— Dzun-Nun al-Mishri
Maulana Jalaluddin Rumi — nama yang dalam bahasa Arab-Persia berarti “Guru Kita, Sang Kemuliaan Agung dari Rum” — merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah spiritual Islam. Sebagai pendiri Tarekat Mevlevi atau para Darwis Berputar, Rumi bukan hanya penyair mistik terbesar dalam tradisi Persia, tetapi juga seorang guru spiritual yang warisannya menjangkau lintas zaman dan lintas budaya. Ungkapan klasik dari Timur menyebut, “Raksasa muncul dari Afghanistan dan mengubah dunia”; Rumi adalah salah satu perwujudannya.
Ia lahir di Balkh (kawasan Bactria), wilayah yang kini termasuk dalam negara Afghanistan, pada awal abad ke-13, dari keluarga terpelajar dan bangsawan. Setelah bermigrasi karena invasi Mongol, keluarganya menetap di Konya (Iconium), wilayah Asia Kecil yang saat itu berada di bawah kekuasaan Seljuk — jauh sebelum berdirinya Kekaisaran Utsmani. Rumi menolak jabatan atau kekuasaan duniawi; ia memilih jalan pengetahuan dan cinta ilahiah. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia menempati kedudukan agung dalam tradisi sastra dan spiritualitas Islam Timur, sehingga para penafsir menyebutnya sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Persia” — meskipun sering bertentangan dengan doktrin-doktrin sektarian seperti Syi’ah yang lebih eksklusif.
Di dunia Islam yang lebih luas — termasuk Arab, India, dan Asia Selatan — Rumi dihormati sebagai guru mistik kelas pertama. Ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran suci seperti al-Qur’an tidak boleh dibaca secara literal semata, melainkan harus dimaknai melalui tujuh lapisan makna yang tersembunyi. Kedalaman pengaruhnya sukar diukur, tetapi dapat dilacak dalam warisan sastra, filosofi, dan tasawuf berbagai mazhab dan wilayah.
Menariknya, bahkan dalam tradisi Barat, nama Rumi memiliki gaung. Dr. Samuel Johnson — yang dikenal dengan kritik-kritik tajamnya — pernah berkata bahwa Rumi "menyingkap rahasia Kesatuan dan mengungkap misteri-misteri dari Kebenaran Abadi." Dalam waktu kurang dari satu abad setelah wafatnya pada tahun 1273, puisi-puisi Rumi telah menjadi referensi penting dalam karya sastra Eropa. Geoffrey Chaucer, misalnya, mengacu pada ajaran Rumi dan gurunya Fariduddin Aththar dalam karya-karyanya. Pengaruh sufistik tampak dalam The Canterbury Tales, terutama dalam penggunaan simbol dan alegori perkembangan batin yang serupa dengan Mantiq al-Thair (Parliament of the Birds) karya Aththar, yang menggunakan simbol burung mistis Simurgh — "tiga puluh burung" — sebagai perlambang ketersatuan jiwa.
Salah satu kutipan terkenal dalam sufisme, “Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran”, dalam versi Darwis Berputar disimbolkan dengan permainan kata: “idhtrib al-kalba wa ya’khud addaba al-fahdu”. Namun para sufi mengalihkan makna literal menjadi simbolik: "kalb" (anjing) dibaca sebagai "qalb" (hati), dan "fahdu" (singa) menjadi "fahid" (kelalaian). Maka ungkapannya bermakna: “Pukullah hati dengan latihan spiritual, dan kelalaian akan berubah menjadi kesadaran.” Inilah semangat dari tarian para Darwis: gerakan melingkar sebagai pemukulan hati, pemusatan perhatian, dan penyerahan total pada Kehadiran Ilahi.
Hubungan antara Canterbury Tales dan alegori sufistik Mantiq al-Thair adalah bukti adanya transmisi simbolisme Timur ke dalam narasi spiritual Barat. Dalam The Pardoner’s Tale maupun kisah pohon pir yang ditemukan dalam Kitab IV Matsnawi, Chaucer terlihat mengadaptasi bentuk-bentuk sufistik ke dalam konteks Kristen Eropa.
Karya utama Rumi, Matsnawi-i Ma’nawi (“Sajak-Sajak Spiritual”), merupakan mahakarya puisi sufistik yang terdiri dari enam jilid. Disusun selama lebih dari empat dekade, Matsnawi tidak hanya memuat puisi, tetapi juga metafora, kisah alegoris, dialog, hingga tafsir-tafsir Qur’ani yang dalam. Dalam bentuk aslinya, karya ini memiliki kekuatan luar biasa yang disebut-sebut mampu menggugah kesadaran spiritual pendengarnya.Bagi para pembaca biasa, Matsnawi mungkin terasa kompleks. Namun seperti dikemukakan oleh R.A. Nicholson — salah satu penerjemah dan pengkaji utama Rumi — siapa pun yang mencari syair konvensional belaka dalam karya ini hanya akan frustrasi dan kehilangan makna sejati. Puisi Rumi adalah ekspresi dari realitas yang tak terlukiskan, mengandung pesan-pesan esoterik yang hanya terbuka bagi hati yang siap.
Bagi kaum Sufi, Matsnawi adalah peta perjalanan batin. Ia menghadirkan lelucon, parabola, perdebatan, kisah para nabi dan wali, hingga teknik-teknik meditasi yang ditujukan untuk membongkar batas-batas rasionalitas biasa. Ia bukan sekadar karya sastra; ia adalah metode — bahkan alat transformasi spiritual.
Rumi menggunakan berbagai pendekatan dalam sistem pengajarannya: logika dan paradoks, diam dan gerakan, kerja dan permainan, meditasi dan musik. Tarian para Darwis Berputar yang disebut Sema, dilengkapi musik seruling dan tabuhan, adalah salah satu metode paling khas dalam tarekat Mevlevi. Tujuannya adalah membawa sang murid (salik) selaras dengan getaran semesta yang Ilahi — membentuk koneksi antara fisik dan batin, tubuh dan ruh.
“Doa,” kata Rumi, “adalah bentuk yang memiliki suara dan realitas fisik. Setiap nama menyimpan bentuknya, dan setiap pemikiran memiliki wujud tindakannya.” Ini adalah penegasan bahwa spiritualitas bukanlah hal yang melayang di udara, tetapi hadir secara konkret dalam gerak, suara, dan kesadaran manusia.
Ciri sejati dari ajaran Rumi adalah keterbukaannya: meski ia mengkritik para teolog formal dan dogmatis, ia tetap membuka jalan bagi siapa pun yang memiliki kerinduan batin. Ia tidak bersandar pada sistem keagamaan yang mapan, bahkan mengkritik bentuk-bentuk keagamaan yang cenderung emosional dan institusional. Baginya, tabir cahaya — yaitu kesombongan rohani — jauh lebih berbahaya dibanding tabir kegelapan yang muncul dari kejahatan. Cinta, bukan dogma, adalah jembatan menuju pengertian spiritual.Menurut Rumi, para nabi dan pendiri agama memang membawa kebenaran, tetapi para penerus mereka banyak yang mengaburkan pesan-pesan tersebut melalui institusionalisasi dan penafsiran sempit. Karena itu, ia memilih jalan batin yang tidak tunduk pada sistem argumen dan studi teologis. “Agama sejati,” katanya, “bukan seperti yang orang sangka. Maka, menguji dogma-dogma itu tidak ada gunanya.”
Bagi Rumi, istilah-istilah seperti Arasy, Malaikat, Hari Pembalasan, dan Kitab Ilahi adalah simbol-simbol untuk realitas yang lebih dalam, dan bukan untuk ditafsirkan secara literal. Semua itu adalah metafora dari sesuatu yang melampaui bahasa.
