Friday, June 22, 2018

Tuhan Tidak Menciptakan Manusia; Manusia yang Menciptakan Tuhan


Diterjemahkan oleh: TACU

 J. Anderson Thomson is a psychiatrist at the University of Virginia. He serves as a trustee of the Richard Dawkins Foundation for Reason and Science. Clare Aukofer is a medical writer. They are the authors of “Why We Believe in God(s): A Concise Guide to the Science of Faith.”

Sebelum John Lennon menuliskan lirik—dalam lagu imagine, “living life in peace,” dia menulis bait “no heaven … / no hell below us …/ and no religion too.”

No religion: Apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Lennon? Sebagai permulaan, sebuah dunia tanpa utusan-utusan “ilahi” seperti Osama bin Laden yang memicu kekerasan. Sebuah dunia di mana kesalahan, seperti dalam peristiwa badai Katrina yang menghilangkan banyak nyawa, sesungguhnya bisa dihindari dan ditanggulangi, tapi bukan dihubungkan dengan “kehendak Tuhan.” di mana politisi tidak lagi bersaing untuk membuktikan yang mana lebih dipercayai secara irasional dan tidak dapat dipertahankan. Di mana berpikir kritis adalah ideal. Singkatnya, dunia yang masuk akal.

Dalam beberapa tahun terakhir para ilmuwan yang mengkhususkan diri dalam bidang pikiran dan kejiwaan telah mengungkapkan DNA agama. Mereka telah menghasilkan teori-teori yang kuat, didukung oleh bukti empiris (termasuk studi “pencitraan” otak di tempat kerja), yang mendukung kesimpulan bahwa manusia-lah yang menciptakan Tuhan, bukan sebaliknya. Dan semakin baik kita memahami sains, semakin kita mendekat kepada no heaven … / no hell below us …/ and no religion too.

Seperti DNA fisiologis kita, mekanisme psikologis yang melatarbelakangi iman berevolusi selama ribuan tahun melalui seleksi alam. Mereka membantu nenek moyang kita bekerja secara efektif dalam kelompok kecil dan bertahan hidup dan bereproduksi, berkembang lama sebelum adanya sejarah tertulis, jauh mendasari mamalia, primata dan masa lalu spesies kita di Afrika yang mengumpulkan makanan dengan cara berburu.

Sebagai contoh, kita dilahirkan dengan kebutuhan yang kuat untuk ketergantungan, yang diidentifikasi sejak tahun 1940-an oleh psikiater John Bowlby dan diperluas oleh psikolog Mary Ainsworth. Peningkatan kelangsungan hidup individu lekat dengan adanya kebutuhan akan sosok pelindung, mulai dari para ibu. Kelekatan ini diperkuat secara fisiologis melalui kimia otak, dan kita berevolusi dan mempertahankan jaringan saraf karena benar-benar mendedikaskan untuk hal itu. Kita dengan mudah memperluas kebutuhan bawaan untuk pelindung terhadap figur otoritas apapun, termasuk tokoh agama dan, termasuk Tuhan. Tuhan menjadi orangtua super yang mampu melindungi kita dan merawat kita bahkan ketika sistem corporeal yang mendukung kita menghilang oleh karena kematian atau jarak.

Para ilmuwan sejauh ini mengidentifikasi sekitar 20 implementasi yang mengembangkan kemampuan “adaptasi” sebagai blok bangunan agama. Seperti lampiran, mereka adalah mekanisme yang mendasari interaksi manusia: Kajian Pencitraan-Otak di National Institutes of Health menunjukkan bahwa ketika subjek ujicoba membaca pernyataan tentang agama dan diminta untuk setuju atau tidak setuju, jaringan otak yang sama yang memproses perilaku sosial manusia—kemampuan kita untuk menegosiasikan hubungan dengan orang lain—ikut terlibat.

Di antara adaptasi psikologis yang berkaitan dengan agama sebagai kebutuhan resiprokal kita, yaitu kecenderungan kita untuk mengatribusikan peristiwa yang tidak diketahui oleh manusia, bahkan kepada sosok manusia itu sendiri, seperti kapasitas kita untuk keromantisan, ketakutan dan kebencian kita kepada orang di luar komunitas, atau lingkaran kita. Begitu juga dengan loyalitas yang ada dalam sistem kekerabatan dan persekutuan. Agama membajak sifat-sifat tersebut. Persaingan antara Sunni dan Syiah dalam Muslim, misalnya, atau pertempuran doktrinal antara Protestan dan Katolik mencerminkan kecenderungan “groupish” kita.

