Monday, June 18, 2018

Ilmu Pengetahuan adalah Jembatan Masa Depan

By : Archer Clear

“The saddest aspect of life right now is that science gathers knowledge faster than society gathers wisdom.” ― Isaac Asimov.

Masalah utama dalam sebuah bangsa bukanlah anak-anak yang tidak mengerti sains. Masalahnya adalah orang dewasa yang tidak mengerti sains. Dan jumlah orang dewasa berbanding 5 : 1 dengan jumlah anak-anak, dan parahnya mereka memegang kekuasaan, mereka menulis undang-undang dan mereka secara bebas berbicara dalam bahasa ketidakmengertian atas sains itu sendiri.

Bila negara memiliki orang dewasa buta huruf dan buta ilmu pengetahuan maka Anda akan melihat tatanan yang melandasi dan membuat suatu bangsa kaya, cerdas, dan kuat, telah rusak pada landasan yang paling mendasar. Demikianlah ungkapan inspiratif dari Neil deGrase Tyson, tentang sebuah bangsa yang sama sekali tidak menyadari bahwa kekuatan terbesar–pondasi bangunan suatu bangsa–adalah menguasai sains dan memperkuat demokrasi berdasarkan humanisme.

Tinggalkan kawan-kawan imajiner Anda sendirian, dan lihatlah betapa negara-negara seperti Korsel, China sedang gandrung-gandrungnya dengan ilmu pengetahuan, generasi mereka dipersiapkan untuk menjawab tantangan masa depan, bukan masa lalu.

Indonesia sebagai bangsa masih sibuk menampilkan “kekosongan”, saya biasa menulisnya dengan “Kebulshittan” yang terlalu lama. Kita sibuk memperdebatkan sesuatu yang tidak bisa diuji karena memang tidak ada bukti sama sekali, semua yang kita perdebatkan hanya berkutat pada wilayah imajiner (Blind spoot) kita masing-masing dan parahnya kita merasa bahwa kita adalah bangsa yang besar dengan sumber daya alam yang besar, inilah mimpi kolektif bangsa kita. Menjadi negara besar di atas mimpi-mimpi, menjadi negara besar diatas ilusi yang memang didesain secara sadar oleh konstitusi kita.

Saya melihat masa depan dengan optimisme, jika bangsa ini berani melepaskan mitos yang bersarang dalam kesadaran kolektif kita dan bangun dari tidur panjang atas sejarah masa lalu yang membutakan. Kita hidup di zaman di mana informasi telah terbuka dengan luas, dan semua itu hadir karena sains sampai saat ini membuktikan bahwa sebagai spesies yang datang dari proses evolusi yang panjang, kita bisa mencapai atau memperluas potensi-potensi kemanusiaan kita, dari menggunakan batu sebagai alat untuk survive hingga menggunakan teknologi sekelas internet telah menjadi bukti bahwa manusia sedang/terus melewati tahap pertumbuhan yang semakin luas.

Jika dulu nenek moyang kita hanya sanggup memandang bintang dari kejauhan, sekarang dengan teknologi yang dihadirkan oleh sains, kita bisa melihat dari dekat bagaimana wajah dan sistem tata surya yang bekerja di dalamnya dan itu bisa kita pahami karena para ilmuwan bersahaja mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan dan peradabannya.

Kita adalah generasi yang beruntung yang sedang hidup di zaman di mana ilmu pengetahuan manusia terus bertumbuh, mulai dari era Copernicus yang membuktikan bahwa bumi bukanlah pusat dari tata surya, hingga era relativitas Einstein yang memberikan kita dunia yang semakin berwarna, hingga dunia quantum yang semakin memperluas pengertian kita bahwa alam semesta ini hadir dengan sendirinya tanpa ada tangan-tangan ajaib yang selama ini banyak kita pertentangkan.

Ini artinya, pengertian manusia atas realitasnya semakin bergerak ke arah virtual, jauh melampaui apa yang pernah dibayangkan oleh nenek moyang kita yang hidup di zaman yang terbatas.

Dunia semakin terbuka, di mana ruang interaksi manusia telah mengalami lompatan yang luar biasa, dan lagi-lagi semua itu adalah hasil kerja-kerja dari kumpulan manusia yang berpikir terbuka, bersahaja, dan manusia-manusia yang anti terhadap pemujaan atas dirinya. Saya menyebutnya manusia-manusia berkelas “BOSON” di mana dengan kemampuan intelektualnya sanggup memberikan vitalitas sekaligus energi demi peradaban manusia. Mereka bisa hadir di mana saja, di wilayah mana saja diatas planet bumi ini–tak terkecuali semestinya dari Indonesia, karena alam semesta bukan hanya bermain dadu, tapi melempar dadu dengan cara yang sulit diprediksi, prinsip ini ditawarkan oleh seorang ilmuan muda Jerman yang brillian Werner Heisenberg, prinsipnya dikenal dengan Uncertain Principle.

Jika mengacu pada prinsip ketidakpastian (uncertain principle), setiap bangsa punya kesempatan yang sama untuk menjadi bangsa yang berkualitas, dan syarat untuk menjadi bangsa yang berkualitas adalah dengan mendidik generasinya bagaimana berpikir terbuka, berimajinasi dengan cara yang paling gila, karena hanya orang-orang gila yang sanggup menghadirkan dunia dan realitas baru, orang-orang gila dalam peradaban manusia begitu banyak dan dari mereka kita menikmati dunia yang benar-benar baru.

Salah satu orang gila yang telah mengubah dunia kita adalah Steve Jobs, Albert Einstein, Newton, dan mungkin sebentar lagi sejarah akan menulis bahwa bukan hanya orang yang dianggap gila, tapi orang yang cacat seperti Stephen Hawking akan diingat sebagai manusia yang punya kualitas pikiran di atas rata-rata manusia normal. Lalu kita akan bertanya, what is the point menjadi manusia normal? dan jawaban yang paling sederhana yang bisa diajukan atas pertanyaan itu adalah there is no such a thing as the point.

Seperti halnya tidak ada yang namanya tujuan dalam alam semesta ini karena tujuan itu adalah hasil dari kreasi sadar dari manusia itu sendiri, tapi sebagai bangsa kita ingin menjadi sadar sekaligus menghadirkan tujuan di mana kesempatan, kesetaraan, kemakmuran, kesejahteraan dan persaudaraan sejati adalah imajinasi tertinggi yang mana pikiran manusianya hidup di atas wonder, questioning, dan research.

“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is to not stop questioning.” ― Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory

Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment