Tuesday, June 19, 2018

Sains dan Agama


Oleh: Werner Heisenberg
Diterjemahkan oleh Tim TACU

Werner Heisenberg (1901-1976) lahir di Würzberg, Jerman, dan menerima gelar doktor dalam fisika teoritis dari University of Munich. Ia menjadi terkenal karena terobosannya, yakni Prinsip Ketidakpastian dan penerima Penghargaan Nobel dalam Fisika di tahun 1932. Setelah Perang Dunia II, ia diangkat sebagai direktur Max Planck Institute untuk Fisika dan Astrofisika.
-------------------
Suatu malam selama Konferensi Solvay, beberapa anggota muda tetap tinggal di lounge hotel. Yang termasuk kelompok ini ialah Wolfgang Pauli dan saya sendiri, dan tak lama kemudian bergabung Paul Dirac. Salah satu dari kami berkata: “Einstein terus berbicara tentang Tuhan, apa yang bisa kita perbuat dengan itu? Hal ini sangat sulit untuk membayangkan bahwa seorang ilmuwan seperti Einstein harus memiliki ikatan yang kuat, seperti dengan tradisi keagamaan”.

“Tidak begitu banyak bagi Einstein dibandingkan Max Planck,” keberatan seseorang. “Dari beberapa ucapan Planck akan terlihat bahwa ia tidak melihat adanya kontradiksi antara agama dan sains, memang bahwa ia percaya keduanya sangat kompatibel.”

Saya ditanya tentang apa yang saya tahu mengenai pandangan Planck atas subjek tersebut, dan apa yang saya pikirkan tentang itu bahwa saya berbicara kepada Planck hanya pada beberapa kesempatan, terutama tentang fisika dan bukan tentang pertanyaan umum, tapi saya berkenalan dengan beberapa teman dekat Planck, yang mengatakan kepada saya banyak tentang sikapnya.

“Saya berasumsi,” jawab saya, “bahwa Planck menganggap agama dan sains kompatibel karena dalam pandangannya, keduanya mengacu pada aspek yang sangat berbeda dari realitas yang dihadapi. Sains berhadapan dengan objektifitas dan dunia material. Hal ini tentu saja mengajak kita untuk membuat pernyataan yang akurat tentang realitas objektif dan memahami interkoneksi. Agama, di sisi lain, berkaitan dengan dunia nilai. Ia memerintahkan apa yang seharusnya atau apa yang harus kita lakukan (What ought to be or what to do), bukan mengenai apakah sesuatu itu (what is). Dalam sains kita memperhatikan betul dalam menemukan apa yang benar atau salah, sedangkan dalam agama bahasanya berubah menjadi apa yang baik, dan apa yang jahat, mulia atau biasa saja. Sains adalah dasar dari teknologi, agama dasar etika. Singkatnya, konflik antara keduanya, yang telah berkecamuk sejak abad kedelapan belas, tampaknya didirikan pada landasan kesalahpahaman, atau lebih tepatnya, pada kebingungan gambar dan perumpamaan agama dengan pernyataan ilmiah. Sangat disayangkan, hasilnya tidak masuk akal sama sekali. Pandangan ini, yang saya kenal dengan baik dari orang tua saya, menghormati adanya dua alam dengan aspek obyektif dan subyektif dari dunia masing-masing. Sains adalah sikap di mana kita berkonfrontasi, berargumen, tentang sisi objektif realitas. Sedangkan Iman dalam keberagamaan adalah ekspresi keputusan subjektif yang membantu kita memilih standar yang mana kita dianjurkan untuk bertindak dan hidup. Memang, kita umumnya membuat keputusan sesuai dengan sikap dari kelompok yang kita miliki, baik itu keluarga, bangsa, atau budaya. keputusan kita sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan lingkungan, tetapi pada akhirnya keputusan itu bersifat subjektif dan karenanya tidak diatur oleh kriteria benar atau salah. Max Planck, bila Saya memahaminya dengan benar, telah menggunakan kebebasan ini dan hadir tepat di sisi tradisi Kristen, baik pikiran dan tindakannya, terutama karena kerangka tradisi ini telah mempengaruhi hubungan pribadinya secara sesuai, dan tak seorang pun akan menghormatinya kurang daripada itu. Oleh karena itu, dua alam—yang objektif dan subjektif dari dunia—meskipun terpisah, tapi saya harus mengakui bahwa saya sendiri tidak merasa sama sekali senang dengan pemisahan ini. Saya ragu apakah masyarakat manusia dapat hidup dengan begitu tajam perbedaan antara sains dan iman.”

