Demikianlah alegori dari Kitab Amu-Daria yang sering digunakan para Sufi untuk menggambarkan betapa keterikatan pada dunia fana dapat menjadi perangkap batin. Sebuah pelajaran bahwa pelepasan lebih menyelamatkan daripada kemelekatan, bahwa kebijaksanaan sejati sering kali terletak dalam kemampuan untuk merelakan.
Kata-kata ini tertulis dari tangan Fariduddin Aththar, sang kimiawan spiritual, pujangga kebijaksanaan, dan tokoh agung madzhab iluminasi Persia. Ia hidup jauh sebelum Chaucer lahir—seorang sastrawan Inggris yang kelak menyerap pengaruh Sufisme Aththar dalam Canterbury Tales. Bahkan, lebih dari seratus tahun setelah wafatnya Aththar, pendirian Ordo Garter di Inggris menampilkan kesamaan mencolok dengan tarekat Sufi yang ia rintis—sebuah kemiripan yang tampaknya terlalu akurat untuk dianggap kebetulan belaka.
Fariduddin dilahirkan di dekat kota Nisyapur, tanah yang juga melahirkan Omar Khayyam, sang matematikawan dan penyair. Ia mewarisi dari ayahnya sebuah toko obat, sehingga gelar Aththar—yang berarti “tukang obat” atau “kimiawan”—melekat pada dirinya, sebagaimana lazim dalam gaya penamaan para Sufi. Namun warisan sejatinya bukan ramuan jasmani, melainkan ramuan bagi jiwa.
Dari tangan dan hati Aththar mengalir lebih dari seratus karya, meskipun yang paling agung dan mendunia adalah "Mantiq al-Thayr" (Musyawarah Para Burung), sebuah alegori megah tentang pencarian kebenaran spiritual. Karya ini menjadi semacam Pilgrim’s Progress versi Timur, yang membentangkan perjalanan jiwa melalui tujuh lembah ujian untuk mencari Sang Simurgh—burung mitologis yang melambangkan Realitas Mutlak. Tapi sesungguhnya, di akhir perjalanan, para burung menemukan bahwa Sang Simurgh adalah cerminan dari diri mereka sendiri. Sebuah pencerahan bahwa Tuhan, dalam pandangan para Sufi, lebih dekat dari urat leher, dan pencarian spiritual sejati adalah perjalanan ke dalam.
Aththar tidak hanya menyusun puisi. Ia juga merangkai kisah-kisah hidup para wali dalam Tazkirat al-Awliya (Hikayat Orang-Orang Suci), satu-satunya karya prosa pentingnya. Dalam kitab ini, ia mencatat jejak-jejak suci para pencari Tuhan, dengan gaya naratif yang menyiratkan simbolisme, bukan sekadar dokumentasi sejarah.Salah satu kisah yang paling terkenal—dan menjadi titik balik hidupnya—ditulis oleh Daulat Shah dalam Memoirs of the Poets. Dikisahkan bahwa suatu hari, saat Aththar menjaga tokonya, datanglah seorang darwis pengembara. Dengan mata berkaca-kaca, ia menatap Aththar dan memintanya membuka hati. Aththar, yang belum tercerahkan, menyuruh pengemis itu pergi. Sang darwis menjawab, “Aku memang akan pergi, sebab aku tak boleh membawa apapun, bahkan jubah ini. Tapi pikirkanlah, apa artinya obat-obatan dan hartamu bila suatu saat engkau sendiri akan melakukan perjalanan yang sama?”
Perkataan itu mengguncang kesadaran Aththar. Ia pun meninggalkan bisnis, kekayaan, dan kehidupan duniawinya untuk berguru kepada Syekh Ruknuddin dan menjalani fase penyucian diri dalam padepokan Sufi. Meski terjun dalam dunia asketisme, ia tidak mengabaikan tubuh. “Tubuh dan jiwa,” katanya, “adalah satu kesatuan; keduanya bagian dari totalitas keberadaan.” Dengan demikian, ajarannya tidak hanya tertuang dalam puisi dan hikmah, tetapi juga dalam amal dan praktik nyata para pengikutnya.