Rumi bukan hanya seorang penyair; ia adalah jembatan antara dunia-dunia. Ia berbicara dalam bahasa universal cinta dan penyatuan. Melalui puisi, musik, gerakan, dan hikmah, ia menyingkap kedalaman batin manusia dan membukakan jalan menuju pencerahan. Dan di tengah zaman yang kering akan spiritualitas, warisannya tetap menyala sebagai lentera cinta — Shams al-Din, matahari jiwa, yang tak pernah padam.Dalam Fihi Ma Fihi, kumpulan diskursus dan wejangan spiritual Rumi yang sering dijadikan rujukan utama dalam tradisi Sufi, tersirat lapisan-lapisan pencerahan yang menunjukkan evolusi kesadaran manusia dalam pencarian Ilahi. Menurut Rumi, manusia melewati tiga jenjang dalam hubungannya dengan penyembahan: mula-mula ia menyembah segala sesuatu—materi, manusia, bahkan dirinya sendiri. Lalu, dalam kemajuan spiritual tertentu, ia mulai menyembah Tuhan sebagaimana dipahami dalam konteks keimanan konvensional. Namun pada tingkatan tertinggi, ia bahkan melampaui kategori menyembah atau tidak menyembah. Pada titik ini, kesatuan eksistensial antara penyembah dan yang disembah telah begitu erat hingga batas antara keduanya menghilang dalam pengalaman mistik yang mendalam.
Untuk memasuki jalan Sufi, seorang Salik (pencari spiritual) pertama-tama harus menyadari bahwa sebagian besar dari dirinya hanyalah konstruksi dari berbagai bentuk pengondisian sosial dan psikologis: ide-ide yang kaku, prasangka-prasangka kolektif, dan pola pikir reaktif yang dibentuk oleh pendidikan atau kebiasaan. Di sinilah Sufisme mulai berperan, bukan dengan meruntuhkan akal, tetapi dengan menempatkannya pada tempat yang proporsional. Logika dibutuhkan, kata Rumi, sebagaimana seseorang memerlukan penunjuk jalan menuju seorang dokter. Namun setelah tiba, logika harus memberi ruang pada pengalaman langsung, pada penghayatan batiniah.
Tuhan dalam pengertian Sufi bukanlah Tuhan dalam artikulasi teologis skolastik yang kerap terjebak dalam spekulasi metafisik ataupun polemik apologetik. Ia bukan pula objek debat antara kaum saleh dan ateis. Bagi Sufi, Tuhan adalah realitas pengalaman—suatu kehadiran yang tidak dapat dipaksakan oleh premis-premis rasional atau dipertahankan oleh dogma. Maka tidak mengherankan jika para Sufi kerap menggunakan bahasa simbolik, puisi, dan fabel untuk menyampaikan gagasannya. Dalam satu alegori, seekor rajawali agung—lambang kesadaran tinggi—beristirahat di reruntuhan yang dihuni burung-burung hantu. Mereka menuduhnya sebagai penjajah, tidak sadar bahwa burung itu bukan hendak merebut rumah mereka, melainkan hanya singgah sejenak dalam ziarahnya menuju sang Raja. Bagi Rumi, inilah gambaran hubungan antara manusia yang terkungkung dalam dunia konvensional dan jiwa tercerahkan yang bebas dari ilusi tersebut.
Sufisme memandang ajaran semua nabi besar—termasuk Yesus dan Muhammad—sebagai aspek dari satu jalan integral menuju penyatuan Ilahi. Jalan Yesus ditafsirkan sebagai jalan asketisme dan penguasaan hawa nafsu melalui kesunyian, sedangkan jalan Muhammad adalah realisasi spiritual di tengah kehidupan sosial. Rumi tidak meminta kita memilih salah satu secara eksklusif, melainkan mengajak untuk memahami keduanya sebagai dimensi dalam lanskap spiritual yang lebih luas. Di sini, pluralitas bukanlah kontradiksi, tetapi spektrum kebenaran yang bersumber dari asal yang satu.
