Friday, June 22, 2018

Tuhan, Mekanika Kuantum, dan Jiwa Manusia

Oleh: Archer Clear 

Erwin Schrödinger, salah satu pendiri mekanika kuantum, pernah berkata:

“Saya hanya akan secara singkat menyebut di sini tentang ateisme yang terkenal dalam sains. Para teis terus-menerus menegurnya. Tanpa keadilan. Tuhan personal tidak dapat ditemukan dalam gambaran dunia yang hanya dapat diakses dengan mengorbankan segala sesuatu yang bersifat personal. Kita tahu bahwa setiap kali Tuhan dialami, itu adalah pengalaman yang nyata seperti kesan indra langsung, seperti nyata-nya kepribadian kita sendiri. Sebagai pengalaman, Tuhan memang tidak dapat ditemukan dalam gambaran ruang-waktu.”

Dan di lain kesempatan, ia menambahkan:

“Saya tidak menyukainya, dan saya menyesal pernah terlibat dengannya. Saya tidak bertemu Tuhan dalam ruang dan waktu. Tuhan adalah Spirit.”

Dua pernyataan tersebut, bagi saya, adalah penegasan yang kuat bahwa apa yang sering disebut sebagai Tuhan personal oleh umat manusia, terutama sebagaimana digambarkan dalam sistem kepercayaan agama-agama besar, sebenarnya merupakan konstruksi mental. Tuhan personal dan "Tuhan sebagai Spirit" adalah dua entitas yang secara prinsip sangat berbeda. Sains tidak berbicara tentang sosok ilahi yang antropomorfik, melainkan tentang Spirit dalam arti yang lebih fundamental dan tak terdefinisikan oleh kategori manusia.

Bagi ilmuwan yang berpikir terbuka, jawaban paling jujur terhadap pertanyaan tentang Tuhan personal adalah: "Saya tidak tahu." Sebab, bayangan tentang Tuhan sering kali hanyalah refleksi psikologis dari kebutuhan eksistensial manusia itu sendiri.

Sepanjang sejarah, rasa penasaran manusia terhadap realitas adalah gema dari sesuatu yang lebih dalam: dorongan dari nature itu sendiri untuk dikenali. Alam semesta berkomunikasi dengan kesadaran manusia melalui ketakjuban dan pertanyaan. Kita tidak dibiarkan terlena dalam kepastian, karena dalam bertanya, kita dipaksa untuk menembus lapisan-lapisan realitas baru yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.

Sebelum munculnya mekanika kuantum, dunia sains didominasi oleh keanggunan hukum-hukum klasik Newton. Mulai dari pergerakan planet, hingga jatuhnya apel dari pohon—semuanya dijelaskan secara deterministik. Ilmuwan-ilmuwan besar seperti Copernicus, Galileo, Kepler, Newton, hingga Einstein, berbicara dalam bahasa benda-benda besar dan fenomena yang kasat mata.

Namun kemudian datang seorang muda bernama Niels Bohr yang membawa angin baru: dunia sub-atomik yang aneh dan tidak menentu. Mekanika kuantum lahir, namun ia tidak diterima begitu saja, bahkan ditolak secara filosofis oleh Einstein yang merasa bahwa alam semesta "tidak bermain dadu."

Kenyataannya, dunia kuantum tidak tunduk pada logika biasa. Ia penuh dengan paradoks, ketidakpastian, dan realitas ganda. Apa yang berlaku dalam dunia makro menjadi tak relevan dalam dunia partikel. Prinsip ketidakpastian Heisenberg menegaskan bahwa pada tingkat paling mendasar, realitas itu cair, tak menentu, dan bahkan—menakutkan dalam ketelanjangannya.

Di manakah posisi Tuhan dalam lanskap realitas kuantum ini? Tak seorang pun tahu dengan pasti.

Karena jika God is a Spirit, maka Tuhan tidak bisa dipetakan melalui perangkat agama yang menggambarkan-Nya secara personal dan atributif. Tuhan dalam sains bukan sosok dengan seribu sifat yang saling menegasikan, melainkan spirit itu sendiri—sebuah kehadiran yang tak bisa dipahami dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dalam proses pencarian makna yang jujur dan konsisten.

Berbicara tentang spirit, sebenarnya kita sedang membicarakan tentang kemanusiaan itu sendiri. Kita adalah spirit—you and me are the spirit itself. Kita hadir bukan untuk menerima dogma, tapi untuk terus mencari jawaban yang dapat diuji, disangkal, dan diperbaiki. Semangat ilmiah sejati justru selaras dengan pencarian spiritual, sejauh keduanya berangkat dari kejujuran intelektual.

Fisikawan peraih Nobel, Steven Weinberg, dalam sebuah wawancara dengan NOVA, mengakui bahwa mempelajari mekanika kuantum akan mengubah cara seseorang melihat dunia. Apa yang dulu tampak biasa—seperti pohon di halaman—akan terlihat berbeda jika dilihat dalam perspektif atomis. Realitas menjadi jaring-jaring partikel dan probabilitas, bukan sekadar objek solid yang diam dan tetap.

Ini bukan hanya perubahan dalam pengetahuan, tapi juga transformasi dalam kesadaran.

Schrödinger pernah berkata:

“The present is the only thing that has no end.”

Apa itu present, “saat ini”? Bagi Schrödinger, present adalah satu-satunya kenyataan yang abadi. Kita—diri-diri individual—akan pergi. Tapi kehadiran, now, tidak pernah lenyap. Ia adalah gerbang menuju Spirit itu sendiri. Di sinilah Tuhan, jika ada, mungkin bersemayam—bukan dalam bentuk, bukan dalam ruang-waktu, tapi dalam kesadaran akan realitas itu sendiri.

No comments:

Post a Comment