, agama dan sains dapat dibawa ke dalam arena yang sama dalam pencarian makna. Dan ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda. Dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan bagaimana filsafat sains kontemporer bergerak ke posisi kedua dalam pencarian makna. Lalu saya ingin menunjukkan daya tarik posisi ketiga.

Sains itu Keren!

Oleh: Archer Clear

“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is to not stop questioning.”
Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory

“The most beautiful experience we can have is the mysterious — the fundamental emotion which stands at the cradle of true art and true science.”
Albert Einstein


Ilmu Pengetahuan: Jembatan Menuju Masa Depan

Oleh: Archer Clear

“Aspek paling menyedihkan dari kehidupan saat ini adalah bahwa ilmu pengetahuan mengumpulkan pengetahuan lebih cepat daripada masyarakat mengumpulkan kebijaksanaan.”
Isaac Asimov

Masalah mendasar dalam kehidupan berbangsa bukanlah minimnya anak-anak yang memahami sains. Masalah utamanya terletak pada orang dewasa yang buta terhadap ilmu pengetahuan—dan ironisnya, merekalah yang memegang tampuk kekuasaan: menyusun undang-undang, membuat kebijakan publik, serta memengaruhi opini masyarakat. Proporsinya mencolok—orang dewasa lima kali lebih banyak daripada anak-anak, dan sebagian besar dari mereka hidup dengan keyakinan yang tidak didasarkan pada pengetahuan, melainkan pada asumsi dan dogma.

Ilmuwan Saintifik dan Ilmuwan Cocoklogi

Dari situs World Science Festival yang didirikan oleh ilmuwan ternama Brian Greene, dilansir sebuah berita penemuan yang mengejutkan dunia fisika yang dapat menjelaskan kelahiran liar alam semesta kita. Dengan menggunakan teleskop BICEP2 di Kutub Selatan, para ilmuwan telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai tanda dari gelombang gravitasi yang menyebarkan ekspansi alam semesta dengan cepat, dalam pecahan-pecahan terkecil, tepat di detik pertama setelah Big Bang. Jika hasil dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics dapat dibuktikan, implikasinya sangat mendalam.

“Sebagai salah satu yang telah memikirkan kemungkinan ini selama lebih dari 30 tahun, masih sulit untuk percaya bahwa kita benar-benar akan melihat sinyal dari waktu awal mula yang begitu dekat!” kata fisikawan teoritis dari Arizona State University, Lawrence Krauss kepada kita. “Jika hasilnya dapat dibuktikan, itu akan menjadi salah satu perkembangan yang paling penting dalam pemahaman empiris kita tentang alam semesta sepanjang masa.”

Mahkota Sufi: Syekh Sa'di Asy-Syirazi

“Barangsiapa mengikuti jalan itu (pencarian kebenaran), ia akan kehilangan topi (kebanggaan) dan kepalanya (rasionalitas).”

Nizhami, Treasury of Mysteries

1. Sa’di: Penyair, Pengembara, dan Sufi

Syekh Sa'di Asy-Syirazi, penyair besar Persia abad ke-13, bukan hanya dikenal karena karya-karya estetik seperti Gulistan (Kebun Mawar) dan Bustan (Kebun Buah), melainkan karena kedalaman ajaran moral, etika, dan spiritualitas yang membentuk fondasi pemikiran sufistiknya. Karya-karya ini tak hanya dibaca secara luas di Iran, India, Pakistan, dan Asia Tengah, tetapi juga membentuk warisan abadi yang menyeberangi batas geografis dan kultural.

Sebagai seorang darwis, Sa'di menjalani hidup dengan berkelana. Ia mengalami penawanan oleh tentara Perang Salib dan pernah disuruh menggali parit—pengalaman yang kemudian memperkaya refleksi spiritualnya. Ia menimba ilmu di Nizamiyah, perguruan tinggi kenamaan Baghdad, dan menjalin relasi spiritual dengan para sufi besar seperti Syahabuddin Suhrawardi dan Najmuddin Kubra. Koneksi sufistik ini menjadi benih bagi seluruh pemikirannya.

MAHKOTA SUFI: Fariduddin Aththar, Sang Kimiawan

Seekor kera melihat sebuah buah ceri menggiurkan di dalam botol bening. Dengan penuh semangat, ia menyelusupkan tangannya ke dalam botol, menggenggam buah itu. Namun kini, tangannya terperangkap—tak dapat ditarik keluar selama ia terus menggenggam. Sang pemburu, yang memang sengaja memasang jebakan itu, mendekat pelan-pelan. Kera yang keras kepala tetap bertahan, tak rela melepas ceri yang diidamkannya. Dengan satu pukulan cepat, sang pemburu menghantam siku kera; genggamannya pun terlepas. Kini sang pemburu memiliki tiga hal sekaligus: buah, botol, dan kera.