Namun demikian, tidak semua orang dapat memahami realitas ini. Seorang materialis, betapapun cerdasnya secara intelektual, jika tidak mampu melepaskan dirinya dari belenggu persepsi tunggal terhadap kenyataan fisikal, akan selalu memandang ajaran Sufi sebagai kontradiktif atau bahkan tidak logis. Ia akan menuntut konsistensi literal, tanpa menyadari bahwa bahasa Sufi sering kali bersifat spiral, metaforis, dan bertingkat. Dalam hal ini, mistikus memang bergerak dalam ranah yang berbeda dengan filsuf atau ilmuwan. "Mereka yang tidak memahami sesuatu," ucap Rumi, "akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna."
Namun harapan tetap ada. Dalam setiap manusia terdapat potensi untuk bangkit dari pengondisian, meskipun terkubur. Potensi ini—fitrah menurut istilah Islam—terwujud paling kuat dalam bentuk cinta. Cinta, dalam pandangan Rumi, adalah kekuatan transformatif yang melampaui nalar dan membuka jalan menuju penyatuan. Ia adalah nyala api kecil dalam jiwa yang, jika dirawat, bisa menjadi api unggun pencerahan. "Panas api tungku mungkin terlalu kuat," kata Rumi, "tetapi nyala kecil dari lampu bisa memberimu kehangatan yang kau butuhkan."
Namun perjalanan ini tidak bisa dilakukan sendirian. Sufi mempertanyakan klaim seseorang yang mengira bisa menemukan kebenaran mutlak sendirian. “Bagaimana engkau bisa mencari sesuatu jika engkau bahkan tak mengenali bentuknya?” Dalam pengembaraan ini, peran guru spiritual (murshid) menjadi sentral—bukan sebagai figur otoritatif yang mendikte, tetapi sebagai fasilitator transendensi. Seorang guru sejati tidak memenjarakan murid dalam ketergantungan, tetapi membebaskannya agar tumbuh menjadi dirinya sendiri yang tercerahkan.
Sebaliknya, guru palsu—yang juga tidak sedikit—bermain dalam penampilan. Ia menciptakan ilusi kebijaksanaan agar dikagumi. Ia menyimpan “rahasia” bukan untuk mentransmisikan kebenaran, tetapi untuk menjaga kekuasaan atas murid. Rumi memperingatkan dengan tajam: "Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai mencari airnya?"
Sufi sejati, sebaliknya, mendidik melalui kerja batin dan kegiatan nyata. Kehidupan dunia tidak ditolak. Justru dari sana, seseorang harus bekerja—bukan hanya secara fisikal, tetapi juga pada tingkat transmutasi diri. Inilah makna alkimia spiritual: tanah menjadi istana, kapas menjadi permadani, dan manusia biasa menjadi insan kamil melalui sentuhan kehadiran spiritual. "Kerja," dalam istilah Sufi, adalah kerja pada diri, penyulingan batin, sublimasi nafsu, dan pengaktualan potensi ilahiah.
Rumi menyadari bahwa dalam tahap awal, seorang murid membutuhkan bimbingan langsung. Namun begitu telah menemukan fondasinya, sang guru mundur, dan murid melanjutkan perjalanan sebagai makhluk merdeka. Di sinilah letak tantangan: bagaimana membedakan antara yang palsu dan yang sejati. Sebab guru sejati kerap tidak tampak seperti yang diharapkan oleh para pencari yang belum matang. Rumi menyindir para murid yang terpesona oleh tampilan lahir: "Berapa lama kau hanya menyukai roti dan kacang seperti anak kecil?"
Akhirnya, pengalaman spiritual dalam Sufisme tidak pernah tunggal dan statis. Ia berkembang bersama kesadaran yang terus dimurnikan. Bagi Rumi, realitas yang kita lihat hanyalah bagian kecil dari keseluruhan yang lebih besar, seperti gunung es yang hanya tampak puncaknya. Untuk mengakses lapisan terdalam realitas, seseorang harus menempuh jalan disiplin, introspeksi, dan cinta yang mendalam. Di sinilah peran meditasi dan kontemplasi menjadi vital, bukan untuk melarikan diri dari dunia, tetapi untuk menemukan makna sejati di balik semua yang tampak.
