Monday, June 18, 2018

Menjadi Seorang Fisikawan

By: Brian Greene

http://www.pbs.org/wgbh/nova/physics/on-being-physicist.html

Brian Greene is a professor of physics and mathematics at Columbia University. He is the author of The Fabric of the Cosmos, from which this essay was excerpted and on which the four-part NOVA series premiering in fall 2011 is based. Greene is also the author of The Elegant Universe, the subject of a three-part NOVA series that aired in 2003, and The Hidden Reality.

Ketika saya membalik halaman terakhir dari karya Albert Camus, The Myth of Sisyphus bertahun-tahun yang lalu, saya terkejut oleh karya tersebut yang telah mencapai suatu perasaan menyeluruh tentang optimisme. Kisahnya menceritakan seorang pria yang dikutuk untuk mendorong batu ke atas bukit dengan pengetahuan penuh bahwa batu itu akan menggelinding turun kembali, pria itu mendorong lagi, ini bukan jenis cerita yang Anda harapkan untuk memiliki akhir yang bahagia.

Namun Camus menemukan harapan pada diri Sisyphus akan kemampuannya mengerahkan kehendak bebas untuk melawan rintangan agar dapat diatasi, dan untuk menegaskan pilihannya untuk bertahan hidup bahkan ketika dihukum dengan tugas masuk akal dalam alam semesta yang acuh tak acuh. Dengan melepaskan segala sesuatu di luar pengalaman langsung, dan berhenti untuk mencari jenis pemahaman yang lebih dalam atau makna yang lebih dalam, Sisyphus, dalam pandangan Camus telah mendapat kemenangan.

Iming-Iming Fisika

Saya terkesan dengan kemampuan Camus untuk membedakan mana harapan kebanyakan orang lain yang akan melihat keputusasaan saja. Tapi sebagai seorang remaja, saya tak bisa menerima pernyataan Camus bahwa pemahaman yang lebih dalam terhadap alam semesta akan gagal untuk membuat hidup seseorang lebih kaya atau berharga.

Sedangkan Sisyphus adalah pahlawan Camus, sementara ilmuwan-ilmuwan besar—Newton, Einstein, Niels Bohr, dan Richard Feynman—adalah pahlawan saya. Dan ketika saya membaca deskripsi Feynman tentang sekuntum mawa—di mana ia menjelaskan bagaimana Feynman bisa mencium aroma dan menikmati keindahan bunga semaksimal siapapun juga, tapi pengetahuan fisika memperkaya pengalaman itu dengan memberi keajaiban dan keindahan dari molekul, atom, dan subatom yang mendasari proses-proses tersebut—karenanya membuatku kecanduan untuk selamanya. Saya ingin tahu apa yang Feynman jelaskan: untuk menilai kehidupan dan mengalami alam semesta pada semua tingkatan, bukan hanya menjadikan agar dapat diakses oleh indera manusia yang lemah. Pencarian untuk pemahaman terdalam atas kosmos membuat semua itu sebagai sumber kehidupan saya.

Sebuah keterlibatan yang mendalam

Sebagai seorang fisikawan profesional, saya sudah lama menyadari bahwa ada banyak kenaifan dalam kegilaan saya dengan fisika ketika masa-masa sekolah. Fisikawan umumnya tidak menghabiskan hari-hari mereka dengan merenungkan bunga dalam keadaan kekaguman atas kosmik. Sebaliknya, kami mengabdikan banyak waktu untuk bergulat dengan persamaan matematika yang kompleks yang tertulis di papan tulis untuk menghasilkan sesuatu. Kemajuan bisa lambat. Ide-ide menjanjikan, lebih sering daripada tidak, berada di depan. Tapi itulah sifat penelitian ilmiah.

Butuh Kekurangajaran dari Newton untuk menancapkan bendera penyelidikan ilmiah modern dan tidak pernah kembali ke masa klasik.