Demikianlah alegori dari Kitab Amu-Daria yang sering digunakan para Sufi untuk menggambarkan betapa keterikatan pada dunia fana dapat menjadi perangkap batin. Sebuah pelajaran bahwa pelepasan lebih menyelamatkan daripada kemelekatan, bahwa kebijaksanaan sejati sering kali terletak dalam kemampuan untuk merelakan.

MAHKOTA SUFI: Omar Khayyam dari Persia

Ketaatan sejati dalam tradisi Sufi bukanlah sekadar demi balasan surga atau takut pada neraka, melainkan demi ketaatan itu sendiri—suatu pengabdian murni yang lahir dari cinta dan kesadaran. Hal ini pernah diungkapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, salah satu figur sufi terkemuka yang menekankan pentingnya cinta ilahi sebagai motivasi utama dalam pengabdian.

Dalam konteks ini, sosok Omar Khayyam sering disalahpahami dan dilekatkan dengan berbagai stereotip yang keliru. Syair-syair kuatrinnya telah diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia, namun ironisnya, nama Omar Khayyam kerap dikaitkan dengan citra yang kurang akurat—sebagai seorang anggota kelompok Assassin, seorang tokoh politik istana, atau bahkan sekadar penikmat minuman keras dan pesta pora. Padahal, banyak dari interpretasi ini berasal dari terjemahan-terjemahan yang keliru, terutama versi Rubaiyat yang dibuat oleh Edward FitzGerald. Terjemahan FitzGerald justru lebih merepresentasikan imajinasi dan gaya penyair Irlandia itu sendiri ketimbang esensi pemikiran Omar yang sebenarnya.

MAHKOTA SUFI: Al-Ghazali dari Persia

Pada masa ketika bangsa Normandia sedang mengokohkan kekuasaannya di Inggris dan Sicilia, dan gelombang pengetahuan Arab terus mengalir ke Barat melalui wilayah Arab Spanyol dan Italia, dunia Islam telah mencapai masa kejayaan yang berlangsung lebih dari lima ratus tahun. Pada masa itu, pusat-pusat ilmu pengetahuan dan intelektual berkembang pesat, meskipun sering berada dalam ketegangan antara kekuatan hukum agama dan dorongan intelektual yang mencoba menggabungkan pemikiran filsafat Yunani Kuno dengan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks ini, muncul sebuah fenomena yang unik dan penting, yakni upaya mendamaikan antara tradisi intelektual dan spiritual dalam Islam. Para ahli dialektika dan teolog ortodoks masih bergumul untuk menyelaraskan keyakinan mereka dengan metode rasional dan logika, yang pada saat itu semakin berkembang dan tidak dapat lagi dibatasi oleh pendekatan dogmatis. Masyarakat dan ekonomi yang maju menciptakan basis intelektual yang luas, sehingga ajaran agama mulai diresapi oleh keragaman pemikiran yang menuntut penjelasan dan pembuktian yang lebih dari sekadar otoritas tradisional.

Mahkota Sufi: Ibnu Arabi, Sang Syekh al-Akbar

“Bagi pendosa, aku tampak sebagai penjahat. Namun bagi jiwa-jiwa luhur—aku memancarkan kemuliaan.”

Mirza Khan Anshari

Salah satu figur paling berpengaruh dalam dunia metafisika Islam dan bahkan Kristen adalah Muhyiddin Ibnu Arabi, tokoh yang dalam tradisi Sufi dikenal sebagai asy-Syekh al-Akbar—Sang Mahaguru. Ia merupakan keturunan dari Hatim ath-Tha’i, tokoh legendaris bangsa Arab yang dikenal karena kemurahan hatinya yang luar biasa. Dalam Ruba'iyat versi FitzGerald, namanya bahkan disebut sebagai simbol kemurahan hati yang melebihi batas, hingga tak layak dipertanyakan.

Ibnu Arabi lahir di Murcia, Spanyol, pada 1164, saat semenanjung Iberia telah berada dalam kekuasaan Islam lebih dari empat abad. Dalam banyak literatur, ia disebut al-Andalusi, dan dipandang sebagai salah satu putra besar Andalusia yang paling bersinar. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa karya-karyanya dalam puisi cinta adalah yang paling mendalam dalam sejarah Islam, dan pemikiran Sufinya telah menggugah baik teolog ortodoks maupun pencari makna batin lintas tradisi.