Rumi membedakan antara tindakan individual dan tindakan komprehensif. Dalam contoh yang ia berikan: sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda. Yang satu menenun kain, yang lain menjahit, yang ketiga menyiapkan tali. Tampaknya mereka bekerja secara terpisah, namun sebenarnya mereka semua sedang terlibat dalam satu tindakan menyeluruh: membangun tempat perlindungan. Inilah metafora bagi kehidupan spiritual: meskipun setiap individu memiliki tugas unik, semuanya merupakan bagian dari gerak kosmik yang lebih besar—tarian semesta menuju Tuhan.
Dalam pandangan para Sufi, kehidupan harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh, baik secara kolektif maupun individual. Prinsip ini sejalan dengan pandangan kosmik yang menyeluruh—bahwa segala sesuatu tersusun dalam satu rancangan besar yang hanya dapat diselami melalui pengalaman langsung. Kesadaran akan keterpaduan ini menjadi dasar bagi proses pencerahan spiritual.
Seiring bertambahnya pengalaman batin, seorang Sufi secara perlahan mulai membentuk ulang kerangka berpikirnya agar selaras dengan prinsip-prinsip ini. Sebelum mencapai pengalaman mistik yang sejati, seorang pencari kerap terjebak dalam idealisasi—baik terhadap konsep spiritualitas, guru, maupun jalan Tarekat. Ia mungkin berpikir bahwa ada kunci emas tunggal yang dapat membuka segala rahasia. Namun, seperti dikatakan Rumi, pertumbuhan sejati tidak selalu tampak dari luar. Di musim dingin, sebuah pohon tampak diam, namun sejatinya ia sedang mengumpulkan makanan. Baru di musim semi, bunga-bunga bermekaran. Demikian pula, pencerahan harus datang secara bertahap. Jika datang sekaligus, ia bisa menjadi kekuatan yang tak tertahankan dan merusak.
Dalam sistem pendidikan spiritual Sufi, pelatihan skolastik digantikan oleh pembinaan esoterik yang disesuaikan dengan kapasitas murid. Rumi memperingatkan: alat-alat pandai besi tak ada gunanya di tangan tukang sepatu, dan alat-alat tukang sepatu tak bermanfaat di ladang petani. Dalam dunia spiritual, tidak semua instrumen sesuai bagi semua pencari.
Kebutuhan batin manusia, yang kerap dianggap sebagai dorongan psikologis, ditafsirkan oleh Sufi sebagai suara jiwa yang tengah mencari kebenaran. Rumi menegaskan bahwa manusia sering kali tidak benar-benar memahami apa yang mereka cari. Mereka mengejar berbagai tujuan, namun jeritan batin tetap terdengar bahkan setelah semua itu tercapai. Freud, menurut pembacaan Rumi, mungkin terjebak pada manifestasi sekunder dari jeritan eksistensial ini, bukan pada sumber aslinya.
Realitas pun tidaklah tunggal. Seseorang dapat melihat seseorang lain sebagai jahat, sementara orang ketiga melihatnya sebagai baik. Semua ini berakar dari keadaan batin dan persepsi masing-masing. Dalam perumpamaan Rumi: "Ikan dan kail keduanya hadir."
Seorang murid diajarkan untuk tidak hanya melihat, tetapi mengalami. Ia tidak cukup hanya mengetahui konsep, melainkan harus merasakannya secara langsung. Ia diajak merenungkan, sebagaimana dinyatakan Rumi: “Orang kenyang dan orang lapar tidak melihat hal yang sama saat memandangi sepotong roti.”
