Narasi ilmiah tentang asal-usul tidak menyajikan semesta sebagai ruang yang penuh makna dari luar, melainkan sebagai tempat yang kebermaknaannya diciptakan dari dalam—oleh kesadaran manusia itu sendiri. “Makna bukan berasal dari alam semesta, tetapi dari kita,” tulis sejarawan Big History, David Christian. Dalam semangat yang sama, mitolog Joseph Campbell bertanya: “Apa makna alam semesta? Apa makna seekor kutu? Kutu itu ada begitu saja.” Kita pun demikian—kehadiran kita adalah fakta, dan makna muncul dari kesadaran akan keberadaan itu.
Data terbaru dari Teleskop James Webb dan observasi kosmologis lainnya bahkan mengindikasikan bahwa jumlah galaksi mungkin jauh lebih banyak dari yang pernah kita perkirakan sebelumnya, menunjukkan bahwa kisah ini masih jauh dari selesai. Matahari kita hanyalah satu dari miliaran bintang di galaksi Bima Sakti, dan galaksi kita pun hanya satu dari triliunan lainnya.
Kisah ilmiah ini tidak bersifat final. Ia adalah kisah yang terus berkembang, terus diuji, dan terus disempurnakan. Meski demikian, justru karena sifatnya yang terbuka terhadap koreksi dan penemuan baru, ia tetap menyimpan rasa kagum dan misteri. Seperti ditulis oleh filsuf Prancis Blaise Pascal: “Pengetahuan itu seperti bola; semakin besar ukurannya, semakin luas kontaknya dengan yang tidak diketahui.”
Inti dari kisah asal-usul modern ini adalah sebuah pertanyaan yang terus digali: Bagaimana sesuatu bisa muncul dari ketiadaan? Kita belum tahu dengan pasti apa yang memicu awal mula alam semesta. Namun kita tahu bahwa sekitar 13,8 miliar tahun lalu, dari kondisi yang sangat panas dan padat, semesta mulai mengembang dalam peristiwa yang kita sebut Big Bang—sebuah ledakan bukan dalam ruang, tapi dari ruang itu sendiri yang mulai tercipta.
Alam semesta mula-mula sangat sederhana: hanya ada partikel subatomik, kemudian atom-atom hidrogen dan helium. Tak ada bintang, tak ada planet, dan tentu saja tak ada kehidupan. Tetapi seiring waktu, gravitasi mengumpulkan materi ini menjadi bintang-bintang pertama. Di dalam bintang-bintang masif ini, fusi nuklir membentuk unsur-unsur kimia yang lebih berat, dan saat bintang-bintang itu meledak (supernova), unsur-unsur ini tersebar ke ruang antarbintang.
Dari sisa-sisa itu, sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, tata surya kita terbentuk. Bumi muncul sebagai planet batuan yang kaya akan unsur kimia yang diperlukan untuk kehidupan. Di lingkungan yang tepat—tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, tidak terlalu kering atau terlalu basah—muncul kompleksitas kimiawi yang akhirnya memunculkan sel hidup pertama, mungkin sekitar 3,8 miliar tahun yang lalu.
Dari organisme bersel satu, kehidupan perlahan berdiversifikasi, beradaptasi, dan berevolusi. Melalui proses seleksi alam, muncul spesies demi spesies, termasuk Homo sapiens sekitar 300.000 tahun lalu di Afrika. Dari sana, manusia menyebar ke seluruh dunia, membawa serta bahasa, budaya, teknologi, dan pemikiran abstrak.
Yang luar biasa adalah bahwa kehidupan tampaknya melawan arus kosmologis. Alam semesta, menurut hukum termodinamika, cenderung menuju entropi—menuju ketidakteraturan dan kesederhanaan. Namun dalam kantung-kantung energi seperti Bumi, kehidupan menciptakan struktur baru, kerumitan, dan kesadaran, sesuatu yang disebut ilmuwan sebagai fenomena emergen.
Hari ini, umat manusia tidak hanya mengamati dan memahami dunia—kita bahkan mulai mengubahnya. Dalam waktu yang relatif singkat, kita telah membangun sistem sosial, kota, mesin, dan jaringan global informasi. Kita adalah bagian dari kisah semesta, tetapi kita juga penulis bab terbarunya.
Namun semua ini tidak abadi. Pada akhirnya, hukum entropi akan menang. Bintang-bintang akan padam, energi akan menyebar, dan struktur kompleks akan terurai. Ini disebut sebagai Heat Death—kemungkinan akhir alam semesta yang datar dan beku. Tapi itu masih triliunan tahun di masa depan.
Untuk saat ini, kita masih hidup di momen langka di mana kompleksitas dan kesadaran bisa muncul. Dan seperti kata David Christian, kelahiran semesta adalah ambang batas pertama, sebuah keajaiban kosmik yang tak kalah menakjubkan dari kelahiran manusia itu sendiri. Kisah asal-usul modern ini, meski tanpa dewa, bukanlah kisah yang kehilangan makna. Sebaliknya, ia memberi kita dasar untuk memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita bisa menuju—sebuah kisah yang bisa menyatukan seluruh umat manusia dalam menghadapi tantangan dan harapan bersama di masa depan.
AOS
No comments:
Post a Comment