Mahkota Sufi: Maulana Jalaluddin Rumi

"Siapa yang berperilaku sesuai dengan ucapannya, dialah yang tercerahkan; dia menolak segala keterikatan duniawi."
Dzun-Nun al-Mishri

Maulana Jalaluddin Rumi — nama yang dalam bahasa Arab-Persia berarti “Guru Kita, Sang Kemuliaan Agung dari Rum” — merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah spiritual Islam. Sebagai pendiri Tarekat Mevlevi atau para Darwis Berputar, Rumi bukan hanya penyair mistik terbesar dalam tradisi Persia, tetapi juga seorang guru spiritual yang warisannya menjangkau lintas zaman dan lintas budaya. Ungkapan klasik dari Timur menyebut, “Raksasa muncul dari Afghanistan dan mengubah dunia”; Rumi adalah salah satu perwujudannya.

Ia lahir di Balkh (kawasan Bactria), wilayah yang kini termasuk dalam negara Afghanistan, pada awal abad ke-13, dari keluarga terpelajar dan bangsawan. Setelah bermigrasi karena invasi Mongol, keluarganya menetap di Konya (Iconium), wilayah Asia Kecil yang saat itu berada di bawah kekuasaan Seljuk — jauh sebelum berdirinya Kekaisaran Utsmani. Rumi menolak jabatan atau kekuasaan duniawi; ia memilih jalan pengetahuan dan cinta ilahiah. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia menempati kedudukan agung dalam tradisi sastra dan spiritualitas Islam Timur, sehingga para penafsir menyebutnya sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Persia” — meskipun sering bertentangan dengan doktrin-doktrin sektarian seperti Syi’ah yang lebih eksklusif.

MAHKOTA SUFI: Ajaran Rahasia

Aku bertanya kepada seorang anak yang sedang berjalan sambil membawa lilin, "Dari mana cahaya itu berasal?" Tiba-tiba ia meniupnya. "Katakan kepadaku, ke manakah perginya --maka aku akan mengatakan kepadamu dari mana asalnya." (Hasan al-Bashri)
Apa pun menurut sebutan dari Timur maupun Barat, dengan suatu cara atau lainnya, kita adalah para pewaris berbagai kekuatan dan kelemahan filsafat Arab Abad Pertengahan. Salah satu kekurangan metode ini adalah upaya menerapkannya di luar bidangnya yang paling mencapai sukses. Tentu saja bidang ini adalah kumpulan, perbandingan, verifikasi dan penafsiran Hadis-hadis Nabi saw.

Pengambilan teknik ini beserta tradisinya itu sendiri merupakan perluasan berbagai metode keilmuan yang diperoleh orang-orang Saracen sendiri dari para teolog Yunani Kristen, dan perluasan ini berlangsung cepat. Teknik bisa dipelajari dengan mudah, sebab teknik ini berarti mengumpulkan fakta-fakta dan menumpuknya satu sama lain dengan tujuan membentuk susunan yang lengkap.

Sunday, June 10, 2018

MAHKOTA SUFI: Kitab tentang Para Darwis

Oleh: Idries Shah 

Jika kau tidak mengerti hal-hal ini,
tinggalkanlah, jangan bergabung dengan
orang kafir dalam kepalsuan-kebodohan
... tetapi semua orang tidak memahami
rahasia-rahasia Jalan tersebut (Syabistari, Secret Garden, terjemahan Johnson Pasha).

 Jika memang ada buku-teks darwis standar, maka pastilah buku tersebut adalah "Hadiah-hadiah Pengetahuan" --Awarif al-Ma'arif-- yang ditulis pada abad ketiga belas dan telah dikaji oleh anggota-anggota dari semua Tarekat. Penulisnya, Syekh Syahabuddin Suhrawardi (1145-kira-kira 1235) dengan menguasai semua gabungan teori, ritual dan praktik di masanya, mendirikan sekolah-sekolah pengajaran yang dekat dengan istana Persia dan India, dan merupakan Imam dari para Imam Sufi di Baghdad.

Kitab tersebut menarik bagi kita karena ia memaparkan tahapan-tahapan lahir dan awal yang mempunyai daya tarik untuk memahami kumpulan tulisan darwis, mempunyai muatan-muatan pemikiran dan amalan dasar dari para mistikus ini, dan (juga) karena Letnan Kolonel Wilberforce Clarke. Kolonel Clarke sendiri seorang darwis, kemungkinan ia anggota Tarekat Suhrawardiyah. Ia telah menerjemahkan lebih separo dari (kitab) Gifts (Hadiah-hadiah), untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan pada tahun 1891. Dan sebagai penerjemah pertama dari Orchard karya Hafizh, Kisah Iskandar karya Nizhami dan Amalan-amalan karya Hafizh, ia adalah pengikut yang baik dari tradisi para Sufi yang unik seperti Raymond Lully.