Jika seseorang masih terikat sepenuhnya pada kebiasaannya, maka kapasitas spiritualnya pun terbatas. Rumi mengutamakan pengalaman sebagai dasar pengembangan—bukan sekadar teori moral tentang benar dan salah. Kata-kata, bagi Rumi, adalah sarana sekunder. Yang utama adalah makna dan pengaruh batiniah yang ditimbulkannya. “Kata-kata mempengaruhi mereka yang lemah,” katanya. “Namun kebenaran bukanlah sekadar dalam kata, melainkan dalam tindakan dan realitas batin.”
Latihan demi latihan membuat murid Sufi mulai melihat dunia dengan cara baru. Ia belajar untuk bertindak tidak berdasarkan kebiasaan, melainkan dari kesadaran yang lebih tinggi. Ia mulai memahami makna terdalam dari nasihat seperti: “Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya!” Apa yang bagi orang awam tampak biasa, bagi Sufi bisa menjadi pintu menuju realitas transenden. “Apa yang tampak batu bagi manusia biasa,” ujar Rumi, “adalah mutiara bagi sang Alim.”
Ketika cahaya pengalaman spiritual mulai menyentuhnya, sang salik akan mengenali momen-momen ilham sebagai pancaran singkat dari kebenaran. Namun ilham ini tidak dapat dipaksa. “Rahasia melindungi dirinya sendiri,” kata Rumi. Jika dikejar tanpa kesiapan, ia akan menjauh. Namun jika hati siap, rahasia itu datang lembut seperti burung yang jinak, tak ingin hinggap di tempat yang tidak layak.
Pada jenjang tertentu, barulah seorang Sufi dapat menyampaikan pemahaman kepada orang lain. Sebelum itu, mencoba berbicara tentang kebenaran bisa membuatnya “lenyap”—terjebak dalam ilusi dirinya sendiri.
Keseimbangan menjadi prinsip penting. Pikiran diibaratkan jaring yang halus: terlalu banyak cinta atau kebencian bisa merobeknya. Dalam keseimbangan antara dua kutub inilah, kekuatan spiritual bisa bekerja. “Jangan lakukan keduanya!” peringat Rumi.
Jika kehidupan batin seseorang telah dibangkitkan, maka indera-indera batin mulai aktif. Indera ini sejatinya mirip dengan indera fisik, namun perbandingan di antara keduanya seperti emas dan tembaga. Setiap individu memiliki kapasitas unik, dan karenanya jalur pengembangannya pun harus sesuai dengan karakter batinnya.
Ketika kualitas batiniah berkembang, manusia akan mengalami perubahan rasa yang lebih halus. Nilai-nilai rendah digantikan oleh cita rasa tinggi. Bahkan, pengertian tentang hikmah dan kebodohan berubah. “Jika seseorang hanya memiliki hikmah tanpa sedikit pun kebodohan,” kata Rumi, “ia akan hancur oleh kebijaksanaannya sendiri.” Kebodohan, dalam batas tertentu, menjadi penyeimbang yang diperlukan, sebagaimana malam melengkapi siang.
Tema dualitas yang berdamai menjadi ciri khas lain dari ajaran Rumi. Ketika pertentangan lahiriah berhasil diselaraskan dalam diri, maka sang individu bukan hanya menjadi utuh, tetapi juga mampu melampaui batas-batas manusia biasa. Namun pengalaman ini bersifat pribadi dan tidak dapat sepenuhnya dikomunikasikan melalui bahasa. “Kitab sang Sufi,” tulis Rumi, “bukan huruf-huruf yang kelam, melainkan seputih kalbu.”
Pada jenjang ini, sang Sufi mengembangkan intuisi yang hampir tak pernah salah. Ia bisa membedakan fakta dari fiksi, membedah maksud tulus dari kepura-puraan. Ancaman terbesar bagi kejujuran spiritual adalah para peniru—orang-orang yang berbicara seperti Sufi, tetapi tidak minum dari sumber yang sama. Mereka hanya penyalur air, tanpa pernah merasakannya sendiri.