Wolfgang berbagi keprihatinan saya. “Ini semua pasti berakhir dengan air mata,” katanya. “Pada masa awal agama, semua pengetahuan tentang komunitas tertentu musti disesuaikan ke dalam kerangka spiritual, sebagian besar didasarkan pada nilai-nilai dan ide-ide keagamaan. Kerangka spiritual itu sendiri harus berada dalam jangkauan dari anggota masyarakat yang paling sederhana. Bahkan, aneka perumpamaan dan gambar disampaikan tidak lebih dari tanda-tanda samar untuk nilai-nilai yang mendasari ide-ide mereka. Tetapi jika seseorang ingin hidup dengan nilai-nilai itu, maka ia harus diyakinkan bahwa kerangka spiritual telah mencakup seluruh kebijaksanaan yang ada di masyarakatnya. Untuknya, “kepercayaan” bukanlah sesuatu yang datang dari sononya (taking for granted), melainkan nilai-nilai yang sudah diterima oleh masyarakat dan harus ia yakini sebagai petunjuk. Itulah sebabnya masyarakat berada dalam keadaan bahaya setiap kali pengetahuan baru datang mengancam untuk meledakkan bentuk-bentuk spiritual lama. Pemisahan antara sains dan iman bisa menjadi tolak ukur tertentu yang menggugah kesadaran kita. Dalam budaya Barat, misalnya, kita mungkin mencapai titik dalam waktu yang tidak terlalu jauh di mana perumpamaan dan gambar dari agama-agama lama akan kehilangan kekuatan persuasif mereka. Bahkan, untuk orang awam. Ketika itu terjadi, saya takut bahwa semua etika lama akan runtuh seperti rumah kartu dan bahwa kengerian yang tak terbayangkan akan dilakukan. Singkatnya, saya tidak bisa benar-benar mendukung filosofi Planck. Bahkan, jika hal itu logis dan terbukti valid, meskipun saya menghormati sikap manusia yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Saya lebih sepakat konsepsi Einstein. Tuhannya, entah bagaimana sangat terlibat dalam hukum alam yang tak berubah. Einstein memiliki perasaan tentang pusat tatanan akan segala hal. Ia dapat mendeteksi kesederhanaan hukum alam. Kita mungkin menganggap bahwa ia merasa kesederhanaan ini sangat kuat dan selama penemuan teori relativitas berlangsung. Memang, ini adalah jauh dari muatan agama. Saya tidak percaya Einstein terikat pada tradisi keagamaan dan saya pikir gagasan tentang jati diri Tuhan personal sepenuhnya asing baginya. Tapi sejauh ia (Einstein) tidak mengkhawatirkan adanya perpecahan antara sains dan agama; Pusat tatanan merupakan bagian dari subjektif serta ranah objektif, dan hal ini memberikan saya titik awal yang lebih baik.”

“Sebuah titik awal untuk apa?” tanyaku. “Jika Anda menganggap sikap manusia terhadap tatanan pusat semata-mata urusan pribadi, maka Anda boleh setuju dengan pandangan Einstein, tapi kemudian Anda juga harus mengakui bahwa tidak ada sama sekali yang mengikuti pandangan ini.”

