Friday, September 20, 2019

Sekularisme: Nilai-nilai Inti dan Relevansinya dalam Dunia Modern

Sekularisme bukanlah sebuah penolakan terhadap agama, melainkan afirmasi terhadap prinsip-prinsip rasional, humanistik, dan etis yang memungkinkan kehidupan bersama yang adil dan terbuka. Di jantung pandangan sekuler terdapat komitmen terhadap kebenaran—sebuah kebenaran yang tidak bersumber dari wahyu atau tradisi, tetapi dari observasi, bukti empiris, dan analisis rasional. Dalam paradigma ini, tidak ada kelompok atau otoritas yang memiliki monopoli atas kebenaran. Sebaliknya, kebenaran dianggap dapat muncul dari berbagai sumber: dari fosil purba yang menjelaskan asal-usul spesies, dari citra teleskopik galaksi-galaksi jauh, dari data statistik tentang ketimpangan ekonomi, atau dari kebijaksanaan yang terkandung dalam teks-teks budaya dan agama dari berbagai tradisi. Komitmen pada kebenaran ini menjadi fondasi ilmu pengetahuan modern, yang dibangun bukan atas dasar kepatuhan, melainkan melalui proses verifikasi terbuka dan koreksi diri yang terus-menerus. 
Namun, kebenaran saja tidak cukup. Etika sekuler juga berakar pada belas kasih—kesadaran akan penderitaan makhluk lain, dan kehendak untuk mengurangi penderitaan tersebut sebisa mungkin. Prinsip ini tidak bergantung pada perintah ilahi, tetapi pada kemampuan manusia untuk merasakan, memahami, dan merespons rasa sakit orang lain. Psikologi moral kontemporer menunjukkan bahwa empati dan kepekaan terhadap penderitaan merupakan fondasi universal dari moralitas, dan bisa tumbuh dalam konteks religius maupun non-religius. Etika semacam ini memungkinkan terbentuknya rasa tanggung jawab yang tidak bersifat tribalistik, melainkan bersifat universal.

Kebenaran dan belas kasih, ketika dijalankan secara konsisten, akan menuntun pada prinsip kesetaraan. Mengistimewakan satu kelompok atas dasar ras, gender, kelas, atau agama bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak akurat secara moral dan epistemologis. Pengetahuan dan pengalaman manusia tersebar luas dan beragam, dan hanya dengan mengakui kesetaraan manusia dalam kapasitasnya untuk memahami, merasakan, dan mencipta, masyarakat yang adil dapat terwujud. Dalam pengertian ini, sekularisme menolak dominasi satu kelompok atau pandangan atas yang lain, bukan karena anti-identitas, melainkan karena menolak hegemonisasi identitas.

Nilai lain yang tidak terpisahkan dari pandangan sekuler adalah kebebasan—kebebasan untuk berpikir, untuk mempertanyakan, untuk memilih dan mengekspresikan keyakinan tanpa takut dihukum atau dipinggirkan. Kebebasan ini mencakup kebebasan beragama, tetapi juga kebebasan dari agama; keduanya sama penting dalam masyarakat pluralistik. Dalam banyak negara dengan tingkat kebebasan beragama tertinggi, seperti Swedia, Belanda, dan Kanada, prinsip sekularisme dijaga secara ketat oleh negara, bukan untuk menyingkirkan agama dari ruang publik, tetapi untuk memastikan bahwa tidak satu pun agama mendominasi ruang tersebut secara koersif.

Akhirnya, sekularisme menekankan tanggung jawab manusia atas dunia ini. Tidak ada lembaga atau otoritas adikodrati yang akan turun tangan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, perang, atau krisis iklim. Jika dunia menderita, maka manusialah yang harus bertindak. Pandangan ini mendorong manusia untuk tidak menunggu wahyu, tetapi untuk berpikir, bekerja sama, dan bertindak berdasarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etis. Banyak pencapaian modern—penurunan angka kemiskinan ekstrem, peningkatan harapan hidup, penanggulangan penyakit mematikan—terjadi bukan karena keajaiban spiritual, melainkan karena usaha kolektif yang didorong oleh tanggung jawab moral dan rasional.

Nilai-nilai inti dari pandangan sekuler—kebenaran ilmiah, belas kasih, kesetaraan, kebebasan, dan tanggung jawab—tidak bertentangan dengan spiritualitas atau keberagamaan yang otentik. Seorang Muslimah yang dengan sadar memilih untuk mengenakan jilbab sambil menjunjung tinggi nilai-nilai ini tidak bertentangan dengan sekularisme. Justru dalam masyarakat sekuler yang sehat, pilihan semacam itu dijamin dan dihormati. Sekularisme tidak meminta seseorang untuk meninggalkan imannya, tetapi menolak klaim bahwa hanya satu bentuk iman yang boleh mendikte kehidupan bersama. Ia membebaskan ruang publik dari klaim absolut, agar semua orang—beriman maupun tidak—dapat hidup berdampingan secara setara dan bermartabat.

AOS

No comments:

Post a Comment