Perselisihan antara Isaac Newton dan Gottfried Wilhelm Leibniz telah banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah sains, terutama dalam konteks klaim penciptaan kalkulus. Namun, Ernst Cassirer dalam artikelnya di The Philosophical Review mengangkat sisi lain dari ketegangan antara dua raksasa intelektual ini: perbedaan mendalam dalam pandangan epistemologis mereka terhadap ilmu pengetahuan alam—atau dalam terminologi zaman mereka, filsafat alam.
Membedah perbedaan esensial di antara keduanya bukanlah perkara mudah. Kontroversi personal dan sentimen nasional yang mengiringi pertikaian ini kerap mengaburkan substansi filosofisnya. Surat-menyurat antara Leibniz dan Samuel Clarke (wakil Newton) pada tahun 1715–1716 lebih sering memunculkan polemik teologis dibandingkan klarifikasi intelektual. Untuk memahami inti perbedatan ini, kita harus menelaah dengan seksama cara pandang dasar masing-masing terhadap pengetahuan dan realitas.
Secara umum, Newton dan Leibniz mewakili dua tradisi epistemologis besar: Newton sebagai perintis empirisme modern dengan penekanan pada induksi, dan Leibniz sebagai rasionalis yang memulai dari prinsip deduktif. Namun membingkai mereka secara kaku dalam kategori ini bisa menyesatkan. Induksi Newton berbeda dari model Baconian yang mengandalkan pengumpulan data empiris secara masif untuk merumuskan “forma murni” dari gejala alam. Newton lebih dekat pada metode Galileo, yang tidak terjebak dalam akumulasi data, melainkan melakukan penyederhanaan dan abstraksi matematis dari fenomena fisik. Prosedur ini ia sebut sebagai “induksi analitis”, di mana data empiris tidak dijadikan tujuan akhir, melainkan titik tolak menuju formulasi hukum alam yang dapat dipaparkan secara matematis.
Dengan demikian, kontribusi terbesar Newton bukanlah pada rumusan matematis gravitasi universal itu sendiri—yang sejatinya telah dibahas oleh Wren, Hooke, dan Halley—melainkan pada penyusunan kerangka konseptual yang revolusioner. Ia mereduksi dunia fisik menjadi sistem gerak yang tunduk pada hukum-hukum matematis. Pendekatannya memungkinkan analisis alam tanpa harus terjebak dalam perdebatan metafisik mengenai hakikat realitas.
Leibniz, sebaliknya, memulai dari ranah logika. Ia memandang bahwa pengetahuan sejati hanya dapat ditegakkan di atas dasar-dasar rasional yang niscaya. Dalam analoginya, sebagaimana seseorang harus menggali hingga menemukan batu fondasi untuk membangun di tanah berpasir, demikian pula dalam filsafat: untuk mencapai kepastian, kita harus kembali pada prinsip-prinsip logis awal, seperti prinsip kontradiksi dan prinsip alasan cukup (principium rationis sufficientis). Bagi Leibniz, realitas fisik (empiris) hanyalah permukaan dari struktur kebenaran yang lebih dalam dan lebih rasional. Maka, tugas filsafat adalah mengungkap keteraturan logis di balik fenomena.
Walau mengakui nilai fakta empiris, Leibniz menekankan bahwa fakta hanyalah bagian dari struktur pengetahuan yang lebih luas dan harus dapat direduksi ke dalam prinsip-prinsip rasional. Dalam pandangannya, seluruh kebenaran empiris idealnya dapat dijabarkan dalam kerangka logika. Ia adalah seorang rasionalis murni yang meyakini bahwa semua disiplin ilmu, termasuk fisika, politik, sosial, dan agama, dapat dibawa ke dalam satu sistem pengetahuan yang menyatu: Scientia Generalis.
Perbedaan epistemologis ini juga tercermin dalam cara keduanya memperlakukan matematika. Leibniz memandang matematika sebagai aplikasi langsung dari logika simbolik. Kalkulus baginya merupakan perwujudan konkret dari deduksi rasional, dan simbol-simbolnya adalah alat untuk mencapai kejelasan dan efisiensi logis. Newton melihatnya secara berbeda: ia menggunakan matematika bukan untuk menyatakan kebenaran logis yang tetap, melainkan untuk menangkap perubahan dan gerak. Matematika tidak lagi sekadar instrumen abstraksi, melainkan jembatan langsung menuju pemahaman terhadap realitas fisik yang dinamis.
Pandangan mereka terhadap ruang dan waktu juga memperlihatkan kontras yang tajam. Newton menganggap ruang dan waktu sebagai entitas absolut, eksistensi yang nyata dan independen, bahkan sebagai atribut dari Tuhan. Sebaliknya, Leibniz berargumen bahwa ruang dan waktu adalah hubungan atau tatanan—koeksistensi dan suksesi dari benda dan kejadian—yang tidak memiliki realitas metafisis tersendiri. Dalam pandangan relasionalnya, dua benda yang bergerak sejajar dengan kecepatan sama tidak bisa dikatakan benar-benar bergerak kecuali jika ada sistem acuan absolut—yang bagi Leibniz tidak perlu ada.
Perbedaan ini menegaskan kontras yang mendalam: bagi Newton, kebenaran harus ditemukan in rerum natura—di dalam alam itu sendiri; bagi Leibniz, kebenaran ditentukan oleh konsistensi logis. Meskipun demikian, keduanya menolak pendekatan sensualistik yang semata-mata mengandalkan persepsi. Baik Newton maupun Leibniz sepakat bahwa data empiris memerlukan interpretasi intelektual untuk menjadi pengetahuan yang sahih.
Dalam sejarah, fondasi yang diletakkan Newton-lah yang kemudian mendorong revolusi besar dalam ilmu pengetahuan. Dengan menempatkan gerak sebagai kategori dasar dan hukum-hukum matematis sebagai instrumen penggambaran alam, Newton memberikan sains landasan yang stabil dan operasional. Sebaliknya, pendekatan Leibniz—meskipun kuat dalam deduksi logis—lebih sulit untuk diterapkan secara langsung dalam fisika pada masanya. Baru pada abad ke-20, ketika Einstein mengembangkan teori relativitas, pemikiran Leibniz mengenai ruang dan waktu sebagai entitas relasional mendapat pembenaran konseptual dan matematis.
Fisikawan modern bahkan terlihat semakin dekat dengan visi Leibniz. Teori-teori fisika mutakhir, seperti Model Standar dan pencarian Grand Unified Theory, sangat bergantung pada struktur logis dan matematis yang belum sepenuhnya terverifikasi secara empiris. Dalam hal ini, logika dan teori mendahului observasi, sebagaimana dikehendaki oleh Leibniz. Namun ini bukan berarti bahwa fisika Newtonian ditinggalkan. Sebaliknya, ia tetap menjadi dasar yang memungkinkan lahirnya pemikiran baru. Fisika modern adalah rekonstruksi, bukan penghapusan atas Newtonianisme.
Perbedaan antara Newton dan Leibniz, yang dulu sering dipandang sebagai konflik antara saintifik empirisme dan idealisme rasional, kini terbukti sebagai fondasi ganda dari sains modern. Newton mewakili cara pandang ilmuwan yang berpijak pada fakta dan kalkulasi, sementara Leibniz mencerminkan semangat filsuf yang mencari harmoni rasional di balik segala sesuatu. Ketegangan di antara keduanya bukanlah hambatan, melainkan daya dorong yang membuat ilmu pengetahuan berkembang—membentang antara dunia empiris dan logika murni.
No comments:
Post a Comment