Saturday, June 9, 2018

KAJIAN SUFISME DI BARAT: Teori-teori Tentang Sufisme

Oleh: Idries Shah 

Anggaplah bahwa ada seorang murid (imajiner) yang belum lama mendengar Sufisme dan tidak memiliki latar belakang gagasan tentang Sufi. Maka ia memiliki tiga kemungkinan pilihan dalam memperoleh sumber materi tentang Sufisme. Pertama, mungkin menjadikan buku sebagai referensi dan karya yang ditulis oleh orang yang telah menjadikan subyek tersebut sebagai bidang spesialisasi mereka. Kedua, mungkin melalui organisasi yang mengaku mengajar atau menjalankan Sufisme, atau menggunakan terminologi Sufisme. Ketiga, bisa jadi dari individu-individu atau kelompok orang, tidak selalu di negara-negara Timur Tengah, yang dianggap sebagai seorang atau kaum Sufi. Ia mungkin belum terbujuk untuk mempercayai bahwa Sufisme merupakan label 'Mistikisme para pengikut Muhammad', atau 'cara pemujaan kaum darwis'.

Thursday, June 7, 2018

MAHKOTA SUFI: Keajaiban dan "Ilmu Sihir"

Oleh: Idries Shah 

Ibadah menurut Syah adalah bebas dari kemarahan dan kebaikan, kekufuran dan ketaatan ... (Matsnawi, IV)

Seorang penulis ternama, yakni Abdul Hadi, enam abad yang lalu menulis bahwa pada suatu hari ayahnya bercerita, "Engkau lahir berkat doa Bahauddin Naqsyabandi yang Agung dari Bukhara itu, dan memiliki keajaiban luar biasa." Abdul Hadi tidak memahami "berkat doa" itu, sehingga ia berhasrat menemui guru Sufi tersebut. Setelah merampungkan segala persoalan dirinya, ia bertolak dari Syria ke Asia Tengah. Ia menemui Bahauddin (w. 1389), pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah, sedang duduk bersama para muridnya, kemudian ia menuturkan bahwa maksud kedatangannya adalah karena ia sangat ingin mengetahui perihal keajaiban-keajaibannya (Bahauddin).

Bahauddin berkata, "Ada sebuah makanan yang tidak lazim. Makanan ini adalah kesan-kesan (naqsh-ha) yang senantiasa masuk ke dalam (kesadaran) manusia dari berbagai penjuru lingkungannya. Hanya manusia pilihan yang mengetahui (maksud) kesan-kesan tersebut dan yang dapat mengarahkannya. Engkau paham?"

Monday, June 4, 2018

MAHKOTA SUFI: Gajah Di Kegelapan

Oleh: Idries Shah 

Seseorang yang belum pernah melihat air, ia dilempar ke dalamnya dengan mata tertutup, maka ia akan merasakannya. Ketika tutupnya dibuka, ia akan tahu apa itu air. Selanjutnya ia cukup mengetahuinya melalui dampaknya.
(Rumi, Fihi Ma Fihi)
Dengan ekspansi ilmu pengetahuan dan seni pada Abad Pertengahan Islam-Spanyol, para Sufi genius lahir sebagai tabib dan ilmuwan. Mereka meninggalkan simbol dalam seni bangunan dan dekoratif (beberapa diantaranya kini disebut seni arabesque), yang dirancang untuk melestarikan secara visual beberapa kebenaran abadi yang diyakini oleh para Sufi sebagai menyimpulkan pencarian jiwa manusia, kemajuan, keselarasan terakhir dan integrasi dengan semua makhluk.1

Meski seringkali membingungkan para pengamat karena ketidaktahuan mereka tentang sistem makna yang sebenarnya, hasil sistem praktis yang mendalam dari para Sufi ditemukan dalam pemikiran, seni dan fenomena magis-okultis baik di Timur maupun di Barat. Untuk mendekati pengalaman Sufi secara lebih jelas, kita harus melihat sekilas metode pemikiran dan gagasan dasar para mistikus ini. Kita bisa mulai dari sebuah syair, humor atau sebuah simbol.