Namun, bahkan selama periode kemajuan yang masih minimal, saya telah menemukan bahwa upaya yang dihabiskan untuk menyusun puzzle dan hitung-hitungan membuat saya merasakan hubungan lebih dekat dengan alam semesta. Saya telah menemukan bahwa Anda dapat mengenal alam semesta tidak hanya dengan memecahkan misteri, tetapi juga dengan membenamkan diri dalam semesta itu. Jawaban yang besar. Jawaban dikonfirmasi oleh eksperimen yang lebih besar, tetapi jawaban yang pada akhirnya terbukti salah merupakan hasil dari keterlibatan yang mendalam dengan keterlibatan kosmos sebagai gudang pencerahan yang intens terhadap pertanyaan, dan karenanya berada di alam semesta itu sendiri. Bahkan, ketika gumpalan batu terkait dengan eksplorasi ilmiah tertentu kemudian memutar kembali ke titik awal, kita tetap belajar sesuatu dan pengalaman kita akan kosmos menjadi makin kaya.

Di bahu raksasa

Tentu saja, sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa batu karang yang berupa penyelidikan ilmiah kolektif dengan kontribusi dari para ilmuwan yang tak terhitung di seluruh benua dan selama berabad-abad tidak menggelinding turun gunung. Tidak seperti Sisyphus, sering membuat kita tidak mulai dari awal. Setiap generasi mengambil alih dari generasi sebelumnya, membayar penghormatan kepada kerja keras pendahulunya, wawasan, dan kreativitas, dan terus mendorong menjauh.

Teori-teori baru dan pengukuran yang lebih halus adalah tanda kemajuan ilmiah, dan kemajuan tersebut didasarkan pada apa yang datang sebelumnya, hampir tidak pernah menghapus papan tulis dengan bersih. Karena hal ini terjadi, tugas kita masih jauh dari masuk akal atau sia-sia. Dalam mendorong batu ke atas gunung, kami melakukan tugas yang paling indah dan mulia: untuk mengungkap tempat ini kita sebut rumah, untuk bersenang-senang dalam keajaiban yang kita temukan dan menyerahkan pengetahuan kita kepada mereka yang mengikuti.

Keintiman dengan kebenaran

Untuk spesies yang, dengan skala waktu kosmik, baru saja belajar berjalan tegak, ini adalah tantangan yang mengejutkan. Namun, selama 300 tahun terakhir, seperti yang telah berkembang dari klasik ke relativistik dan kemudian ke realitas kuantum, dan sekarang telah pindah ke eksplorasi realitas yang menyatu, maka pikiran kita dan seluruh instrumen telah menyapu hamparan besar ruang dan waktu, membawa kita lebih dekat daripada sebelumnya untuk dunia yang telah terbukti merupakan penyamaran yang mengagumkan. Dan seperti yang terus kita kuak misterinya dengan perlahan-lahan, kami telah memperoleh keintiman yang datang kepada kita agar terus dekat dengan kejelasan mengenai suatu kebenaran. Para peneliti yang melakukan eksplorasi ke setiap tempat di semesta ini sepertinya terlalu jauh, tetapi banyak dari mereka merasa bahwa akhirnya spesies manusia telah mencapai akhir dari masa kanak-kanaknya.

Yang pasti, kita datang di usia di mana manusia berada di pinggiran Bima Sakti yang terus berproses menjadi. Dalam satu cara atau yang lain, kami (para ilmuwan) telah menjelajahi dunia kita dan merenungkan alam semesta selama ribuan tahun. Tapi untuk sebagian besar waktu yang kita gunakan, banyak yang mengarah ke sesuatu yang tidak diketahui, setiap kali kembali kepada suatu kebijaksanaan walau sebagian besar tidak berubah. Butuh Kekurangajaran dari Newton kembali untuk menancapkan bendera penyelidikan ilmiah modern dan kami sudah menuju lebih tinggi sejak itu.

 Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment