Dahulu, dalam kepercayaan bangsa Viking, gerhana diyakini terjadi karena dua serigala mitologis—Skoll dan Hati—berusaha memangsa matahari atau bulan. Saat peristiwa ini terjadi, masyarakat akan menciptakan kegaduhan, memukul-mukul benda dan berteriak, berharap bisa mengusir kedua makhluk itu dan mengembalikan langit seperti sediakala. Seiring waktu, orang mulai menyadari bahwa gerhana akan berakhir terlepas dari usaha mereka menakut-nakuti monster tersebut. Fenomena alam tetap terjadi tanpa peduli pada ritual atau teriakan manusia.
Ketidaktahuan manusia awal mengenai cara kerja alam telah melahirkan berbagai mitos sebagai upaya menjelaskan dunia sekitar mereka. Namun, pada titik tertentu, muncul pendekatan baru: filsafat. Manusia mulai menggunakan nalar dan intuisi logis untuk menyingkap misteri semesta. Kini, alat utama kita adalah rasionalitas, matematika, serta eksperimentasi—dengan kata lain, ilmu pengetahuan modern.
Albert Einstein pernah menyatakan bahwa "hal paling tak dapat dimengerti dari alam semesta adalah bahwa ia bisa dimengerti." Dengan ini, ia menekankan bahwa alam semesta tidak beroperasi dengan semrawut seperti rumah berantakan pada hari buruk. Sebaliknya, ia berjalan menurut seperangkat hukum universal. Segala sesuatu, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, mengikuti hukum yang sama—tanpa pengecualian.
Isaac Newton pernah berpendapat bahwa tata surya kita tidak mungkin terbentuk secara acak, melainkan diciptakan oleh Tuhan dan dijaga keberlangsungannya hingga kini. Namun, pemahaman kita yang kian maju dalam kosmologi telah mengguncang ide tentang "rancangan besar" yang dibuat oleh pencipta agung. Kemajuan ilmu justru memberikan penjelasan bagaimana hukum-hukum alam yang tampak sempurna bagi kehidupan manusia bisa eksis tanpa perlu keterlibatan makhluk adikodrati.
Kemunculan manusia, sebagaimana bentuk kita sekarang, memang melibatkan banyak peristiwa yang kelihatannya kebetulan luar biasa. Akan sangat membingungkan jika ternyata tata surya kita adalah satu-satunya tempat yang bisa mendukung kehidupan. Tetapi kini, kita telah menemukan ratusan sistem bintang lain, dan tidak banyak yang meragukan bahwa ada kemungkinan besar kehidupan dalam bentuk serupa tersebar di antara miliaran bintang di galaksi kita.
Planet seperti Bumi, yang mengandung semua elemen penting bagi kehidupan, ternyata tidak unik. Makhluk hidup yang mampu memeriksa lingkungannya pasti akan mendapati bahwa lingkungan itu cocok bagi keberadaannya. Hal ini logis: jika tidak cocok, makhluk itu tentu tidak akan ada sejak awal.
Pernyataan ini bisa diformulasikan sebagai prinsip ilmiah yang dikenal sebagai prinsip antropis lemah. Intinya, fakta bahwa kita ada membatasi jenis lingkungan di mana kita bisa muncul. Contohnya, meski kita tidak mengetahui secara langsung jarak Bumi dari Matahari, kita tahu bahwa keberadaan kita mensyaratkan jarak itu berada dalam rentang tertentu. Terlalu dekat, maka air akan menguap; terlalu jauh, maka ia akan membeku. Karena kita membutuhkan air dalam wujud cair, jaraknya harus pas.
Prinsip antropis lemah ini umumnya diterima tanpa banyak kontroversi. Namun, ada versi yang lebih kuat dan lebih diperdebatkan, yang dikenal sebagai prinsip antropis kuat. Gagasan ini menyatakan bahwa bukan hanya lingkungan kita, melainkan hukum-hukum alam itu sendiri seolah-olah disesuaikan dengan keberadaan kita.
Alasan prinsip ini muncul adalah karena tidak hanya karakteristik sistem tata surya kita yang tampaknya dirancang untuk kehidupan, tetapi hukum-hukum alam semesta secara keseluruhan juga demikian. Hukum-hukum tersebut seakan-akan disusun untuk memungkinkan kehidupan berkembang, dan hanya sedikit ruang untuk variasi tanpa menyebabkan keruntuhan total struktur kehidupan.