“Mungkin tidak,” jawab Wolfgang. “Perkembangan ilmu pengetahuan selama dua abad terakhir telah pasti mengubah pikiran manusia. Bahkan, di luar Kristen Barat. Oleh karena itu, penting sedikit apa yang fisikawan pikir, dan itu justru ide tentang dunia objektif yang berjalan dalam ruang dan waktu sesuai dengan hukum kausal yang ketat yang menghasilkan bentrokan tajam antara sains dan formulasi spiritual dari berbagai agama. Jika sains melampaui pandangan ketat itu—dan memang benar telah terjadi dengan adanya teori relativitas dan kemungkinan untuk pergi lebih jauh lagi dengan adanya teori kuantum—maka hubungan antara sains dan muatan agama yang terus diekspresikan, suatu waktu harus berubah sekali lagi. Mungkin sains, dengan mengungkapkan adanya hubungan baru selama tiga puluh tahun terakhir, telah memberikan kita pikiran yang jauh lebih mendalam. Konsep saling melengkapi, misalnya, yang Niels Bohr anggap sangat penting untuk menginterpretasi teori kuantum, itupun tidak berarti tidak diketahui para filsuf, bahkan jika mereka tidak mengungkapkan begitu singkat. Namun, sisi eksakta sains telah menentukan perubahan; gagasan tentang objek-objek material yang benar-benar independen dari cara di mana kita mengamati mereka terbukti bukanlah sesuatu selain hanya ekstrapolasi (perluasan data di luar data yg tersedia, tetapi tetap mengikuti pola kecenderungan data yg tersedia itu) abstrak, sesuatu yang tidak memiliki bandingannya secara alamiah. Dalam filsafat Asia dan agama-agama Timur kita menemukan ide pelengkap yang murni berasal dari subjek pengetahuan, yang tidak mengkonfrontasikan objek apapun. Ide ini juga akan membuktikan ekstrapolasi abstrak, yang tidak menyesuaikan dengan realitas spiritual atau mental. Jika kita berpikir tentang konteks yang lebih luas, mungkin di masa depan kita akan dipaksa untuk berada di jalur tengah antara kutub-kutub ekstrim ini, mungkin salah satu yang dipetakan oleh konsep pelengkapnya Bohr. Sains yang selalu menyesuaikan diri dengan bentuk pemikiran tidak hanya akan lebih toleran terhadap berbagai bentuk agama, namun, memiliki pandangan yang lebih luas keseluruhan, juga dapat berkontribusi pada keragaman nilai.”

Pada saat bersamaan Paul Dirac telah bergabung bersama kami. Dia (Paul Dirac) baru saja memasuki usia dua puluh lima tahun, dan memiliki sedikit waktu untuk toleransi. “Saya tidak tahu mengapa kita berbicara tentang agama,” dia keberatan. “Jika kita jujur—dan ilmuwan memang harus begitu—kita harus mengakui bahwa agama merupakan campur aduk dari pernyataan palsu, tanpa dasar dalam kenyataan. Gagasan tentang Tuhan merupakan produk imajinasi manusia. Hal ini cukup dimengerti mengapa orang primitif, yang lebih banyak terkena kekuatan alam daripada kita saat ini, mempersonifikasi kekuatan-kekuatan itu dalam gemetar ketakutan mereka. Tapi saat ini, ketika kita memahami proses alam begitu banyak, kita tidak memiliki kebutuhan untuk solusi tersebut. Saya tidak bisa melihat bagaimana dalil ketuhanan membantu kehidupan kita dengan cara apapun. Yang saya lihat adalah bahwa asumsi ini mengarah ke pertanyaan-pertanyaan yang tidak produktif seperti mengapa Tuhan membiarkan begitu banyak kesengsaraan dan ketidakadilan, eksploitasi orang miskin oleh kaya dan semua kengerian lainnya yang bisa dicegah olehNya. Jika agama masih diajarkan, itu tidak berarti karena ide-ide yang masih meyakinkan kita, tetapi hanya karena sebagian dari kita ingin menjaga kelas bawah tenang. Dengan ketenangan orang lebih mudah untuk diatur daripada gemuruh ketidakpuasan. Mereka juga lebih mudah untuk dieksploitasi. Agama adalah semacam opium yang memungkinkan bangsa membuai diri menjadi mimpi, angan dan lupa akan ketidakadilan yang sedang dilakukan terhadap rakyat. Oleh karena itu, keduanya merupakan aliansi erat antara dua kekuatan politik yang besar, Negara dan Gereja. Keduanya membutuhkan ilusi bahwa Tuhan baik hati memberikan ganjaran—di surga nanti jika tidak di bumi—bagi semua orang yang tidak bangkit melawan ketidakadilan, yang telah melakukan tugasnya dengan tenang dan tanpa mengeluh. Justru inilah alasannya mengapa pernyataan jujur ​​bahwa Tuhan adalah produk dari imajinasi manusia dicap sebagai yang terburuk dari semua dosa berat.”

