Dalam pemikiran Ibn al-‘Arabi, ketuhanan dan kemanusiaan bukanlah dua entitas yang sepenuhnya terpisah, melainkan dua sisi dari satu realitas yang lebih dalam—kehidupan ilahiah yang menyokong gerak seluruh semesta. Namun, ia menolak anggapan bahwa satu sosok manusia, betapapun suci dan mulianya, bisa mewadahi sepenuhnya realitas Ilahi yang tak berbatas. Sebaliknya, setiap manusia adalah manifestasi unik, semacam avatar ilahiah yang memantulkan sebagian dari cahaya ketuhanan sesuai dengan kapasitasnya.
Dari sinilah muncul konsep insān al-kāmil—manusia sempurna—sebuah arketipe yang menggambarkan individu yang, melalui penyempurnaan diri dan pencerahan spiritual, mampu menjadi cermin bagi aspek-aspek Tuhan yang terwahyukan. Namun, insan kamil ini bukanlah inkarnasi dari seluruh esensi Tuhan yang tersembunyi; ia hanya pengungkapan parsial dari rahasia Ilahi yang terus-menerus diperbarui dalam sejarah umat manusia.
Menurut tafsir Karen Armstrong atas gagasan Ibn al-‘Arabi, setiap individu mengalami Tuhan secara unik, sesuai dengan kondisi batin dan konteks hidupnya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun agama atau sistem kepercayaan yang dapat mengklaim monopoli atas kebenaran mutlak tentang Tuhan. Setiap keyakinan hanya menangkap sebagian kecil dari realitas yang melampaui segala kategori—pribadi, rasional, atau dogmatis. Tuhan, dalam pengertian ini, adalah transenden terhadap segala klasifikasi dan prediksi; mustahil untuk membatasi-Nya dalam satu formulasi teologis semata.
Konsekuensinya, segala bentuk chauvinisme agama yang menegaskan superioritas satu keyakinan dengan merendahkan yang lain merupakan bentuk kebodohan spiritual. Tidak ada satu agama pun yang memiliki seluruh kebenaran tentang Tuhan. Setiap agama menyediakan jalan yang sah menuju pemahaman tentang Yang Ilahi, dan semua umat manusia berhak merasakan ketenteraman melalui jalan tersebut.
Ibn al-‘Arabi bahkan melampaui toleransi konvensional. Dalam syairnya yang terkenal, ia menulis:
Hatiku mampu menerima segala bentuk:
Biara para rahib, kuil tempat berhala disembah,
Padang rumput tempat rusa berlari, Ka'bah tempat peziarah berdoa,
Lembaran Taurat dan mushaf Al-Qur’an.
Cinta adalah agamaku dan keyakinanku—
Ke mana pun cintaku pergi, itulah agamaku yang sejati.
Bagi Ibn al-‘Arabi, cinta adalah inti dari iman; cinta yang tidak membatasi, tidak mengecualikan, dan tidak membenci perbedaan. Semua bentuk ibadah dan keimanan, jika dijalani dengan cinta yang tulus, adalah refleksi sah dari pencarian terhadap Tuhan.
Ia memberi nasihat tegas kepada siapa pun yang berpegang pada dogma secara eksklusif:
“Jangan engkau mengikat dirimu hanya pada satu keyakinan, hingga engkau menolak segala keyakinan lainnya. Jika demikian, engkau akan kehilangan banyak kebaikan dan gagal mengenali kebenaran yang sejati. Tuhan, Yang Mahasuci dan Mahakuasa, tidak bisa dikungkung oleh satu keyakinan pun. Bukankah firman-Nya menyatakan: ‘Ke mana pun engkau memalingkan pandanganmu, di sanalah wajah Allah’ (QS Al-Baqarah [2]:109)?”
Dalam pandangannya, banyak orang sebenarnya tidak menyembah Tuhan, tetapi hanya menyembah proyeksi diri mereka sendiri yang dibungkus dalam simbol-simbol keagamaan. Tuhan yang mereka agungkan adalah ciptaan mereka sendiri—bentuk ideal dari ego mereka. Karenanya, mereka mudah menyalahkan keyakinan orang lain, bukan karena mereka benar, tetapi karena mereka buta oleh kebencian dan dangkal dalam pemahaman.
Bagi Ibn al-‘Arabi, keadilan spiritual menuntut keterbukaan, cinta, dan kerendahan hati. Tuhan yang sejati tidak dimiliki oleh siapa pun, namun hadir bagi siapa saja yang mencari-Nya dengan hati yang terbuka dan jiwa yang ikhlas.
AOS
No comments:
Post a Comment