Karena telah merasakan dalam dirinya betapa beratnya perjalanan spiritual, Sufi menyadari pentingnya bimbingan yang hati-hati dan metodis. Dalam Matsnawi, Rumi menyampaikan peringatan melalui fabel: seekor singa duduk dalam kandang yang gelap, setelah memakan sapi pemiliknya. Ketika pemilik sapi masuk dan meraba tubuh singa dalam kegelapan, ia tidak takut, sebab menyangka itu adalah sapinya. Jika ada cahaya, ia akan ketakutan dan mati. Ini adalah pelajaran: bahwa kebodohan kadang melindungi kita dari kengerian yang belum bisa kita tanggung.
Sufi juga memahami bahwa di balik peristiwa-peristiwa duniawi yang tampak acak, sering tersembunyi rahasia ilahi. Mengapa seorang murid memerlukan waktu lebih lama dibanding yang lain, meskipun praktiknya serupa? Dalam perumpamaan Rumi, dua pengemis datang meminta roti. Yang pertama diberi roti basi dan langsung pergi. Yang kedua diminta menunggu—karena untuknya, roti segar sedang dipanggang.
Dengan pemahaman ini, sang Sufi meninggalkan dunia dimensi dan membuka dirinya pada dunia non-dimensi. “Engkau berasal dari dunia non-dimensi,” bisik Rumi. “Tutuplah yang pertama, dan bukalah yang kedua.”
Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi menghadirkan sebuah ilustrasi yang menggambarkan kondisi kesadaran manusia dalam hubungannya dengan realitas sejati. Ia bercerita tentang seorang pemabuk yang melihat seorang Raja lewat dengan menunggang kuda mahal. Pemabuk itu mencemooh kuda tersebut, hingga Raja memanggilnya. Saat ditanya, pemabuk menjawab, “Dulu aku adalah pemabuk itu yang berdiri di atas atap, tapi sekarang aku bukan dia lagi karena dia telah pergi.” Jawaban ini membuat Raja puas dan bahkan memberinya hadiah. Pemabuk dalam kisah ini adalah sang Sufi, dan pribadi yang sadar itulah sesungguhnya dirinya yang hakiki. Sang Sufi bertindak sesuai dengan realitas sejatinya, sehingga ia menerima “hadiah” itu—yang juga menunjukkan bahwa ia menjalankan fungsi penting: menyampaikan pemahaman bahwa tidak semua tindakan seseorang harus dipertanggungjawabkan secara lahir, dan sekaligus memberi kesempatan bagi Raja untuk berbuat baik.Seperti halnya anggur yang sudah matang tak mungkin kembali menjadi mentah, evolusi spiritual manusia tidak dapat dihentikan. Namun, proses evolusi ini bisa terdistorsi jika diarahkan oleh mereka yang tidak memahami hakekat intuisi sejati. Oleh sebab itu, ajaran-ajaran Sufisme rentan diselewengkan, bahkan seorang yang sudah tercerahkan pun dapat terjebak jika terlalu sering membuka dirinya secara terbuka kepada khalayak awam. Dalam mengajarkan hikmah mistik, Rumi, seperti guru-guru Sufi lainnya, selalu memperingatkan:
"Ketika lentera batin permata masih menyala,
Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak."
Ia juga sependapat dengan para guru yang menolak menyampaikan ilmu mistik kepada siapa saja tanpa seleksi, “Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput, mereka pun akan mempertanyakannya,” apapun pertanyaannya.
Para Sufi menolak cara berpikir yang kaku dan obsesif ala intelektual murni dan pemikir skolastik, sebab pendekatan semacam itu dianggap membahayakan pikiran yang harusnya terbuka dan hidup. Di sisi lain, mereka juga menolak ekstrimisme yang menganggap semua persoalan hanya bisa diselesaikan dengan intuisi atau asketisisme saja. Rumi menegaskan pentingnya keseimbangan antara pikiran dan intuisi.