MAHKOTA SUFI: Interpretasi Esoterik Al-Qur'an

Oleh: Idries Shah 

Bagi para Sufi klasik, al-Qur'an merupakan dokumen rahasia yang mengandung ajaran-ajaran Sufi. Para teolog cenderung beranggapan bahwa interpretasi al-Qur'an hanya bisa diterima jika sejalan dengan cara agama konvensional; sementara para ahli sejarah cenderung mencari sastra atau sumber-sumber agama zaman dulu dalam al-Qur'an; selain itu juga sebagai bukti peristiwa-peristiwa kontemporer yang direfleksikan dalam tiap-tiap halaman. Bagi Sufi, al-Qur'an merupakan suatu dokumen yang disampaikan melalui tradisi riwayat, ayat yang disampaikan memiliki makna yang sesuai dengan kapasitas pemahaman pembacanya. Sikap terhadap al-Qur'an seperti inilah yang memungkinkan orang dapat memahaminya, baik yang berlatar belakang Kristen, Pagan atau Yahudi --suatu pengertian yang tidak bisa diterima kalangan ortodoks. Oleh sebab itu, al-Qur'an pada dasarnya adalah dokumen yang memiliki kandungan psikologis.
Surat al-Ikhlash adalah contoh terbaik tentang kapasitas sintesis kitab ini:
Katakanlah, hai Rasul, kepada orang-orang itu,
"Allah itu Esa! Allah Mahakekal!
Tidak beranak dan tak diperanakkan,
dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya."

Sunday, June 3, 2018

MAHKOTA SUFI: Kitab Tentang Para Darwis

Oleh: Idries Shah

Jika kau tidak mengerti hal-hal ini,
tinggalkanlah, jangan bergabung dengan
orang kafir dalam kepalsuan-kebodohan
... tetapi semua orang tidak memahami
rahasia-rahasia Jalan tersebut.
(Syabistari, Secret Garden, terjemahan Johnson Pasha)

Jika memang ada buku-teks darwis standar, maka pastilah buku tersebut adalah "Hadiah-hadiah Pengetahuan" --Awarif al-Ma'arif-- yang ditulis pada abad ketiga belas dan telah dikaji oleh anggota-anggota dari semua Tarekat. Penulisnya, Syekh Syahabuddin Suhrawardi (1145-kira-kira 1235) dengan menguasai semua gabungan teori, ritual dan praktik di masanya, mendirikan sekolah-sekolah pengajaran yang dekat dengan istana Persia dan India, dan merupakan Imam dari para Imam Sufi di Baghdad.

Kitab tersebut menarik bagi kita karena ia memaparkan tahapan-tahapan lahir dan awal yang mempunyai daya tarik untuk memahami kumpulan tulisan darwis, mempunyai muatan-muatan pemikiran dan amalan dasar dari para mistikus ini, dan (juga) karena Letnan Kolonel Wilberforce Clarke. Kolonel Clarke sendiri seorang darwis, kemungkinan ia anggota Tarekat Suhrawardiyah. Ia telah menerjemahkan lebih separo dari (kitab) Gifts (Hadiah-hadiah), untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan pada tahun 1891. Dan sebagai penerjemah pertama dari Orchard karya Hafizh, Kisah Iskandar karya Nizhami dan Amalan-amalan karya Hafizh, ia adalah pengikut yang baik dari tradisi para Sufi yang unik seperti Raymond Lully.

MAHKOTA SUFI: Hukum yang Lebih Tinggi

Oleh: Idries Shah 

Ada tiga tanda-tanda kedermawanan sejati: tetap tabah tanpa menolak, memuji tanpa merasa dermawan, dan memberi sebelum diminta (Ma'ruf al-Karkhi).

Salah satu hasil yang paling menarik dari kesusastraan Sufistik Barat adalah puisi panjang the Kasidah, yang ditulis oleh seorang pengembara Sir Richard Burton seratus tahun yang silam. Ia sendiri adalah seorang Sufi dan "kasidah" ini digubah pada perjalanan pulangnya dari Mekkah. "Kidung tentang hukum yang lebih tinggi" yang muncul dalam edisi-edisi kecil itu telah membangkitkan minat yang besar. Bahkan Lady Burton yang tidak terlalu simpatik terhadap keyakinan heteredoks suaminya itu mengakui bahwa dirinya telah membacanya berulangkali dan selalu berlinang air mata karena terhanyut maknanya. "Bahkan jika sekarang aku membacanya, ia akan lebih membuatku kurus. Ia biasa menjauhkannya dariku karena ia begitu mengesankan bagiku." Tentu saja puisi tersebut merupakan gubahan berat dan sarat dengan ajaran Sufi.

