Friday, June 22, 2018

Tuhan yang Berubah: Sebuah Evolusi Moral dan Kultural

Dalam buku The Evolution of God, Robert Wright mengisahkan perjalanan panjang bagaimana konsep Tuhan berkembang seiring dengan perubahan budaya dan dinamika sosial umat manusia. Buku ini bukanlah sekadar narasi sejarah agama, melainkan eksplorasi mendalam tentang bagaimana ide ketuhanan dibentuk, dibongkar, dan dibangun kembali dalam konteks evolusi moral umat manusia. Sebagaimana dicatat oleh Paul Bloom, seorang profesor psikologi dari Yale, Wright menawarkan pemikiran yang tajam, spekulatif namun berhati-hati, dalam menyajikan salah satu pertanyaan tertua dalam sejarah manusia: apakah Tuhan itu ada, dan jika ada, mengapa Dia tampak berubah?

Wright memulai perjalanannya dari masa ketika Tuhan-tuhan suku pemburu-pengumpul masih eksentrik dan tak menentu—makhluk-makhluk ilahi yang mudah tersinggung dan tidak memiliki arah moral yang jelas. Ia kemudian bergerak ke arah Tuhan suku Israel kuno, Yahweh, yang keras, tribalistik, dan cenderung kejam—namun setidaknya memiliki panduan moral yang koheren. Dalam perjalanannya, konsep Tuhan berevolusi dari dewa-dewa lokal yang posesif menjadi sosok universal dalam monoteisme, seperti yang ditemukan dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam.

Yang menjadi inti dari argumen Wright adalah bahwa perubahan ini tidak terjadi secara acak, melainkan merupakan refleksi dari evolusi moral manusia itu sendiri. Seiring dengan berkembangnya struktur sosial manusia—dari komunitas kecil menuju masyarakat multinasional yang saling terhubung—gambaran manusia tentang Tuhan pun ikut mengalami perluasan dan pemurnian moral. Tuhan menjadi lebih inklusif, lebih penuh kasih, dan lebih terbuka terhadap “yang lain.”

Berbeda dengan banyak pengkritik agama dari kalangan sekuler, Wright justru mengambil posisi yang relatif optimistik. Ia meyakini bahwa agama, kendati sering disalahgunakan, memiliki potensi moral yang dapat terus berkembang. Dalam Nonzero: The Logic of Human Destiny (2000), ia berargumen bahwa sejarah manusia mengikuti lintasan yang semakin mengarah pada kerja sama dan saling menguntungkan. Dalam The Evolution of God, ia memperluas gagasan ini ke ranah spiritual: bahwa Tuhan menjadi semakin “baik” karena kita sebagai spesies menjadi semakin terhubung dan bermoral.

Namun, Wright tidak sedang menyatakan bahwa Tuhan benar-benar ada dalam pengertian tradisional. Sebaliknya, ia menyebut gagasannya sebagai “kabar baik dan kabar buruk” bagi umat beragama. Kabar buruknya: Tuhan Anda tidak sempurna sejak awal. Kabar baiknya: Dia juga tidak benar-benar ada. Bagi Wright, Tuhan adalah cerminan dari proses sosial dan pilihan interpretatif manusia atas teks dan tradisi. Konsep ketuhanan bukan entitas tetap yang turun dari langit, melainkan konstruksi yang dibentuk oleh konteks sejarah dan kebutuhan budaya.

Salah satu kelebihan Wright adalah kesediaannya untuk menolak esensialisme agama. Ia tidak percaya bahwa Islam, Kristen, atau Yudaisme memiliki inti moral tetap yang dapat dipisahkan dari praktik dan konteksnya. Pertanyaan seperti “Apakah Islam adalah agama damai?” baginya sama tak relevannya dengan bertanya apakah Konstitusi AS bersifat konservatif atau liberal—semuanya tergantung pada interpretasi, konteks, dan agenda manusia. Seperti seorang hakim yang percaya pada "konstitusi yang hidup", Wright percaya bahwa makna agama selalu dalam keadaan tawar-menawar.

Dalam semangat ini, Wright menyoroti bagaimana perubahan sosial dapat mengubah cara orang membaca kitab suci. Ketika suatu kelompok merasa berada dalam hubungan zero-sum—bahwa keuntungan orang lain berarti kerugian bagi mereka—mereka cenderung menggunakan kitab suci untuk membenarkan intoleransi. Sebaliknya, jika mereka melihat dunia sebagai sistem saling menguntungkan (non-zero-sum), mereka lebih mungkin menekankan ayat-ayat tentang kasih, perdamaian, dan toleransi. Maka, solusi dari konflik agama bukan terletak pada reformasi doktrin, tetapi dalam transformasi kondisi sosial yang mendasarinya.

Namun, Bloom mempertanyakan optimisme Wright yang seolah mengandaikan bahwa sejarah akan terus mendorong kita ke arah kebaikan. Ia mengingatkan bahwa agama tetap memenuhi kebutuhan psikologis dasar manusia—seperti kebutuhan akan makna, keteraturan, dan identitas sosial. Konsep Tuhan yang impersonal dan inklusif mungkin terlalu tipis untuk memuaskan dahaga spiritual yang selama ribuan tahun dijawab oleh narasi-narasi personal dan konkret. Wright tampaknya berharap bahwa sejarah dapat mengatasi psikologi evolusioner, tapi itu taruhan yang belum tentu dimenangkan.

Meski demikian, Wright tidak sepenuhnya menolak adanya “keilahian.” Ia membuka ruang spekulatif bahwa arah moral dalam sejarah mungkin menandakan keberadaan suatu prinsip transenden—sebuah “Tuhan” yang tidak personal, tidak campur tangan dalam kehidupan sehari-hari, namun ada sebagai semacam tujuan moral semesta. Ini adalah Tuhan yang tidak menjawab doa, tidak memberikan wahyu, dan tidak memilih satu kelompok manusia sebagai umat pilihan-Nya. Sebaliknya, Ia adalah konsekuensi dari sistem yang memungkinkan makhluk-makhluk sadar untuk mengembangkan moralitas. Sebuah Tuhan di antara ilusi dan ide yang belum sempurna.

Namun, seperti yang dicatat Bloom, gagasan ini menghadirkan paradoks tersendiri. Jika moralitas dan keberadaan kita sebagai makhluk sadar adalah akibat dari struktur alam semesta, tidakkah kita layak bertanya mengapa struktur itu seperti itu? Mengapa dunia memungkinkan munculnya kesadaran, nilai-nilai, seni, dan agama?

The Evolution of God pada akhirnya bukanlah buku yang menawarkan kepastian, melainkan mengajak pembacanya untuk merenung. Ini adalah kisah tentang bagaimana manusia mengarang, menyempurnakan, dan mengkoreksi gagasannya tentang Tuhan—dan bagaimana dalam proses itu, kita menceritakan sesuatu yang jauh lebih besar tentang diri kita sendiri. Tuhan dalam buku Wright adalah kisah tentang kita, bukan tentang Dia.

No comments:

Post a Comment