Friday, September 6, 2019

Keberadaan Tuhan: Sebuah Tafsir Eksistensial

Pelindung? Jika Tuhan hadir untuk menjaga kita, mengapa bencana alam terus terjadi—gempa, badai, banjir, dan letusan gunung api yang menelan ribuan korban?

Penegak moral? Jika Tuhan adalah sumber aturan etis, mengapa manusia tetap bebas bertindak kejam, tidak adil, bahkan jahat?

Juru damai? Jika Tuhan adalah damai itu sendiri, mengapa perang, kekerasan, dan kebencian justru membanjiri sejarah umat manusia?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang telah diajukan selama ribuan tahun dalam teodise, yakni upaya menjelaskan keberadaan kejahatan dan penderitaan dalam dunia yang diklaim dikendalikan oleh Tuhan yang Mahakuasa dan Mahakasih.

Namun, sebagian spiritualis dan pemikir kontemplatif menanggapi ini dari pendekatan yang lebih subtil: kita salah memulai pertanyaan

Melampaui Konsep: Tuhan Bukan Entitas yang Dapat Diproyeksikan

Ketika manusia membayangkan Tuhan sebagai “pelindung,” “penegak hukum,” atau “juru damai,” kita sedang memproyeksikan ideal kita tentang ayah yang sempurna, hakim yang adil, atau kekasih yang pengertian. Dalam psikologi transpersonal, ini disebut antropomorfisme spiritual—membentuk Tuhan dalam citra manusia. Padahal, banyak tradisi mistik dari Timur dan Barat justru menyarankan agar kita melepaskan semua atribut yang kita lekatkan pada Tuhan.

“Tuhan itu kasih”—begitu banyak dikatakan. Tapi kasih menurut siapa? Kasih menurut logika manusia? Menurut kepentingan kita sendiri?

Menurut ajaran Advaita Vedanta dalam filsafat India, segala atribut yang dilekatkan pada Tuhan adalah maya—ilusi. Tuhan atau Brahman melampaui semua dualitas: baik dan jahat, terang dan gelap, hidup dan mati. Ia bukan "baik" karena melawan "jahat", melainkan karena mencakup keduanya dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Tuhan adalah realitas itu sendiri. Menanyakan apakah realitas itu “pengasih” atau “kejam” sama seperti menanyakan apakah gravitasi itu adil. Pertanyaannya menjadi tidak relevan.

Cermin Kosmis: Tuhan sebagai Ruang, Bukan Aktor

Tuhan dalam tradisi kontemplatif bukanlah aktor, melainkan ruang tempat segala sesuatu muncul. Ia bukan intervensi, tetapi eksistensi itu sendiri. Maka penderitaan, kekacauan, dan kematian tidak terjadi di luar Tuhan, tetapi di dalam ranah yang tak terbatas dari keberadaan.

Beberapa pernyataan spiritual menyentuh hal ini:

  • “Tuhan tidak memiliki ego. Ia menyukai semua hal yang kamu sukai, tanpa syarat.”

  • “Tuhan tidak punya opini. Ia membiarkanmu memiliki semua opini.”

  • “Tuhan tidak menginginkan apa pun dari dirimu.”

  • “Tuhan tidak pernah menolak. Apa pun yang kamu lakukan, tak membuat-Nya berubah.”

Ini bukan karena Tuhan tidak peduli. Tapi karena Ia tidak berada dalam relasi transaksional seperti manusia: memberi untuk mendapat, mencinta agar dicinta kembali. Segala tindakan spiritual—ibadah, doa, meditasi—bukanlah cara untuk mendapatkan cinta Tuhan, melainkan cara untuk menyadari bahwa kasih itu sudah ada, tak bersyarat, dan tak terbatas.

Ironi Relasi Spiritual: Tuhan Sebagai Cermin Keinginan Terdalam

Manusia sering membayangkan Tuhan sebagai hubungan ideal. Sebuah relasi yang tak bisa gagal. Tempat tertinggi untuk menggantungkan semua pengharapan. Tetapi ketika hidup berjalan di luar harapan, kepercayaan itu guncang. Lalu muncul kekecewaan pada Tuhan—yang sejatinya adalah kekecewaan pada harapan yang tidak terpenuhi.

Di sinilah letak paradoks: Tuhan tidak mengecewakan kita; harapan kitalah yang keliru sejak awal. Kita mencari cinta dari Tuhan seperti kita mencari cinta dari pasangan atau orang tua. Padahal, Tuhan bukan hubungan yang dimulai dari titik awal. Ia adalah ruang kesadaran tempat relasi-relasi itu muncul dan lenyap.

Dari Tuhan Pribadi ke Tuhan Kosmis

Bagi sebagian orang, konsep Tuhan sebagai pribadi—pengasih, penyayang, pengatur semesta—masih berguna secara psikologis dan spiritual. Tetapi bagi yang telah melalui penderitaan yang dalam dan merenungkan keberadaan dengan tenang, muncul pemahaman bahwa Tuhan bukanlah entitas yang hadir untuk memperbaiki hidup kita. Tuhan adalah hidup itu sendiri.

Maka Tuhan tidak bisa hanya menjadi baik atau hanya membawa kedamaian. Tuhan adalah totalitas: kekacauan dan harmoni, kelahiran dan kematian, terang dan bayangan. Bukan karena Ia kejam, tapi karena Ia tidak terpisah dari apa pun yang ada.

Kita tidak bisa memiliki hubungan dengan Tuhan seperti dengan manusia. Kita hanya bisa menyadari bahwa kita tidak pernah terpisah dari-Nya.

AOS

No comments:

Post a Comment