“Aspek paling menyedihkan dari kehidupan saat ini adalah bahwa ilmu pengetahuan mengumpulkan pengetahuan lebih cepat daripada masyarakat mengumpulkan kebijaksanaan.”
— Isaac Asimov
Masalah mendasar dalam kehidupan berbangsa bukanlah minimnya anak-anak yang memahami sains. Masalah utamanya terletak pada orang dewasa yang buta terhadap ilmu pengetahuan—dan ironisnya, merekalah yang memegang tampuk kekuasaan: menyusun undang-undang, membuat kebijakan publik, serta memengaruhi opini masyarakat. Proporsinya mencolok—orang dewasa lima kali lebih banyak daripada anak-anak, dan sebagian besar dari mereka hidup dengan keyakinan yang tidak didasarkan pada pengetahuan, melainkan pada asumsi dan dogma.
Sebagaimana pernah ditegaskan oleh astrofisikawan Neil deGrasse Tyson, bangsa yang membiarkan warga dewasanya hidup tanpa literasi sains sedang menghancurkan fondasi peradabannya sendiri. Ketika kebijakan negara dibangun di atas ketidaktahuan ilmiah, maka keberlangsungan demokrasi dan daya saing nasional menjadi rapuh. Bangsa yang kuat tak hanya dibentuk oleh sumber daya alam, tetapi juga oleh penguasaan atas ilmu pengetahuan serta penghormatan terhadap nilai-nilai humanisme.Kita tengah menyaksikan bagaimana negara-negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok menggeser orientasi pendidikan dan peradaban mereka ke arah saintifik. Mereka menanamkan pada generasi mudanya kecintaan pada riset, teknologi, dan inovasi. Mereka mempersiapkan masa depan—sementara kita di Indonesia masih berkutat pada perdebatan imajiner yang tak berbasis bukti. Kita terlalu lama berkubang dalam apa yang saya sebut “kebulshittan kolektif”: debat tanpa ujung atas hal-hal yang tak bisa diuji, yang justru dipertahankan dengan fanatisme.
Kita percaya bahwa kita adalah bangsa besar hanya karena dikaruniai kekayaan alam. Padahal, jika kita tidak mengubah cara berpikir dan memperbaiki kerangka kesadaran kita, maka kita tak lebih dari bangsa pemimpi yang hidup dalam ilusi yang dilegalkan oleh sistem politik, sosial, bahkan konstitusi kita sendiri.
Namun, saya tetap memandang masa depan dengan optimisme. Potensi kita sangat besar—asal kita bersedia bangun dari tidur sejarah dan membebaskan diri dari mitos-mitos yang membelenggu kesadaran kolektif kita. Kita hidup di era informasi, era di mana pengetahuan terbuka selebar-lebarnya dan sains telah menunjukkan betapa jauhnya manusia telah berkembang—dari alat batu hingga kecerdasan buatan, dari menatap langit dengan mata telanjang hingga menembus kedalaman semesta lewat teleskop dan instrumen kuantum.
Dahulu, nenek moyang kita hanya bisa mengagumi bintang dari kejauhan. Kini, kita mampu memetakan eksoplanet, memahami struktur galaksi, dan menganalisis fenomena kuantum yang tak terbayangkan. Semua itu terwujud berkat dedikasi para ilmuwan yang mendedikasikan hidupnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar demi kemajuan umat manusia.Kita adalah generasi yang sangat beruntung. Kita hidup dalam masa di mana pengetahuan berkembang pesat—dari revolusi Copernicus yang menggulingkan egosentrisme bumi, ke relativitas Einstein yang merevolusi waktu dan ruang, hingga mekanika kuantum yang menantang intuisi kita tentang realitas. Ilmu pengetahuan kini mengarahkan pemahaman kita pada kenyataan yang bersifat virtual, melampaui semua asumsi nenek moyang kita.
Di dunia yang makin terbuka dan terhubung, kerja sama global dalam bidang riset dan inovasi menunjukkan bahwa batas-batas geografis dan budaya bukan lagi penghalang utama kemajuan. Para pemikir besar hadir dari mana saja, dengan satu ciri utama: kerendahan hati dalam berpikir dan keberanian mempertanyakan segala hal. Saya menyebut mereka sebagai "manusia BOSON"—mereka yang memberi energi, vitalitas, dan pencerahan bagi peradaban, sebagaimana partikel Higgs boson memberi massa pada semesta.
Seperti prinsip ketidakpastian Heisenberg, masa depan tidak bisa diprediksi secara pasti. Namun, satu hal yang jelas: setiap bangsa punya peluang yang sama untuk menjadi unggul—asal mereka mendidik warganya untuk berpikir kritis, terbuka, dan berani membayangkan hal-hal yang belum pernah ada.
Karena hanya mereka yang berani membayangkan yang tak masuk akal—yang kita sebut "gila"—yang sanggup menciptakan dunia baru. Lihatlah tokoh-tokoh seperti Newton, Einstein, Steve Jobs, hingga Stephen Hawking—yang bahkan dalam keterbatasan fisik, memiliki kejernihan pemikiran jauh melampaui manusia pada umumnya. Maka, pertanyaannya bukanlah bagaimana menjadi manusia normal, melainkan: apa gunanya menjadi manusia biasa dalam dunia yang luar biasa?
Pada akhirnya, alam semesta tidak memiliki tujuan yang melekat. Tujuan adalah hasil konstruksi sadar manusia. Tapi sebagai bangsa, kita bisa memilih untuk sadar, dan dari kesadaran itulah kita merancang tujuan: kesetaraan, kemakmuran, pengetahuan, dan solidaritas global. Imajinasi tertinggi manusia adalah menciptakan dunia di mana setiap pikiran tumbuh dalam rasa ingin tahu, ketakjuban, dan keberanian untuk mempertanyakan segalanya.“Belajarlah dari kemarin, hiduplah untuk hari ini, dan berharaplah untuk esok. Hal terpenting adalah jangan pernah berhenti bertanya.”
— Albert Einstein
No comments:
Post a Comment