Namun, pandangan ini segera terbentur keterbatasannya sendiri ketika manusia bertanya tentang makna. Eugene Wigner, fisikawan dan matematikawan peraih Nobel, pernah menyindir keterbatasan reduksionisme ilmiah dengan bertanya: "Dalam persamaan Schrödinger, bagian mana yang menjelaskan arti kebahagiaan hidup?" Sains, dengan segala kemampuannya menjelaskan mekanisme, sering kali gagal menjelaskan mengapa manusia begitu tersentuh oleh cinta, keindahan, dan pengorbanan.
Bayangkan seseorang berkata, “Aku mencintai wanita paling cantik di dunia.” Bagaimana seorang skeptik dapat membuktikan bahwa ia mustahil menemukan wanita itu di antara tiga miliar perempuan di dunia? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa cinta tidak tunduk sepenuhnya pada hukum probabilitas. Ia bukan hanya masalah kemungkinan, tetapi juga makna—dan makna adalah sesuatu yang melampaui sekadar angka dan senyawa kimia.
Deepak Chopra memperingatkan bahwa ketika manusia kehilangan momen-momen inspirasi—seperti cinta, keindahan, dan pengalaman akan realitas yang lebih tinggi—maka hidup akan terjebak dalam kebosanan, rutinitas, penderitaan, dan keletihan eksistensial. Cinta, dalam hal ini, bukan sekadar sensasi atau reaksi saraf, tetapi jendela menuju yang transenden—sebuah pengalaman yang menyiratkan adanya tatanan lebih tinggi yang tak kasat mata.
Ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam: Apakah ada sesuatu di luar ruang dan waktu yang menjadi sumber dari seluruh keberadaan? Apakah penciptaan semesta dimulai dari "ketiadaan" mutlak, atau dari sumber non-fisik yang mengandung struktur cerdas—pikiran universal yang selaras dengan hukum-hukum kosmos?
Pertimbangkan keajaiban keteraturan alam: jika nilai gravitasi berubah sedikit saja—kurang dari satu per satu miliar—hasilnya bukan hanya semesta yang berbeda, tapi kehancuran total: bumi akan tercerai-berai oleh ledakan proto-gas, atom dan molekul tak akan pernah terbentuk, dan kehidupan takkan pernah ada.
Dengan kata lain, cinta dan keindahan mungkin bukan sekadar produk sampingan dari proses biologis acak. Mereka mungkin adalah gema dari realitas terdalam—manifestasi dari suatu kesadaran atau kecerdasan transenden yang menyusun semesta ini dengan presisi luar biasa.
Maka, menolak cinta sebagai ilusi kimiawi semata justru menutup diri dari dimensi terdalam eksistensi manusia. Dalam cinta, manusia tidak hanya menemukan makna, tetapi juga kemungkinan untuk bersentuhan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya—yang mungkin adalah jejak dari Sang Sumber itu sendiri.
AOS
No comments:
Post a Comment