Monday, June 18, 2018

Menjadi Seorang Fisikawan

  Oleh: Brian Greene
  (Diadaptasi dari The Fabric of the Cosmos)

Bertahun-tahun yang lalu, saya menutup halaman terakhir dari The Myth of Sisyphus karya Albert Camus dengan rasa heran. Bagaimana mungkin kisah yang tampaknya begitu suram bisa memancarkan optimisme?

Sisyphus, tokoh utama cerita itu, dihukum untuk terus-menerus mendorong batu besar ke atas bukit—hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang kali. Namun Camus melihat harapan di tengah absurditas. Sisyphus, menurutnya, menang bukan karena ia berhasil mencapai puncak, melainkan karena ia memilih untuk terus mencoba. Dalam dunia yang tampak tidak peduli, kebebasannya untuk memilih bertahan adalah bentuk perlawanan sekaligus kemenangan.

Saya menghargai pandangan Camus, namun sebagai remaja yang tengah terpesona oleh sains, saya tak bisa sepenuhnya menerima kesimpulannya. Ia berpendapat bahwa pemahaman lebih dalam tentang alam semesta tidak akan membuat hidup lebih bermakna. Saya merasa sebaliknya.

Jika Camus menemukan pahlawannya dalam Sisyphus, maka saya menemukan pahlawan-pahlawan saya dalam Newton, Einstein, Niels Bohr, dan Richard Feynman. Ketika saya membaca bagaimana Feynman menjelaskan bahwa memahami bunga dari sisi ilmiah—menyelami dunia molekul, atom, dan partikel subatomiknya—justru memperkaya keindahannya, saya tahu: saya ingin melihat dunia seperti itu. Saya ingin memahami kosmos, tidak hanya dengan mata, tetapi dengan pikiran dan seluruh keingintahuan saya.

Terpesona oleh Fisika

Cinta saya pada fisika dimulai dari daya tarik itu—kerinduan untuk memahami realitas pada tingkat terdalamnya. Tapi ketika saya menjadi fisikawan profesional, saya sadar bahwa perjalanan ini tidak sesederhana rasa kagum semata. Menjadi fisikawan berarti terjun ke dalam dunia persamaan matematis yang rumit, kerja keras yang sunyi, dan penantian panjang untuk hasil yang belum tentu berhasil.

Kemajuan dalam riset ilmiah jarang cepat. Banyak ide yang menjanjikan berakhir buntu. Namun, di tengah lambannya progres dan kesulitan teknis, ada sesuatu yang tak ternilai: pengalaman mendalam akan kedekatan dengan alam semesta. Bahkan ketika hipotesis kita salah, bahkan saat "batu" penelitian kita tergelincir dan harus didorong ulang, kita selalu membawa pulang sesuatu—entah wawasan baru, atau pemahaman yang lebih jernih akan pertanyaan yang kita ajukan.

Meneruskan Obor Pengetahuan

Untungnya, tak seperti Sisyphus yang selalu memulai dari nol, ilmuwan mewarisi hasil kerja generasi sebelumnya. Kita berdiri di atas bahu para raksasa. Kita membangun teori-teori baru di atas fondasi lama, menyempurnakan pengukuran, mengembangkan ide. Sejarah sains bukanlah kisah tentang batu yang selalu jatuh, melainkan tentang perjalanan panjang kolektif menuju pemahaman yang lebih luas dan lebih dalam.

Dan dalam perjalanan ini, meski sering kali berat, tak ada yang sia-sia. Sebab tujuan akhirnya bukan sekadar pengetahuan, tetapi sebuah usaha mulia: memahami tempat kita di alam semesta, merayakan keajaiban yang kita temukan, dan mewariskan pemahaman itu kepada mereka yang akan datang setelah kita.

Menuju Kedewasaan Kosmis

Selama 300 tahun terakhir, sains telah membawa kita melewati revolusi klasik Newton, relativitas Einstein, hingga ke dunia kuantum. Kini, kita menjelajahi realitas yang lebih dalam lagi—multisemesta, teori dawai, dan dimensi tersembunyi. Dengan alat dan akal budi, kita telah menyibak lapisan-lapisan terdalam dari ruang dan waktu.

Dan yang paling menggetarkan: setiap kali kita membuka tirai kosmos, kita mendekati kebenaran. Kita membentuk hubungan intim dengan alam semesta, bukan sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai bagian darinya. Kita belum sampai di ujung jalan, tapi banyak dari kita merasa bahwa manusia, sebagai spesies, tengah meninggalkan masa kanak-kanaknya dan melangkah ke fase kedewasaan intelektual.

Meski kita tinggal di sudut kecil galaksi, kita telah menciptakan cara untuk memahami realitas yang jauh melampaui tempat kita berpijak. Dan untuk itu, kami—para fisikawan dan ilmuwan—akan terus mendorong batu kita, bukan karena kita terkutuk, tetapi karena di dalamnya, kita menemukan makna, keindahan, dan kebenaran.


No comments:

Post a Comment