Monday, June 18, 2018

MAHKOTA SUFI: Omar Khayyam dari Persia

Ketaatan sejati dalam tradisi Sufi bukanlah sekadar demi balasan surga atau takut pada neraka, melainkan demi ketaatan itu sendiri—suatu pengabdian murni yang lahir dari cinta dan kesadaran. Hal ini pernah diungkapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, salah satu figur sufi terkemuka yang menekankan pentingnya cinta ilahi sebagai motivasi utama dalam pengabdian.

Dalam konteks ini, sosok Omar Khayyam sering disalahpahami dan dilekatkan dengan berbagai stereotip yang keliru. Syair-syair kuatrinnya telah diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia, namun ironisnya, nama Omar Khayyam kerap dikaitkan dengan citra yang kurang akurat—sebagai seorang anggota kelompok Assassin, seorang tokoh politik istana, atau bahkan sekadar penikmat minuman keras dan pesta pora. Padahal, banyak dari interpretasi ini berasal dari terjemahan-terjemahan yang keliru, terutama versi Rubaiyat yang dibuat oleh Edward FitzGerald. Terjemahan FitzGerald justru lebih merepresentasikan imajinasi dan gaya penyair Irlandia itu sendiri ketimbang esensi pemikiran Omar yang sebenarnya.

Omar Khayyam tidaklah mewakili dirinya secara personal sebagai sosok historis biasa, melainkan sebagai manifestasi dari sebuah madzhab filosofi Sufi—sebuah tradisi mistik yang kaya akan simbolisme dan makna tersembunyi. Oleh karena itu, memahami Omar berarti tidak hanya membaca kata-katanya secara literal, melainkan mengerti konteks filosofis dan mistik yang mendasari puisinya.

Menariknya, FitzGerald, tanpa disadari, telah menonjolkan pengaruh Sufi dalam kesusastraan Inggris melalui terjemahannya yang bercampur dengan pemikiran dan karya penyair Sufi lain seperti Attar, Hafizh, Sa'di, dan Jami. Ia mencampurkan karya-karya tersebut dengan puisi Omar, sehingga Rubaiyat menjadi sebuah karya yang bukan hanya representasi Omar Khayyam, tetapi juga cerminan ajaran Sufi yang menyebar di dunia Barat.

Contohnya, dalam salah satu kuatrin terjemahan FitzGerald (kuatrin 55), Omar tampak menentang para Sufi, seolah-olah ia mengkritik mistisisme mereka:

"Buah Anggur, mengandung sebuah Serat;
Laksana urat melekat di Tubuhku — biarlah sang Sufi mencela;
Tentang Logam Dasarku yang mungkin menyimpan sebuah Kunci,
Kunci pembuka Pintu yang diratapnya dari luar."

Kuatrin ini memberi kesan bahwa Omar skeptis terhadap para Sufi dan metode mereka, seolah kunci pengetahuan itu ada pada dirinya sendiri, bukan pada mereka. Namun, bila kita telaah puisi asli dalam bahasa Persia, maknanya jauh lebih dalam dan berbeda. Dalam bahasa aslinya, Omar menyampaikan sebuah pesan tentang “Sebab Azali” (sebab yang abadi), cinta sebagai ajaran utama, dan “kunci perbendaharaan mutiara makna mistikal.” Tidak ada kata “mencela” atau “pintu yang diratap.” Ini adalah istilah-istilah teknis Sufi yang mengandung makna dalam tentang perjalanan spiritual menuju pencerahan.

Meskipun Omar Khayyam tidak mendapatkan pengakuan universal sebesar penyair-penyair Sufi lainnya seperti Sa’dí, Hafizh, dan Rumi di negerinya sendiri, hal ini bukan berarti ia tidak dihargai dalam lingkup mistik Sufi. Karya-karyanya memang sulit dipisahkan dari ajaran Sufi, walaupun ia bukan seorang guru madzhab Sufi secara formal melainkan seorang guru mandiri yang menempuh jalan spiritualnya sendiri. Ini membuat pengkajian terhadap karyanya menjadi kompleks, karena penyair dan mistikus lain seperti Abu Ali al-Ma’ari pun mungkin memiliki pengaruh yang saling terkait dengan Khayyam.

Perdebatan ini juga terlihat pada pandangan para sarjana Barat. Profesor Cowell, misalnya, mengakui adanya kandungan Sufi dalam karya Khayyam setelah diskusi dengan sarjana Persia-India. Namun, tidak semua pakar Barat melihat hal yang sama. Pendeta Dr. T.H. Weir, seorang ahli sastra Arab yang menulis tentang Khayyam, justru menyatakan bahwa dalam puisi-puisi Khayyam tidak ditemukan mistisisme, meskipun ia tidak menjelaskan definisi mistisisme yang digunakannya.

