resensi buku oleh: Oir Nikonian
Sejak
pertanyaan “mengapa kita ada” mengusik manusia berpuluh abad silam,
ikhtiar untuk mencari jawabannya tak pernah berhenti. Banyak orang
berpaling ke berbagai kekuatan besar di luar manusia. Para filsuf sejak
Yunani klasik menyodorkan jawaban-jawaban spekulatif dengan mengandalkan
kekuatan logika. Merekalah yang mendominasi pikiran manusia.
Tapi filsafat kini mati, kata Stephen
Hawking. Filsafat tak sanggup mengimbangi perkembangan sains modern,
terutama fisika. Obor penerang bagi pencarian ilmu pengetahuan kini
dipikul para ilmuwan. Walaupun sains modern dianggap baru bermula pada
abad ke-17, sumbangannya luar biasa bagi kemajuan peradaban, meski
sayangnya juga bagi kerusakan.
Bagi Hawking, untuk memahami semesta pada
tingkat terdalam, kita perlu beranjak dari sekadar menjawab pertanyaan
bernada “bagaimana” menuju “mengapa”. “Bagaimana” adalah pertanyaan
praktis yang lazim diajukan ilmuwan. Dengan kemajuan sains, kinilah
saatnya kita mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa sesuatu ada dan
bukan tak ada? Mengapa kita ada? Mengapa hukum tertentu berlaku, dan
bukan yang lain? Inilah pertanyaan pamungkas tentang kehidupan dan alam
semesta yang secara “tradisional” beredar di ranah filsafat. Hawking,
bersama Leonard Mlodinow, berusaha menjawabnya dalam karya mereka yang
baru terbit, The Grand Design.