“Anda hanya menilai agama dari sisi penyalahgunaan institusi politiknya,” saya keberatan, “dan karena kebanyakan hal di dunia ini dapat disalahgunakan—bahkan ideologi komunis yang baru saja Anda kemukakan—semua penilaian tersebut tidak dapat diterima. Setelah semua itu, akan selalu ada masyarakat manusia, dan mereka harus menemukan bahasa yang sama di mana mereka dapat berbicara tentang kehidupan dan kematian, dan tentang konteks yang lebih luas di mana hidup mereka ditetapkan. Bentuk spiritual yang telah dikembangkan secara historis muncul untuk mencari bahasa yang umum harus memiliki kekuatan persuasif yang besar—sehingga banyak orang telah hidup dengan semua itu selama berabad-abad Agama tidak bisa diberhentikan dengan begitu mudahnya? Tapi mungkin Anda tertarik ke agama lain, seperti China kuno, di mana tidak ada ide tentang Tuhan yang personal?”

“Pada prinsipnya saya tidak suka mitos agama,” jawab Dirac, “Jika hanya karena mitos dari berbagai agama bertentangan satu sama lain, itu semua murni kebetulan bahwa saya lahir di Eropa dan bukan di Asia. Dan yang pasti tidak ada kriteria untuk menilai apa yang benar atau apa saya harus percaya dan saya hanya bisa percaya apa yang benar. Adapun sebagai tindakan yang benar, saya dapat menyimpulkan hal itu dengan alasan deduktif dari situasi di mana saya berada: saya hidup dalam masyarakat dengan orang lain, kepada siapa, pada prinsipnya, saya harus memberikan hak yang sama yang saya klaim untuk diri saya sendiri. Saya hanya mencoba untuk memberikan keseimbangan yang adil, tidak ada lagi yang bisa diminta dari saya. Semua ini berbicara tentang kehendak Tuhan, tentang dosa dan pertobatan, tentang melampaui dunia yang mana hidup kita harus diarahkan dan hanya berfungsi untuk menyamarkan kebenaran. Percaya kepada Tuhan nyatanya mendorong kita untuk berpikir bahwa Tuhan menghendaki kita untuk tunduk kepada kekuatan yang lebih tinggi, dan itu adalah ide yang membantu untuk melestarikan struktur sosial yang mungkin sangat berguna di hari mereka tetapi tidak lagi cocok dengan dunia modern. Semua pembicaraan Anda tentang konteks yang lebih luas dan sejenisnya membuat saya tak bisa menerimanya. Hidup, ketika semua dikatakan dan dilakukan, seperti halnya sains: kita melawan segala kesulitan dan harus menyelesaikannya Dan kita tidak pernah dapat memecahkan lebih dari satu kesulitan pada suatu waktu, konteks lebih luas Anda hanyalah suprastruktur mental yang menambahkan sebuah aposteriori (pengetahuan yang didapat setelah pengalaman).”

Dan demikianlah diskusi berlangsung, kami semua terkejut melihat bahwa Wolfgang terus bergeming diam. Dia akan menarik wajah panjang atau tersenyum menyeringai dari waktu ke waktu, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Pada akhirnya, kita harus meminta dia untuk mengungkapkan pikirannya. Dia tampak sedikit terkejut dan kemudian berkata: “Baiklah, teman kita Dirac, juga memiliki agama yang pada prinsipnya adalah: Tidak ada Tuhan dan Dirac adalah Nabi-Nya.” kami semua tertawa, termasuk Dirac dan ini membawa malam kami di lounge hotel terhenti.