Kisah awal alam semesta dimulai dengan unsur-unsur sederhana seperti hidrogen, helium, dan sejumlah kecil litium. Agar unsur-unsur berat seperti karbon dapat terbentuk dari elemen-elemen awal itu, kekuatan alam harus sangat tepat—baik intensitasnya maupun stabilitasnya selama miliaran tahun. Unsur berat seperti karbon dan oksigen terbentuk di dalam bintang, dan agar bintang-bintang bisa terbentuk dan meledak pada saat yang tepat untuk menyebarkan elemen-elemen itu ke ruang angkasa, hukum-hukum fisika harus tepat.
Namun, ini pun belum cukup. Proses evolusi bintang harus mendukung pembentukan generasi baru bintang dan planet dengan bahan-bahan yang telah diperkaya itu. Dengan kata lain, hukum alam harus mengizinkan sirkulasi materi antarbintang, dan memungkinkan pembentukan sistem planet yang kompleks seperti Bumi.
Fisikawan dapat menguji dampak perubahan kecil pada hukum fisika melalui model matematis. Hasilnya mengejutkan: perubahan hanya 0,5% dalam kekuatan nuklir, atau 4% dalam gaya elektromagnetik, akan menghilangkan hampir seluruh karbon atau oksigen dari bintang-bintang. Dengan kata lain, bahkan penyimpangan kecil pada konstanta-konstanta fundamental akan menghasilkan alam semesta yang sangat berbeda—dan sering kali tak ramah terhadap kehidupan.
Contoh lainnya: jika massa proton hanya 0,2% lebih berat, ia akan membusuk menjadi neutron, dan seluruh struktur atom akan runtuh. Dalam skenario itu, tidak akan ada kimia kompleks—dan karenanya, tidak akan ada kehidupan seperti yang kita kenal.
Bahkan jumlah dimensi ruang memiliki peran penting. Menurut hukum gravitasi, orbit planet yang stabil hanya mungkin terjadi dalam ruang tiga dimensi. Jika jumlah dimensi ruang berbeda, gangguan sekecil apa pun bisa mengacaukan orbit planet dan menyebabkan bencana.
Semua ini menunjukkan bahwa keberadaan makhluk kompleks seperti manusia sangat bergantung pada keseimbangan yang amat presisi dari hukum-hukum fisika. Namun, apakah ini kebetulan murni? Atau ada maksud di balik semua itu?
Sebagian orang menjawab pertanyaan ini dengan melibatkan Tuhan. Mereka melihat keberaturan dan keselarasan hukum alam sebagai bukti perancangan ilahi. Gagasan bahwa alam semesta dirancang khusus untuk manusia telah muncul dalam teologi dan mitologi selama ribuan tahun. Dalam tradisi Barat, misalnya, Perjanjian Lama berbicara tentang dunia yang diciptakan untuk umat manusia. Sementara itu, pemikiran Kristen dipengaruhi Aristoteles, yang meyakini bahwa alam memiliki tujuan dan rancangan yang disengaja.
Namun, sains modern memberikan jawaban berbeda. Penemuan terbaru dalam kosmologi menunjukkan bahwa hukum gravitasi dan prinsip mekanika kuantum memungkinkan alam semesta muncul begitu saja dari ketiadaan. Dengan kata lain, penciptaan spontan adalah penyebab mengapa ada sesuatu daripada tidak ada apa-apa. Dan tidak diperlukan entitas supernatural untuk memicu proses itu.
Faktanya, teori-teori terkini menyatakan bahwa alam semesta kita bisa jadi hanya salah satu dari banyak semesta lain—masing-masing dengan hukum yang berbeda. Ide multiverse ini bukan upaya menjelaskan keteraturan secara ad hoc, melainkan konsekuensi dari banyak teori fisika modern, termasuk teori string dan kosmologi inflasi. Jika gagasan ini benar, maka prinsip antropis yang kuat dapat direduksi menjadi versi lemahnya: kita hanya hidup di semesta yang hukum-hukumnya cocok untuk kehidupan karena, tentu saja, kita tidak mungkin muncul di semesta yang tidak cocok.
Setiap alam semesta dalam multiverse kemungkinan memiliki sejarah dan parameter yang berbeda. Hanya sebagian kecil yang dapat mendukung kehidupan seperti kita. Jadi, meski keberadaan manusia tampak kecil dan tidak penting dalam skala kosmos, justru hal itulah yang membuat keberadaan kita lebih dapat dijelaskan tanpa melibatkan kekuatan adikodrati.
Stephen Hawking adalah profesor di Universitas Cambridge. Leonard Mlodinow adalah fisikawan dan pengajar di Caltech. Tulisan ini diadaptasi dari buku The Grand Design karya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow. Hak cipta © Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow. Dicetak dengan izin dari Random House Publishing Group.
No comments:
Post a Comment