Dalam prakata untuk kasidah tersebut, Burton menyebut dirinya sendiri sebagai "penerjemah", dan menisbatkan karya tersebut kepada seseorang yang bernama Haji Abdul Yazdi. Ia merangkumnya sebagai berikut:

MAHKOTA SUFI: Pencari Ilmu

Oleh: Idries Shah

Wahai pengembara, aku khawatir engkau tidak akan sampai ke Mekkah -- sebab jalan yang kau tempuh menuju Turkistan ( Syekh Sa'di, Kebun Mawar, "Perilaku Para Darwis")

Suatu hari aku duduk di halagah seorang guru di India Utara.
Ketika itu seorang prmuda asing di bawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai berbicara. Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Prancis dan Inggeris. Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar. Agama formal tidak menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah mengembara ke Timur, dan telah bolak balik dari Iskandariah ke Kairo, dari Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan. Ia pernah tinggal di Burma dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru spiritual dan keagamaan.

Tentu saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin bergabung    dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis, memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.

MAHKOTA SUFI: Agama Cinta

Oleh: Idries Shah 

Seseorang pergi ke pintu Sang Kekasih dan
mengetuknya.
Sebuah suara bertanya, "Siapa itu?"
Ia menjawab, "Ini, aku."
Suara tersebut berkata, "Tidak ada ruang untuk Aku dan Dirimu."
Pintu itu tertutup.
Setelah setahun menyendiri dan mengembara, ia kembali dan mengetuknya.
Sebuah suara dari dalam bertanya, "Siapa itu?"
Orang itu menjawab, "Ini, Engkau."
Pintu pun terbuka untuknya.
(Jalaluddin Rumi) 

Sufisme sering disebut "agama cinta". Tanpa melihat penampilan lahiriah madzhab-madzhab mereka, para Sufi telah menjadikan tema ini sebagai persoalan esensial. Analogi cinta manusia sebagai refleksi dari kebenaran sejati, begitu sering dinyatakan dalam puisi Sufi dan seringkali ditafsirkan secara harfiah oleh orang-orang non-Sufi. Ketika Rumi mengatakan, "Di mana pun engkau berada, apa pun kondisimu, berusahalah menjadi pecinta," ia tidak berbicara cinta sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri, juga tidak berbicara cinta manusia sebagai kemungkinan terakhir dari potensi manusia.

Saturday, June 2, 2018

SUFI - HUBUNGAN CINTA DENGAN TUHAN

Setiap kali sebuah agama hidup itu karena Sufi. Sufi berarti hubungan cinta dengan Tuhan, dengan Yang Pokok, hubungan cinta dengan keseluruhan. Menjadi Sufi berarti bahwa seseorang siap untuk larut ke dalam keseluruhan, orang itu siap untuk mengundang keseluruhan untuk datang ke dalam hatinya. Di dalam Sufi tidak ada formalitas. Sufi tidak dibatasi oleh dogma, doktrin, keyakinan. Kristus adalah seorang sufi, begitu juga Muhammad. Krishna adalah seorang sufi, begitu juga Buddha. Ini adalah hal pertama yang aku ingin engkau mengerti: bahwa Sufi adalah inti terdalam -sebagaimana Zen ada, sebegitu pula Hadis ada. Hanya nama yang berbeda dari hubungan pokok yang sama dengan Tuhan.

Hubungan dengan Tuhan berbahaya. Hal ini berbahaya karena semakin engkau mendekat dengan Tuhan, semakin lebih dan lebih engkau menghilang. Dan ketika engkau benar-benar dekat engkau benar-benar tiada. Hal ini berbahaya seperti bunuh diri ... tapi bunuh diri yang indah. Kematian dalam Tuhan adalah satu-satunya cara untuk benar-benar hidup.Sebelum engkau mati, sebelum engkau mati secara sukarela menjadi cinta, engkau hidup di kehidupan yang biasa-biasa saja; engkau hambar, engkau tidak memiliki arti apapun. Tidak ada puisi timbul di dalam hatimu, tiada tarian, tidak ada perayaan; engkau hanya meraba-raba dalam kegelapan. Engkau hidup di kehidupan minimal, engkau tidak penuh dengan ekstase.

WOL SEBAGI SIMBOL DARI SUFI

Salah satu Sufi Master, Abul Hasam, mengatakan, ‘Sufisme pernah menjadi kenyataan tanpa nama dan sekarang Sufisme adalah nama tanpa kenyataan.’ Selama berabad-abad Sufisme ada tanpa nama. Sufisme hadir sebagai realitas. Itulah mengapa aku katakan Yesus adalah seorang sufi, begitu juga Muhammad. begitu juga Mahavir dan begitu juga Krishna. Siapapun yang telah menyadari Tuhan adalah seorang Sufi. Mengapa aku katakan demikian? Cobalah untuk memahami kata ‘Sufi’ dan hal itu akan menjadi jelas untukmu.

