Friday, September 20, 2019

MORALITAS: Akar Sejarah dan Evolusi Etika Manusia

Jauh sebelum Musa menerima loh batu di Gunung Sinai, kisah-kisah tentang keadilan dan ketidakadilan sudah tercatat dalam peradaban-peradaban kuno. Dalam Satire of the Eloquent Peasant—sebuah teks Mesir Kuno dari sekitar tahun 1800 SM—seorang petani miskin bernama Khunanup mengajukan banding kepada para pejabat kerajaan setelah hartanya dirampas oleh tuan tanah yang serakah. Dalam serangkaian pidato, ia tidak hanya menuntut keadilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menyampaikan argumentasi moral yang mengangkat nilai universal: bahwa negara seharusnya melindungi yang lemah dari penindasan oleh yang kuat. Dalam salah satu alegorinya yang tajam, ia menggambarkan korupsi sebagai tindakan mencekik orang miskin dengan menyumbat lubang hidung mereka—sebuah metafora yang mencerminkan betapa pentingnya keadilan bagi kelangsungan hidup manusia biasa.

Lebih dari satu milenium kemudian, sekitar abad ke-18 SM, Raja Hammurabi dari Babilonia menulis Kode Hammurabi, sebuah kumpulan hukum yang salah satu tujuannya, menurut pengakuannya sendiri, adalah untuk “menegakkan keadilan di negeri ini, menghancurkan orang jahat dan penjahat, sehingga yang kuat tidak menindas yang lemah.” Kode ini tidak hanya mencerminkan struktur hukum kuno, tetapi juga menyiratkan konsep moral bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat luas, bukan untuk eksploitasi.

Sementara itu, di Asia Timur, jauh dari tanah Kanaan dan para nabi Ibrani, Konfusius (551–479 SM) mengajarkan prinsip ren—kasih sayang dan kemanusiaan universal. Ia menyatakan bahwa seseorang harus “tidak memperlakukan orang lain dengan cara yang ia sendiri tidak ingin diperlakukan,” yang secara esensial merupakan bentuk dari Golden Rule. Ajaran ini muncul hampir lima abad sebelum Rabi Hillel merumuskannya sebagai inti ajaran Taurat. Laozi, pendiri Taoisme, dan Mahavira, tokoh utama Jainisme, juga menekankan hidup sederhana, welas asih, dan penghindaran dari kekerasan.

Dalam tradisi India, Siddhartha Gautama (Buddha) dan Mahavira mengajarkan ahimsa—prinsip non-kekerasan terhadap semua makhluk hidup—yang menjadi inti moralitas dalam Buddhisme dan Jainisme. Mahavira, khususnya, menyerukan agar manusia menghindari melukai bahkan makhluk terkecil sekalipun, termasuk serangga. Ajaran-ajaran ini muncul jauh sebelum lahirnya agama-agama Abrahamik dan mengindikasikan bahwa kode etik universal tidak terbatas pada wilayah atau wahyu tertentu.

Di era modern, ilmu pengetahuan telah memperkuat pandangan bahwa moralitas bukanlah semata-mata produk ajaran agama, melainkan juga hasil dari proses evolusi panjang. Penelitian dalam bidang etologi dan psikologi evolusioner menunjukkan bahwa spesies mamalia sosial—seperti simpanse, bonobo, gajah, lumba-lumba, hingga serigala—menunjukkan perilaku yang mencerminkan bentuk-bentuk awal dari empati, kerja sama, keadilan, dan bahkan kemurahan hati.

Frans de Waal, seorang primatolog terkenal, mendokumentasikan bahwa simpanse dan bonobo sering kali menunjukkan perilaku altruistik, seperti berbagi makanan, menenangkan individu yang stres, atau menghukum sesama yang bersikap egois. Hal ini mendukung hipotesis bahwa moralitas memiliki dasar biologis yang tertanam dalam struktur sosial nenek moyang kita jutaan tahun yang lalu.

Dalam hal ini, moralitas dapat dipahami sebagai adaptasi evolusioner—sebuah mekanisme yang membantu spesies sosial bertahan hidup melalui peningkatan kohesi kelompok dan kerja sama timbal balik. Seiring waktu, intuisi moral ini menjadi dasar bagi sistem nilai budaya yang lebih kompleks, yang kemudian dikodifikasikan dalam hukum dan agama.

Dengan kata lain, moralitas bukanlah penemuan mendadak atau eksklusif dari wahyu tertentu, melainkan bagian dari perangkat biologis dan budaya umat manusia. Ia adalah ekspresi dari sesuatu yang lebih dalam: kemampuan universal manusia—yang juga meliputi seni, spiritualitas, dan kreativitas—yang berasal dari proses evolusi dan tertanam dalam DNA kita.

AOS

No comments:

Post a Comment