Kesatuan antara pikiran dan intuisi yang menghasilkan pencerahan ini berlandaskan pada Cinta — tema sentral yang ia tekankan. Cinta bagi Rumi adalah kunci yang tak terwakili secara sempurna kecuali dalam pengalamannya sendiri, dan sulit untuk dipaparkan di luar konteks madzhab Sufi yang menghidupinya. Sebagaimana intelektualisme bekerja dengan bahan konkret, Sufisme merangkul kenyataan yang kasat mata dan yang tersembunyi. Sementara ilmu dan skolastisisme cenderung mempersempit wilayah kajian mereka, Sufisme justru mengambil semua bukti kebenaran di mana pun ditemukan.
Kemampuan Sufisme untuk mengasimilasi berbagai unsur budaya, mitos, simbolisme, dan tradisi—baik dari India, Yunani, hingga praktik spiritual Shaman—telah membuat para komentator, bahkan dari Timur sekalipun, terkagum-kagum. Mereka memburu asal-usul cerita dan gagasan untuk memperkaya tradisi Sufi, kadang bahkan untuk mempertahankan madzhabnya dari serangan internal. Atmosfir khas madzhab Sufi seperti ini sangat terasa dalam karya Rumi, terutama Masnawi dan Fihi Ma Fihi. Namun, para eksternalis sering memandang karya-karya itu sebagai membingungkan dan tak beraturan.
Memang, kedua kitab ini seharusnya dipahami sebagai panduan yang harus diintegrasikan dengan ajaran dan praktik Sufi nyata—meliputi kerja, pemikiran, kehidupan, dan seni. Bahkan komentator yang sadar akan atmosfer ini sering kali kebingungan ketika mencoba menjelaskan isi karya tersebut secara rasional, apalagi jika mereka mengklaim sebagai Sufi tanpa melalui metode spiritual yang otentik. Fenomena ini juga berimbas pada studi Sufisme di Barat yang kini tengah mengalami kebangkitan, walau masih harus melalui banyak proses pendalaman. Di Barat, muncul istilah “Sufi intelektual” yang kini menjadi kegemaran, meskipun esensi Sufi yang sejati belum sepenuhnya terjelajah.
Sufisme memiliki terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi kaya akan istilah-istilah yang mewakili konsep dan pengalaman spiritual. Dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, ia menggambarkan aktivitas spiritual melalui puisi rapsodik yang penuh semangat, menyampaikan ajaran Sufi dalam “pikiran dan tindakan” dengan metode proyeksi yang mendalam:
Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka,
Maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati.
Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orang yang merana.
Minumlah anggur agar engkau tidak mempunyai rasa malu.
Tutuplah kedua mata lahirmu, agar engkau bisa melihat dengan mata batin.
Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan.
Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala.
Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar?
Dan mengapa engkau menerima kewajiban militer hanya demi tiga potong roti?
Puisi ini mengajak untuk membuka diri terhadap kebahagiaan spiritual sejati dengan melampaui kondisi duniawi yang fana dan penuh penipuan. Sufi tidak sekadar pasif menunggu anugerah; mereka harus aktif membuka tangan untuk menerima pelukan Ilahi dan menolak “berhala-berhala” duniawi yang membelenggu. “Perempuan tua” adalah metafora untuk segala pengalaman dunia yang menghambat jiwa, sedangkan “tiga potong roti” adalah simbol kebutuhan duniawi yang sering membuat manusia rela mengorbankan potensi spiritualnya.
Sahabat yang datang di malam hari adalah gambaran keheningan dan ketenangan batin saat segala hiruk-pikuk dunia sudah usai. Makanan yang dimaksud bukan makanan jasmani, melainkan makanan batin yang memberi kehidupan sejati. Dengan berputar dalam lingkaran, simbol dari latihan spiritual Sufi, seseorang meninggalkan kehidupan fana dan memasuki hubungan intim dengan “Pengembala” sejati, yaitu Tuhan
No comments:
Post a Comment