Beberapa waktu kemudian, mungkin di Kopenhagen, saya mengatakan kepada Niels tentang percakapan kami. Dia segera mempertahankan argumen anggota termuda dari lingkaran kami. “Saya menganggap itu luar biasa,” katanya, “bahwa Paul Dirac begitu tak kenal kompromi dalam pembelaannya dari semua yang dapat dinyatakan dalam bahasa yang jelas dan logis. Ia percaya bahwa apa yang dapat dikatakan sama sekali dapat dikatakan dengan jelas—atau seperti Wittgenstein katakan tentang siapapun yang tak dapat membicarakan sesuatu, seharusnya orang itu diam dari membicarakanya. Setiap kali Dirac mengirimkan saya sebuah naskah, tulisannya begitu rapi dan bebas dari koreksi sehingga melihatnya merupakan kenikmatan estetis. Jika saya sarankan beberapa perubahan kecil, Paul menjadi sangat tidak bahagia dan umumnya tidak ada perubahan sama sekali. Karyanya adalah, dalam setiap kasus, cukup cemerlang. Baru-baru ini kami berdua pergi ke pameran yang di dalamnya terdapat pemandangan laut biru abu-abu buah karya Manet. Latar depannya adalah sebuah perahu, dan di samping itu, di dalam air, tempat abu-abu gelap, yang artinya tidak cukup jelas. Dirac berkata, ‘Titik ini tidak dapat diterima.’ sebuah cara yang aneh melihat seni, tapi ia mungkin cukup tepat. Dalam sebuah karya seni yang baik, seperti di bagian yang baik dari karya ilmiah, setiap detail harus ditetapkan cukup tegas, tidak ada ruang untuk hal yang bersifat semata kecelakaan.

“Namun, agama lebih merupakan hal yang berbeda. Saya merasa sedikit banyak mirip Dirac: Gagasan tentang Tuhan personal adalah asing bagi saya. Tapi kita harus ingat bahwa agama menggunakan bahasa cukup dalam dengan cara yang berbeda dari ilmu pengetahuan. Bahasa agama adalah lebih erat terkait dengan bahasa puisi daripada bahasa ilmu pengetahuan. Benar, kita cenderung berpikir bahwa ilmu pengetahuan berhubungan dengan informasi tentang fakta-fakta objektif dan puisi dengan perasaan subjektif. Oleh karena itu, kita menyimpulkan bahwa jika agama memang berurusan dengan kebenaran objektif, maka haruslah mengadopsi kriteria yang sama dengan kebenaran yang diterapkan dalam sains. Tapi saya sendiri menganggap pembagian dunia menjadi sisi objektif dan subjektif terlalu sewenang-wenang. Fakta bahwa agama-agama selama berabad-abad telah berbicara dalam gambar, perumpamaan, dan paradoks berarti bahwa tidak ada cara lain untuk menangkap realitas yang mereka lihat. Tapi itu tidak berarti bukanlah sebuah realitas yang sejati. Dan dengan membelah kenyataan ini menjadi sisi objektif dan sisi subjektif tidak akan membawa kita terlalu jauh.

“Itulah sebabnya saya memperhatikan perkembangan-perkembangan itu dalam fisika selama dekade terakhir, yang telah menunjukkan bagaimana sangat problematisnya konsep-konsep seperti objektif dan subjektif, sebagai kebebasan berpikir. Semuanya dimulai dengan teori relativitas. Di masa lalu, pernyataan adanya dua peristiwa yang simultan dianggap sebagai pernyataan objektif, yang bisa dikomunikasikan cukup sederhana dan itu terbuka untuk verifikasi oleh siapapun. Hari ini kita tahu bahwa ‘simultanitas’ mengandung unsur subjektif karena dua peristiwa yang muncul simultan untuk seorang pengamat yang diam tidak selalu simultan untuk seorang pengamat yang bergerak. Namun, deskripsi relativistik juga objektif karena setiap pengamat dapat menyimpulkan dengan perhitungan yang mana oleh pengamat lain akan dimengerti atau telah diketahui. Untuk semua itu, kita berangkat dari gagasan ideal klasik mengenai deskripsi objektif.