Di masa tuanya, Aththar menerima kunjungan seorang pemuda bernama Jalaluddin Rumi. Ia memberikan salah satu bukunya kepada Rumi muda, dan pengaruh itu kemudian menjalar ke seluruh tubuh karya Rumi. Dalam puisinya, Rumi mengakui, “Aththar telah menembus tujuh kota cinta. Kami, bahkan belum sampai satu jalan darinya.”Sayangnya, akhir hidup Aththar diliputi tragedi. Ketika pasukan Mongol menyerbu Persia pada 1220, ia yang telah berusia 110 tahun ditangkap. Seorang prajurit Mongol berniat menyelamatkannya dengan menebusnya seharga seribu keping perak. Namun Aththar menolaknya, mengatakan bahwa ia akan “ditebus dengan harga lebih tinggi”. Tak lama kemudian, seseorang datang hanya menawarkan seikat jerami. Aththar berkata, “Terimalah! Itulah nilainya diriku.” Karena dianggap menghina, ia pun dibunuh. Tapi bagi para Sufi, peristiwa itu adalah bentuk puncak pelepasan ego dan pengakuan total akan kefanaan diri.
Melalui alegori, puisi, hikmah, dan kehidupannya sendiri, Aththar menjadi cermin dari semangat sufistik yang tulus: meleburkan identitas diri dalam samudra Keberadaan. Karya-karyanya, meski ditulis berabad-abad lalu, masih bersinar sebagai lentera penuntun bagi jiwa-jiwa pencari. Ia bukan hanya penyair atau tukang obat, melainkan penyembuh batin yang mewariskan eliksir abadi: perjalanan ke dalam hati, menuju Sang Sumber.Burung Bulbul dan Mawar: Cinta yang Menawan namun Mengikat
Dalam sebuah pertemuan agung di antara para burung, ketika semua tengah merenungi jalan panjang menuju Sang Simurgh, tampillah seekor burung bulbul yang dipenuhi gairah. Dengan semangat yang menggetarkan dan siulan yang mengandung melodi cinta, ia mengungkapkan suatu misteri yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan. Setiap kicauannya mengandung makna baru, laksana gelombang di samudera yang tak kunjung henti, dan setiap desah napasnya menyerupai ratapan seruling mistik yang menggetarkan hati para pecinta.
"Aku," katanya dengan penuh pesona, "adalah burung cinta. Sepanjang malam aku bersenandung untuk Sang Mawar. Di balik kelopak merahnya, aku temukan seluruh rahasia cinta. Akulah yang memekarkan senyumnya, akulah yang menghidupkan gairah di taman-taman hati."
Lagu-lagunya melambangkan ekstase, suatu ekstase yang memabukkan. Baginya, cinta kepada Sang Mawar adalah puncak tertinggi kehidupan. Ketika Mawar absen dari dunia, bulbul meratap; ketika Mawar mekar kembali, hatinya pun bersorak.
Namun saat yang lain bersiap menempuh jalan panjang menuju Simurgh – simbol Kebenaran Mutlak, Wujud Hakiki – bulbul menolak melangkah. Ia berkata, “Cinta kepada Mawar sudah cukup bagiku. Mengapa harus mencari sesuatu yang lebih jauh, jika keindahan sudah kugenggam kini?”
Kritik Sang Merak dan Perjalanan Mistik
Tetapi burung merak, yang telah mengenal berbagai bentuk kesenangan duniawi dan jebakan fatamorgana, menyela dengan suara lantang:
“Wahai engkau yang terperangkap oleh warna merah! Tinggalkanlah bunga Mawar yang layu dalam sekejap. Apa gunanya mencintai sesuatu yang fana? Setiap musim semi datang hanya untuk mempermainkanmu, lalu ia berlalu. Keindahan yang lekas layu hanya membawa kesedihan. Keabadian tidak ditemukan dalam kelopak bunga, namun dalam cinta yang membakar ego dan melepaskan keterikatan.”