Selain adaptasi ini, manusia telah mengembangkan kemampuan yang luar biasa untuk berpikir tentang apa yang terjadi di dalam pikiran orang lain dan membuat serta melatih untuk berinteraksi secara kompleks dengan hal lain yang tak terlihat. Dalam pikiran kita, kita dapat melerai kognisi dari waktu, tempat dan keadaan. Kita menganggap apa yang orang lain mungkin bisa lakukan di tempat kita dengan memproyeksikan skenario masa depan, atau memutar ulang peristiwa masa lalu. Ini adalah lompatan mudah untuk mengatakan, kita bisa bercakap-cakap dengan orang mati atau menghadirkan sosok Tuhan dan berdoa kepada mereka.

Moralitas, yang bagi sebagian orang adalah datang dari Tuhan atau agama untuk membuat manusia lebih beradab, tetapi sains melihat bahwa moralitas adalah persoalan strategi adaptif yang diwariskan kepada kita oleh seleksi alam.

Profesor psikologi di Yale, Paul Bloom mencatat bahwa “Akan sangat bermanfaat bagi manusia untuk bekerja sama, yang mana hal itu berarti akan menjadi cara manusia beradaptasi ketika mengevaluasi kebaikan dan keburukan yang diterima dari sesamanya.” dalam sebuah terobosan penelitian, ia dan timnya menemukan bahwa bayi dalam tahun pertama hidup mereka menunjukkan aspek rasa bawaan benar dan salah, baik dan buruk, bahkan adil dan tidak adil. Ketika ditunjukkan boneka mendaki gunung, baik dibantu atau dihalangi oleh boneka kedua, maka bayi-bayi akan berorientasi pada boneka yang membantu. Mereka mampu membuat penilaian evaluatif sosial, dalam arti respon moral.

Michael Tomasello, seorang psikolog perkembangan yang ikut mengembangkan studi Antropologi Evolusioner di Institut Max Planck, Leipzig, Jerman, juga melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan moralitas dan anak pada usia sangat muda. Ia dan rekan-rekannya telah menghasilkan banyak penelitian yang menunjukkan kemampuan altruisme anak sedari dini. Dia berpendapat bahwa kita lahir secara alamiah adalah altruis yang kemudian harus mempelajari kepentingan pribadi yang strategis.

Selain adaptasi psikologis dan mekanis, para ilmuwan telah menemukan penjelasan neurologis untuk hal-hal yang sering ditafsirkan sebagai bukti keberadaan ilahi. Psikolog Kanada, Michael Persinger, yang mengembangkan apa yang disebutnya “helm Tuhan” yang menghalangi penglihatan dan suara tapi merangsang lobus temporal otak, mencatat bahwa banyak subjek penelitian helm-nya melaporkan rasa kehadiran “yang lain.” Tergantung pada riwayat pribadi dan budaya mereka, yang kemudian dalam menafsirkan kehadiran tersebut dirasakan sebagai sosok supranatural atau figur agama. Bisa dibayangkan bahwa konversi dramatis St. Paulus di jalan menuju Damaskus adalah, dalam kenyataannya, disebabkan oleh kejang akibat terkena epilepsi lobus temporal.

Semakin baik kita memahami psikologi manusia dan neurologi, semakin kita akan mengungkap dasar-dasar agama. Beberapa dari mereka, seperti sistem kelekatan/ketergantungan, mendorong kita menuju kepercayaan pada Tuhan dan sulit menolak hal tersebut, meski itu mungkin terjadi.

Kita bisa menjadi lebih baik sebagai spesies jika kita mengakui agama sebagai konstruksi buatan manusia. Kita berutang kepada diri kita sendiri untuk setidaknya mempertimbangkan akar/asal muasal yang nyata atas keyakinan agama, sehingga kita dapat menghadapi kehidupan ini sebagaimana adanya, yang mungkin jika kita ingin mengambil keuntungan dari proses adaptasi, maka bisa kemampuan adaptasi dari pikiran kita, yaitu untuk menggunakan akal.
 

No comments:

Post a Comment