“Dalam mekanika kuantum keberangkatan dari idealitas ini bahkan lebih radikal. Kita masih bisa menggunakan bahasa objektif fisika klasik untuk membuat pernyataan tentang fakta-fakta yang dapat diamati. Misalnya, kita dapat mengatakan bahwa piring fotografi telah menghitam, atau bahwa tetesan awan telah terbentuk. Tapi kita tak dapat mengatakan apa-apa tentang atom itu sendiri. Dan atas dasar apa kita memprediksikan temuan tersebut tergantung pada cara kita mengajukan pertanyaan eksperimental, dan di sini pengamat memiliki kebebasan untuk memilih. Tentu, masih ada bedanya apakah pengamat adalah seorang pria, binatang, atau aparat, tetapi tidak mungkin untuk membuat prediksi tanpa mengacu kepada pengamat atau sarana pengamatan. Sejauh itu, setiap proses fisik dapat dikatakan memiliki fitur objektif dan subjektif. Dunia objektifitas saintifik pada abad kesembilan belas, seperti yang kita kenal sekarang, berpijak pada idealitas, kasuistik, tetapi bukanlah keseluruhan realitas. Memang, bahkan dalam pertemuan kita di masa depan terhadap realitas, kita masih harus membedakan antara sisi objektif dan subjektif, untuk membuat pembagian antara keduanya. Tapi titik pemisahannya mungkin tergantung pada cara pandang; sampai batas tertentu dapat dipilih sesuka hati. Karena itu, saya cukup bisa mengerti mengapa kita tidak dapat berbicara tentang konten agama dalam bahasa objektif. Fakta bahwa agama-agama yang berbeda mencoba untuk mengungkapkan konten ini dalam bentuk spiritual yang berbeda bukanlah suatu bantahan. Mungkin kita harus melihat pada bentuk-bentuk yang berbeda sebagai deskripsi komplementer, meskipun mereka mengecualikan satu sama lain, yang diperlukan untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang mengalir dalam hubungan antar manusia dengan pusat tatanan.”

“Jika Anda membedakan begitu tajam antara bahasa agama, ilmu pengetahuan dan seni,” tanya saya, “apakah pengertian yang Anda lampirkan pada semacam pernyataan apodiktis seperti ‘Ada Tuhan yang hidup’ atau ‘Ada jiwa yang abadi’? Apa makna ‘ada’ dalam jenis bahasa ini? Sains, seperti Dirac, membantah formulasi-formulasi tersebut. Biarkan saya menggambarkan sisi epistemologis permasalahan ini dengan cara analogi berikut:

“Pakar Matematika, seperti semua orang tahu, bekerja sama dengan unit imajiner, akar kuadrat dari -1, disebut i. Kita tahu bahwa i tidak ada di antara angka-angka. Namun demikian, cabang penting dari matematika, misalnya teori fungsi analitis, didasarkan pada unit imajiner ini, yaitu, pada kenyataan bahwa -1 adalah ada. Apakah Anda setuju bahwa pernyataan ‘Ada -1’ berarti tidak lain ‘Ada hubungan matematis penting yang paling sederhana diwakili oleh pengenalan konsep -1? Bahkan, walau tanpa itu hubungan ini akan tetap ada. Itulah mengapa jenis matematika ini sangat berguna dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang menentukan, misalnya, dalam teori fungsi, adalah eksistensi seberapa penting hukum matematika yang mengatur perilaku berpasang-pasangan dari variabel yang berkelanjutan. Hubungan ini akan lebih komprehensif dipahami dengan pengenalan konsep abstrak -1, meskipun konsep tersebut pada dasarnya tidak diperlukan bagi pemahaman kita, dan meskipun tidak memiliki keterkaitan di antara bilangan angka-angka.

Sebuah konsep yang abstrak yang sama adalah ketakterhinggaan, yang juga memainkan peran sangat penting dalam matematika modern. Ini juga, tidak ada korelasinya, dan terlebih lagi menimbulkan masalah serius. Singkatnya, matematika memperkenalkan tahap yang lebih tinggi dari abstraksi yang membantu kita mencapai pemahaman yang koheren tentang alam secara lebih luas. Untuk kembali ke pertanyaan awal, apakah benar untuk memandang agama ‘ada’ hanya sebagai upaya lainnya, meskipun berbeda, untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari abstraksi? Sebuah usaha untuk memfasilitasi pemahaman kita mengenai koneksi universal? Koneksi itu sendiri cukup nyata, tidak peduli bentuk rohani seperti apa yang kita upayakan untuk menempatkan mereka.”