Dalam dialog ini, Fariduddin Aththar mengangkat sebuah alegori penting dalam tasawuf: cinta yang tertuju pada simbol keindahan (Mawar) adalah tahap awal, namun belum sempurna. Ia mengacu pada bentuk ekstase spiritual yang hanya menyentuh permukaan realitas ilahiah, tanpa menembus kedalaman eksistensi.
Tafsir Mistikal: Gairah yang Menyucikan
Seorang guru Sufi, Adil Alimi, dalam komentarnya atas bagian ini, menyatakan bahwa Aththar sedang menyindir para pencari spiritual yang berhenti di titik ekstase — mereka yang mabuk cinta, namun enggan bergerak lebih jauh menuju transformasi diri yang sejati. Cinta, jika tidak membawa perubahan ontologis dalam diri, hanyalah romantisme spiritual.
Menurutnya, “api cinta yang mencerahkan” adalah cinta yang tidak hanya menggairahkan, tetapi membakar seluruh eksistensi palsu. Cinta ini melahirkan Manusia Sempurna – insan yang telah terbakar oleh cinta dan hidup sebagai wujud cinta itu sendiri. Ia bukan lagi makhluk yang berubah menjadi lain, tetapi yang telah kembali kepada hakikatnya sendiri dalam bentuk yang paling murni dan hidup. Seluruh gerak hatinya menjadi melodi suci, dan setiap desir rindunya menyatu dengan takdir.
Namun guru ini juga mencatat bahwa pengalaman ini jarang dimengerti. Ia ditolak oleh kaum materialis, disalahpahami oleh para ahli hukum, diabaikan oleh para pecinta duniawi, dan bahkan didekati dengan keliru oleh para teoritisi Sufi. Maka ia mengingatkan pentingnya menempuh jalan ini qadam ba qadam — tahap demi tahap — karena setiap tahap membawa kelezatannya sendiri.
Tujuh Lembah: Jalan Menuju Simurgh
Aththar melukiskan jalan ini melalui tujuh lembah — simbol stasiun spiritual dalam perjalanan ruhani:
-
Lembah Pencarian (Thalab): Sang musafir mulai meninggalkan dirinya, memburu Sang Kebenaran.
-
Lembah Cinta (Ishq): Ia memasuki kegilaan suci, di mana logika terbakarkan oleh api kerinduan.
-
Lembah Pengetahuan (Ma'rifah): Ia memperoleh pemahaman mendalam bukan lewat akal, tapi intuisi.
-
Lembah Kebebasan dan Pelepasan (Istighna): Ia membebaskan diri dari segala keterikatan duniawi.
-
Lembah Kemanunggalan (Tawhid): Di sini ia menyadari bahwa segala perbedaan hanyalah ilusi; semua adalah satu.
-
Lembah Ketakjuban (Hayrat): Sang musafir kehilangan pengetahuan konvensional, terhenyak oleh cinta murni dan kekaguman yang melumpuhkan ego.
-
Lembah Kematian (Fana’): Ia lenyap dalam Wujud Ilahi – setetes dirinya melebur dalam samudera, namun tetap bermakna karena telah menemukan kedudukan hakikinya.
Aththar, yang berarti “pembuat parfum” atau “ahli kimia”, bukan hanya nama lahir atau profesi. Dalam simbolisme Sufi, ia berarti al-kimya al-batiniyyah – kimia batin, proses transmutasi spiritual dari nafs (ego) menjadi ruh (jiwa ilahiah). Jika kita menafsirkan nama Aththar dengan sistem numerologi abjad Arab (abjad hisabi), huruf-hurufnya mencerminkan makna batin yang tersembunyi, mengisyaratkan bahwa dirinya telah melewati proses penyulingan spiritual sebagaimana mawar menyimpan aroma melalui penyulingan yang menyakitkan namun suci.
No comments:
Post a Comment