Kata ‘Sufi’ adalah temuan baru, temuan dari Orang Jerman, dari sarjana Jerman. Tidak lebih dari seribu lima puluh tahun yang lalu. Dalam bahasa Arab kata itu disebut tasawwuf. Tapi keduanya berasal dari akar ‘suf’ yang berarti wol.

Mungkin terlihat aneh. Mengapa wol harus menjadi simbol dari Sufisme? Sarjana itu mengatakan bahwa itu adalah karena Kaum sufi selalu memakai jubah wol. Itu benar. Tapi kenapa? Tidak ada yang dapat menjawabnya. Kenapa mereka harus mengenakan jubah wol?

Ada simbolisme yang mendalam di dalamnya. Simbolisme berarti bahwa wol adalah pakaian hewan dan seorang sufi harus menjadi murni seperti hewan. Seorang Sufi harus mencapai kemurnian primal. Dia harus meninggalkan semua jenis peradaban, dia harus meningglkan semua jenis budaya, dia harus meninggalkan semua pengkondisian, dia harus menjadi hewan lagi. Itulah mengapa simbol itu menjadi sangat signifikan.

CAHAYA FAJAR - CAHAYA TANPA SUMBER : CAHAYA BATIN

Deva berarti ilahi, dan aruna berarti pagi dini, fajar ... matahari baru akan terbit tepat sebelum matahari terbit. Ufuk timur menjadi merah tapi matahari belum berada di cakrawala - matahari akan datang; ia sangat dekat, hanya dalam hitungan detik akan muncul tapi belum tiba. Itulah momen paling berharga dalam dua puluh empat jam. Malam sudah tidak ada lagi, sudah berlalu, dan matahari belum terbit.

Antara keduanya ada kualitas cahaya yang berbeda di semesta. Kegelapan tidak ada, dan karena matahari tidak ada disana cahaya tidak berasal dari matahari; Itu adalah cahaya yang sangat menyebar, cahaya yang sangat dingin. Bersama matahari hal-hal akan menjadi panas; Lebih banyak energi, lebih banyak panas akan ada di sana.

Jadi cahaya sejuk ini sangat simbolik dari pengalaman akan cahaya batin. Cepat atau lambat engkau akan mengerti arti namamu. itu adalah cahaya tanpa panas di dalamnya, tidak bisa terbakar. Itu hanya bisa mencerahkan; tidak bisa terbakar. Hal ini hampir seperti cahaya bulan tapi masih dengan sebuah perbedaan: cahaya bulan adalah cahaya yang dipantulkan; cahaya itu tidak asli.

PYTHAGORAS

Pythagoras mewakili ziarah abadi menuju philosophia perennis - filsafat kehidupan abadi. Dia adalah pencari kebenaran yang sangat istimewa. Dia mempertaruhkan semua yang dia punya untuk pencarian. Dia melakukan perjalanan jauh dan pergi ke seluruh dunia, hampir seluruh dunia yang dikenal pada masa itu, untuk mencari Master, sekolah misteri, rahasia tersembunyi. Dari Yunani dia pergi ke Mesir-untuk mencari Atlantis yang hilang dan rahasianya ....

Adalah usaha yang hebat pada masa itu, untuk melakukan perjalanan dari Yunani ke China. Perjalanan itu penuh dengan bahaya. Perjalanan itu berbahaya; tidak mudah seperti sekarang ....

Pada saat Pythagoras kembali, dia sudah sangat tua. Tapi para pencari berkumpul di sekelilingnya; Sebuah sekolah besar lahir. Dan, seperti yang selalu terjadi, masyarakat mulai menganiaya dia dan sekolah serta murid-muridnya. Seluruh hidupnya dia mencari filosofi abadi, dan dia telah menemukannya! Dia mengumpulkan semua pecahan itu ke dalam harmoni yang luar biasa, menjadi satu kesatuan yang besar.

PYTHAGORAS : KOSMOS, SAINS dan AGAMA

Pythagoras juga memperkenalkan kata 'Kosmos'.

'Kosmos' berarti keteraturan, ritme, harmoni. Semesta bukanlah kekacauan(chaos) tapi kosmos. Pythagoras telah banyak memberikan kontribusi pada pemikiran manusia, terhadap evolusi manusia. Visinya tentang kosmos menjadi dasar penelitian ilmiah.