“Sehubungan dengan sisi epistemologis permasalahan ini, perbandingan Anda dapat dilewati,” jawab Bohr. “Tapi dalam hal lain itu cukup memadai. Dalam matematika kita dapat mengambil jarak antara batin kita dengan isi pernyataan kita. Pada Akhirnya, analisis matematika adalah permainan mental yang bisa kita mainkan atau tidak sebagaimana yang kita pilih. Agama, di sisi lain, berhubungan dengan diri kita sendiri, dengan hidup dan kematian kita; janji-janji agama dimaksudkan untuk mengatur tindakan kita dan dengan demikian, setidaknya secara tidak langsung, ditujukan bagi eksistensi kita. Kita tidak bisa hanya melihat agama tanpa ekspresi dari luar. Selain itu, sikap kita terhadap pertanyaan agama tidak bisa dipisahkan dari sikap kita kepada masyarakat. Bahkan, jika agama muncul sebagai struktur spiritual masyarakat tertentu, dapat dikatakan agama tetap menjadi kekuatan terkuat pembentuk masyarakat melalui sejarah, atau apakah masyarakat terbentuk dan mengembangkan struktur rohani yang baru serta menyesuaikan mereka ke tingkat tertentu yang dianggap sebagai pengetahuan. Saat ini, tiap individu tampaknya dapat memilih kerangka spiritual atas pikiran dan tindakan mereka dengan cukup bebas, dan kebebasan ini mencerminkan fakta bahwa batas-batas antara berbagai budaya dan masyarakat mulai menjadi lebih cair. Bahkan, ketika seseorang mencoba untuk mencapai tingkat terbesar dari kekebabasan, ia masih akan terpengaruh oleh struktur spiritual yang ada—sadar atau tidak sadar. Karena itu, ia juga harus mampu berbicara tentang kehidupan dan kematian serta kondisi manusia kepada anggota lain dalam masyarakat di mana dia memilih untuk hidup. Ia harus mendidik anak-anaknya sesuai dengan norma-norma masyarakat itu, yang masuk ke dalam hidupnya. Cara berpikir yang sesat secara epistemologis tidak mungkin membantunya mencapai tujuan ini. Di sini, hubungan antara pemikiran kritis tentang muatan spiritual dari agama tertentu dan tindakan berdasarkan penerimaan terhadap konten tersebut secara sengaja juga bersifat komplementer. Dan penerimaan tersebut, jika datang dengan kesadaran, mengisi individu dengan kekuatan akan tujuan, membantunya mengatasi keraguan dan, jika ia harus menderita, memberikannya dengan sejenis pelipur lara yang dapat memberikan perlindungan di bawahnya. Dalam hal ini, agama membantu untuk membuat kehidupan sosial yang lebih harmonis; tugas yang paling penting adalah untuk mengingatkan kita, dalam bahasa gambar dan perumpamaan, dari kerangka yang lebih luas di mana kehidupan kita dipersiapkan.”

“Anda terus mengacu pada pilihan bebas individu,” kata saya, “dan Anda membandingkannya dengan kebebasan di mana fisikawan dapat mengatur percobaan atomik dengan cara begini, atau begitu. Sekarang ini fisikawan klasik tidak memiliki kebebasan seperti itu. Apakah itu berarti bahwa fitur khusus dari fisika modern memiliki ganjalan langsung terhadap masalah kebebasan kehendak? Seperti yang Anda tahu, fakta bahwa proses atom tidak dapat sepenuhnya dideterminasi sering digunakan sebagai argumen yang mendukung kehendak bebas dan campur tangan ilahi?”