FitzGerald sendiri kerap merasa bingung mengenai pribadi Omar—kadang menganggapnya Sufi, kadang tidak. Namun FitzGerald paham sebagian besar pemikiran Sufi dan mungkin telah menyadari ajaran-ajaran Sufi yang tersembunyi di balik kata-kata Omar, sehingga ia memasukkan pengaruh tersebut dalam terjemahannya. Ironisnya, beberapa bagian terjemahannya sebenarnya berasal dari penyair Persia lainnya, dan bukan dari Omar sendiri.

Contoh lain dari ketidakpahaman FitzGerald adalah mengenai “kemabukan” yang sering dikaitkan dengan ajaran Sufi. Dalam puisi FitzGerald:

"Aku tak bisa hidup tanpa anggur,
Tanpa cangkir penuh dengan anggur,
aku tak mampu membawa tubuhku
Aku hamba sang nafs yang dikatakan Saki (Pemabuk)."

Bait ini dalam tradisi Sufi bukanlah sekadar tentang mabuk minuman, melainkan gambaran pengalaman ekstase spiritual yang didapat di bawah bimbingan guru Sufi—sebuah metafora untuk mencapai realitas yang melampaui dunia material.

FitzGerald tidak pernah memperbaiki terjemahannya agar tetap menjaga harmoni gagasan Sufi dengan bahasa Inggris yang bisa diterima luas oleh pembaca Barat. Inilah alasan kenapa Rubaiyat menjadi karya yang abadi sekaligus kontroversial.

Khayyam sering dianggap ancaman oleh kalangan yang konservatif atau ortodoks, termasuk teolog seperti Dr. Hastie yang melihat Omar hanya sebagai sosok jenaka dan dangkal. Namun sebenarnya Omar adalah sosok bijak yang menggunakan bahasa yang sederhana sekaligus penuh makna, menantang konvensi dan membuka cakrawala pemikiran spiritual.

Di sisi lain, ada kekhawatiran di kalangan Muslim, terutama mahasiswa berbahasa Inggris di India, yang sangat mengagumi Khayyam melalui versi FitzGerald tanpa pemahaman yang cukup tentang bahasa Persia, konteks Islam, dan Sufisme. Molvi Khanzada, seorang teolog Muslim, bahkan menulis pamflet yang menegaskan bahwa untuk benar-benar memahami Khayyam, seseorang harus belajar bahasa Persia dan memahami dasar-dasar Islam dan Sufisme terlebih dahulu.

Omar Khayyam bukan hanya sosok penyair biasa. Dalam tradisi Sufi, nama dan ajarannya menjadi metode pengajaran yang memerlukan bimbingan guru. Jika dibaca tanpa konteks dan bimbingan, mudah menyesatkan.

Keberadaan Khayyam sebagai sebuah "kultus" di Barat—terutama Inggris—membuktikan kekuatan puisinya yang mampu menginspirasi banyak orang. Namun manuskrip tertua tentang karya Omar baru ditemukan ratusan tahun setelah kematiannya, sehingga banyak yang bergantung pada interpretasi dan naskah tidak langsung.

Dalam praktik Sufi, puisi-puisi Khayyam bisa berfungsi sebagai sarana peningkatan kesadaran spiritual, baik untuk dibaca dan dimaknai secara mendalam atau untuk digunakan dalam latihan mistik yang dibimbing oleh guru.

Ada kisah menarik tentang Khan Jan-Fishan Khan, seorang guru Sufi abad ke-19 di wilayah Hindu-Kush, yang menggunakan syair Omar untuk menguji kesiapan dan potensi calon muridnya dalam menapaki jalan Sufi. Reaksi murid-murid terhadap Khayyam berbeda-beda, mencerminkan tingkat pemahaman dan kesiapan spiritual mereka.

Cerita dan ajaran-ajaran yang menghubungkan pemikiran Yunani, Kristiani, dan Sufi mengindikasikan bahwa filsafat dan mistisisme saling berkelindan di berbagai tradisi, membuka ruang dialog dan sinergi pemikiran.

Omar Khayyam sendiri mengajarkan sebuah konsep transmigrasi jiwa, yang dijelaskan melalui sebuah dongeng metaforis tentang keledai di padepokan. Ini bukan ajaran reinkarnasi literal, melainkan suatu metode pembelajaran dan komunikasi simbolik dalam Sufisme.

Puisi Khayyam mengandung makna-makna rahasia yang hanya dapat dipahami lewat pengalaman langsung dan bimbingan guru, bukan sekadar penafsiran logis atau akademis. Ia mengajarkan bahwa jalan spiritual tidak bisa dipahami dengan kaku atau dangkal, melainkan membutuhkan intuisi dan pengalaman batin.

Singkatnya, Omar Khayyam adalah representasi suara abadi Sufi, yang mengalir melampaui batas waktu dan budaya. Puisi-puisinya menyimpan misteri dan hikmah yang menantang pembaca untuk menembus kedangkalan pemahaman biasa, membuka pintu ke dimensi kesadaran yang lebih tinggi.

No comments:

Post a Comment