Bagi banyak orang modern, pertanyaan itu terdengar sinis atau bahkan tidak relevan. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari—membayar sewa, menyekolahkan anak, merawat orang tua—apakah lebih efektif mengandalkan doa dan keimanan, atau bekerja keras dan merancang strategi hidup yang rasional? Pernahkah kita benar-benar menyerahkan sebuah masalah berat ke dalam tangan Tuhan, lalu menyaksikan intervensi-Nya secara nyata?
Albert Einstein, salah satu ikon terbesar dalam sains modern, memberikan refleksi yang mendalam terhadap hal ini. Hidupnya terbentang melintasi dua perang dunia dan masa-masa krisis global. Dalam periode itulah, jutaan orang mulai meragukan kehadiran Tuhan yang Maha Penyayang—Tuhan yang tidak turun tangan saat bom dijatuhkan, saat genosida terjadi, saat krisis ekonomi melanda.
Einstein sendiri tidak mempercayai Tuhan personal yang ikut campur dalam urusan manusia. Ia menolak gagasan tentang Tuhan yang mengatur peristiwa harian atau membalas doa satu individu sambil mengabaikan yang lain. Baginya, Tuhan bukanlah sosok antropomorfik yang bertindak seperti raja atau hakim. Dalam surat-surat dan esainya, ia menyampaikan sikap religius yang lebih subtil: kekaguman mendalam terhadap keteraturan dan keindahan semesta.
Dalam pernyataannya yang terkenal, Einstein berkata:
“Saya tidak percaya pada keabadian, juga tidak pada kehendak bebas. Hukum-hukum yang mengatur nasib manusia sama tetapnya dengan hukum-hukum fisika.”
Namun, ia menolak label ateis. Dalam kredonya yang ditulis pada tahun 1930, What I Believe, Einstein menyampaikan bahwa ada rasa kagum mendalam terhadap “sesuatu yang tak terjangkau oleh pikiran kita,” yang hanya dapat dialami secara tidak langsung lewat keindahan dan keteraturan kosmos. Ia menyebut ini sebagai bentuk kereligiusan kosmis.
Ketika seorang rabi pernah bertanya lewat telegram, “Apakah Anda percaya pada Tuhan?”, Einstein menjawab:
“Saya percaya pada Tuhan Spinoza, yang menyingkapkan diri-Nya dalam harmoni hukum alam, bukan Tuhan yang ikut campur dalam nasib dan tindakan manusia.”
Baruch Spinoza, filsuf Yahudi dari abad ke-17, dikenal dengan gagasan bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu dan sama—Deus sive Natura. Dalam pandangan ini, Tuhan tidak hadir dalam bentuk mukjizat atau wahyu personal, tetapi dalam hukum-hukum universal yang mengatur realitas: gravitasi, elektromagnetisme, evolusi, dan entropi.
Einstein, dalam banyak hal, adalah pewaris warisan rasionalisme ini. Namun ia juga menolak reduksionisme dingin yang mereduksi manusia menjadi sekadar partikel yang dikendalikan hukum deterministik. Dalam dirinya, hidup semacam paradoks: ilmuwan yang menciptakan teori relativitas, namun juga merasa tergetar oleh misteri eksistensi yang tak dapat dirumuskan sepenuhnya oleh matematika.
Di masa kini, ketika banyak orang lebih mempercayai teknologi untuk menyelesaikan masalah daripada doa, pernyataan Einstein terasa semakin relevan. Ia tidak menolak pengalaman religius, tetapi mengajukan bentuk spiritualitas baru—yang tidak menuntut mukjizat, namun mengagumi tatanan kosmik.
Mungkin, yang perlu kita renungkan bukanlah apakah Tuhan ada atau tidak, tetapi bagaimana kita memaknai kehadiran, keteraturan, dan misteri yang menyelimuti kehidupan ini. Tuhan, dalam bentuk tradisional-Nya, mungkin telah surut dari pusat kebudayaan modern. Namun, kerinduan akan makna, keindahan, dan keajaiban semesta tetap hidup—terkadang dalam bahasa agama, terkadang dalam puisi fisika.
AOS
No comments:
Post a Comment