“Saya yakin bahwa seluruh penyikapan ini didasarkan pada kesalahpahaman yang sederhana, atau lebih tepatnya pada kebingungan pertanyaan, yang, sejauh yang saya bisa lihat, menimpa pada cara-cara komplementer yang berbeda ketika melihat segala sesuatunya. Jika kita berbicara tentang kehendak bebas, kita merujuk pada situasi di mana kita harus membuat keputusan. Situasi ini, di mana situasi satunya kita menganalisis motif dari tindakan kita, atau satunya lagi ketika kita mempelajari proses fisiologis, misalnya proses elektrokimia dalam otak kita, mempunyai hubungan yang saling eksklusif. Dengan kata lain, mereka saling melengkapi, sehingga pertanyaan apakah hukum alam menentukan peristiwa sepenuhnya atau hanya statistik tidak berpengaruh langsung terhadap pertanyaan akan kehendak bebas. Alamiahnya, cara kita yang berbeda dalam melihat segala hal harus saling menyesuaikan dalam jangka panjang, yaitu, kita harus mampu mengenali mereka sebagai bagian yang tidak kontradiksi dari realitas yang sama, meskipun kita belum bisa mengatakan bagaimananya secara tepat. Ketika kita berbicara tentang campur tangan ilahi, kita cukup jelas tidak mengacu pada penentuan ilmiah dari suatu peristiwa, tetapi berdasarkan pada hubungan yang bermakna antara peristiwa dan orang lain atau pemikiran manusia. Sekarang ini koneksi intelektual menjadi bagian dari realitas sebagai kausalitas ilmiah, itu akan menjadi penyederhanaan yang terlalu kasar jika kita menganggapnya secara eksklusif sebagai sisi subjektif dari realitas. Sekali lagi kita bisa belajar dari situasi analogis dalam sains secara alamiah. Ada hubungan-hubungan biologis yang sudah diketahui yang tidak kita gambarkan secara kausalitas, melainkan secara finalistik, yaitu, menghormati tujuan akhir mereka. Kita hanya memikirkan proses penyembuhan pada suatu organisme yang terluka. Interpretasi finalistik memiliki hubungan khas yang melengkapi suatu hubungan berdasarkan psiko-kimia, atau hukum atom, yaitu dalam kasus yang mana kita tanyakan apakah prosesnya mengarah ke tujuan yang diinginkan, pemulihan kondisi normal dalam organisme; dalam kasus lain kita menanyakan tentang rantai kausal yang menentukan proses molekuler. Kedua deskripsi satu sama lain saling eksklusif, tetapi belum tentu bertentangan. Kita memiliki alasan yang baik untuk mengasumsikan bahwa hukum mekanika kuantum dapat dibuktikan keberlakuannya dalam organisme hidup seperti mereka berlaku pula pada benda mati. Untuk semua itu, deskripsi finalistik sama validnya. Saya percaya bahwa jika perkembangan fisika atom telah mengajarkan kita apa saja, maka kita harus belajar untuk berpikir lebih halus daripada di masa lalu.”

“Kita selalu kembali ke sisi epistemologis agama,” saya keberatan. “Tapi serangan Dirac terhadap agama ditujukan terutama di sisi etis Dirac tidak sepakat terutama dari ketidakjujuran dan penipuan diri yang terlalu sering digabungkan dengan pemikiran keagamaan. Dalam kebenciannya ia telah menjadi pendukung fanatik rasionalisme, dan saya memiliki perasaan bahwa rasionalisme tidaklah cukup.”

“Saya pikir Dirac melakukannya dengan baik,” kata Niels, “untuk memperingatkan Anda begitu kuatnya bahaya penipuan diri sendiri dan kontradiksi yang terdapat di dalam diri, tapi Wolfgang sama benarnya ketika ia bercanda bahwa Dirac kesulitan menarik perhatian yang luar biasa untuk keluar dari bahaya ini seluruhnya.” Niels menutup percakapan dengan salah satu cerita yang suka diceritakannya pada acara-acara seperti: “Salah satu tetangga kami di Tisvilde pernah memaku tapal kuda di atas pintu rumahnya. Ketika berkenalan kami bertanya, ‘Apakah Anda benar-benar percaya takhayul bahwa tapal kuda ini akan membawa Anda keberuntungan?’ dia menjawab, ‘Tentu saja tidak, tetapi mereka mengatakan bahwa benda itu akan sangat membantu. Bahkan, jika Anda tidak percaya.”

From Physics and Beyond, By Werner Heisenberg, (Harper & Row, 1971). Republished in Physics And Philosophy: The Evolution Of Modern Science by Werner Heisenberg, (Harper Perrennial, 2007).

No comments:

Post a Comment