Ilmu pengetahuan bisa eksis hanya jika semesta adalah kosmos. Jika semesta adalah kekacauan, tidak ada kemungkinan sains apa pun. Jika hukum berubah setiap hari, setiap saat - suatu hari air menguap pada seratus derajat, satu hari lagi di lima ratus derajat - jika air berfungsi dengan cara yang aneh dan tidak mengikuti keteraturan, bagaimana bisa ada sains?

Ilmu pengetahuan mensyaratkan bahwa semesta berfungsi secara konsisten, dengan cara yang rasional, bahwa semesta itu tidak gila, bahwa jika kita mencari jauh ke dalam semesta, kita pasti akan menemukan hukum - dan hukum tersebut adalah kunci dari semua misteri.

Sama seperti ilmu pengetahuan, berlaku juga bagi agama - karena agama tidak lain adalah ilmu batin. Ilmu luar disebut sains; Ilmu batin disebut agama - tapi keduanya hanya ada dalam kosmos.

LAO TZU

Aku berbicara tentang Lao Tzu secara berbeda. Aku tidak berhubungan dengannya karena tuk berhubungan jarak pun sangat dibutuhkan. Aku tidak mencintainya, karena bagaimana engkau bisa mencintai dirimu sendiri? Ketika aku berbicara tentang Lao Tzu, aku berbicara seolah-olah aku berbicara dengan diriku sendiri. Dengan dia, keberadaanku benar-benar satu. Ketika aku berbicara tentang Lao Tzu, seolah-olah aku melihat ke cermin - wajahku tercermin. Ketika aku berbicara tentang Lao Tzu, aku benar-benar bersamanya. Bahkan untuk mengatakan "benar-benar bersamanya" tidak benar - aku adalah dia, dia adalah aku.

Sejarawan ragu tentang keberadaannya. Aku tidak bisa meragukan keberadaannya karena bagaimana aku bisa meragukan keberadaanku sendiri? Begitu aku menjadi suatu kemungkinan, dia menjadi kenyataan bagiku. Bahkan jika sejarah membuktikan bahwa dia tidak pernah ada, tidak ada pengaruhnya buatku; Dia pasti ada karena aku ada - akulah buktinya. Pada hari-hari berikut, saat aku berbicara tentang Lao Tzu, bukannya aku berbicara tentang orang lain.

ZEN

Penanya:
Aku tidak bisa mengerti filosofi Zen. Apa yang harus aku lakukan untuk memahaminya?

Jawaban OSHO:
Zen sama sekali bukan filosofi. Untuk memahami Zen seolah-olah itu adalah filsafat adalah memulai dengan cara yang salah sejak awal. Filosofi adalah sesuatu dari pikiran; Zen benar-benar berada di luar jangkauan pikiran. Zen adalah proses berjalan melampaui pikiran, jauh dari pikiran; zen adalah proses transendensi, melampaui pikiran. Engkau tidak dapat memahami zen dengan pikiran, pikiran tidak memiliki kegunaan di dalam zen.

Zen adalah keadaan tanpa pikiran, itu sesuatu yang harus diingat. Zen bukan Vedanta. Vedanta adalah filsafat; engkau bisa memahaminya dengan baik. Zen bahkan bukan Buddhisme; Buddhisme juga merupakan filsafat.

PUSAR - PUSAT KEHIDUPAN

Pertanyaan:
Seorang teman bertanya bagaimana seseorang seharusnya menemukan pusat batin yang dsebutkan oleh Lao Tzu dan mengembangkan rasa lapar untuk itu.

Jawaban OSHO:
Duduklah dengan mata terpejam dan berpikirlah, "Di manakah pusat tubuhku?" Kita hidup melalui tubuh kita, namun itu adalah fakta yang disayangkan bahwa kita tidak memikirkan pusat tubuh kita. Kita benar-benar tidak peduli dengan inti tempat fungsi tubuh. Banyak orang percaya bahwa kepala menjadi pusat semua fungsi tubuh karena di otaklah semua aktivitas tampaknya berlangsung.

Faktanya adalah, bagaimanapun juga, bahwa otak terbentuk belakangan. Saat anak ada dalam kandungan, tidak ada fungsi otak dan kehidupan. Tapi yang terbentuk belakangan, tidak bisa menjadi pusat. Orang yang emosional, seperti kebanyakan wanita, seniman, penyair, merasakan pusat melalui jantung karena apa pun yang diketahui dan dialami orang-orang ini - cinta, keindahan dan sejenisnya - adalah hal-hal yang berdampak langsung pada jantung mereka. Itulah sebabnya, ketika orang berbicara tentang cinta, tangan mereka secara tidak sengaja meraba jantung mereka. Jadi orang yang emosional mengambil jantung menjadi pusat tubuh.