Peter Watson adalah seorang intelektual sejarah, jurnalis, dan penulis dari tiga belas buku, termasuk The German Genius, The Medici Conspiracy, dan The Great Divide.
Dia juga pernah menulis untuk The Sunday Times, The New York Times, the
Observer, dan the Spectator Dia tinggal di London. Dia cukup berbaik
hati untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang buku barunya The Age of
Atheists: How We Have Sought to Live Since the Death of God..
1. Anda memulai pembahasan atheisme
dengan menyebut filsuf Jerman abad ke-19, Friedrich Nietzsche. Kenapa
dia menjadi titik awal yang tepat?
Pada tahun 1882 Nietzsche menyatakan
secara terus terang, dalam bahasa yang jelas mencolok, bahwa “Tuhan
telah mati”, dan menambahkan “bahwa kita telah membunuhnya”. Dan ini
hanya dua puluh tahun berselang setelah terbitnya karya Darwin, Origin of Species,
yang benar-benar dipahami sebagai pukulan terbesar bagi Kekristenan
(baca: agama). Tapi karya Nietzsche pantas mendapat pengakuan sebagai
kedua terdekat. Darwinisme berasimilasi lebih cepat di Jerman daripada
di Inggris karena gagasan evolusi itu terutama terjadi di sana. Darwin
menyatakan dalam salah satu suratnya bahwa ide-idenya diterima lebih
baik di Jerman daripada di tempat lain. Dan sejarah Kulturkampf
di Jerman—pertempuran antara Protestan dan Katolik—yang berarti
menyerang agama secara umum, oleh penganutnya sendiri. Orang-orang
menanggapi Nietzsche dengan beragam pendapat yang kelihatannya satu sama
lain saling melebihi—Ibsen, misalnya, W. B. Yeats, Robert Graves, James
Joyce. Di Jerman ada fenomena generasi Nietzschean—berisi orang-orang
muda yang menghidupkan filosofinya dalam komunitas khusus. Dan orang
menanggapi Nietzsche karena gaya tulisannya begitu bernas, to the point,
mudah diingat, dan jernih. Nietzsche memberitahu kita sefasih mungkin,
bahwa tidak ada di luar, atau lebih tinggi dari hidup itu sendiri. Tidak
ada yang beyond atau above, tidak ada transendensi dan
tidak pula metafisik. Ini adalah pemikiran yang berbahaya pada waktu
itu, dan tetap mengancam bagi banyak orang.
2. Anda mengatakan pada satu titik dalam buku Anda bahwa psikologi, atau mungkin terapi, telah mengambil alih peran agama sebagai cara untuk memahami keadaan kita, dan bagaimana menghadapinya. Apakah Anda mengikuti Freud dalam melihat agama sebagai, pada dasarnya, produk neurosis?
Saya pikir ada bukti antropologi bahwa
“imam” pertama, yaitu dukun di Siberia, mungkin mengalami ketidakpuasan
atau ketidaksesuaian secara psikologis, dan bahwa sepanjang sejarah kita
banyak tokoh agama yang terkenal—beberapa nabi Ibrani, Yohanes
Pembaptis, St. Paul, St. Augustine, Joan of Arc, Luther—yang aneh secara
psikologis. Neurosis agama tidak sebanyak penyesuaian psikologis untuk
keadaan kita—itulah kuncinya, agama harus dipahami secara psikologis,
bukan teologis. George Carey, ketika dia menjadi Uskup Agung Canterbury,
mengatakan—bukan saya, “Yesus sang Juruselamat telah menjadi Yesus sang
Penolong.” (sekitar tahun 1990-an). Seorang rabbi Boston terkenal,
Joshua Loth Liebman, yang menulis sebuah buku terlaris setelah
berakhirnya Perang Dunia II, mengakui bahwa agama tradisional telah
terlalu keras terhadap penganut awam, dan semestinya gereja-gereja,
sinagog-sinagog, masjid-masjid, memiliki banyak kesempatan untuk belajar
dari apa yang disebut psikologi kedalaman baru—yang dia maksudkan
adalah Freudianisme. Justru gereja mengundang psikolog untuk berbicara
seraya menempatkan tank mereka di halaman. Psikoterapi pun tidak akan
melihat ke belakang karena lebih banyak orang sekarang pergi ke terapi
sebagai pencarian makna daripada pengobatan untuk penyakit mental.
3. Apa yang Anda simpulkan dari ini?
Ibadah adalah dorongan keagamaan, tapi
paling baik dipahami sebagai fenomena sosiologis, bukan teologi. Dalam
buku-buku Anda sendiri (Sam Harris), Anda menunjukkan beberapa contoh
absurditas agama, tetapi dua hal yang saya anggap sebagai yang paling
mengungkapkan ritual peribadatan adalah penyembahan terhadap sepeda
motor Lee Enfield di wilayah India, kecelakaan yang melibatkan sebuah
motor di mana pengendaranya tewas, tapi kini diperhitungkan sebagai
pemilik kekuatan gaib. Dan kedua, situs internet godchecker.com,
yang berisi daftar dari 3.000 lebih “makhluk tertinggi”—tampaknya tak
ada ironi sama sekali. Saya bertanya-tanya berapa banyak fakta yang
mereka miliki dan telah mereka buktikan kebenarannya. (Kalimat terakhir
ketika saya menemukan ekspresi wajah baru saya, yang disebut Ironics).
Dalam survei Pippa Norris dan Ronald
Inglehart di seluruh negara baru-baru ini, agama dan ekonomi, mereka
menunjukkan secara meyakinkan agama sangat berkembang di daerah-daerah
di mana mengalami ‘ketidakamanan eksistensial’ endemik yang
berkembang—seperti kemiskinan, bencana alam, penyakit, pasokan air tidak
memadai, HIV/AIDS, kurangnya perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan
di Barat yang relatif lebih makmur dan aman, termasuk Amerika Serikat
sekarang, ateisme meningkat secara tak terelakkan. Agama sangat lazim di
antara orang miskin, dan akan menurun di belahan dunia yang lebih
makmur. Agama terus meningkat sebagaimana kemiskinan.
4. Dalam buku ini, Anda menyurvei pandangan dari sejumlah orang besar. Jadi bagaimana Anda menjelaskan atheisme?
Kita dianugerahi bahasa dan Nietzsche
memiliki anugerah untuk bahasa. Saya mengikuti orang-orang seperti
penyair Jerman, Rilke, dan filsuf Amerika, Richard Rorty, yang
mengatakan bahwa cara kita untuk menemukan makna dalam hidup adalah
dengan menggunakan bahasa untuk “menamai” dunia, untuk menggambarkan
aspek-aspek baru yang belum dijelaskan sebelumnya, dan dengan demikian
memperluas dunia yang kita huni, cukup luas bagi semua orang. Jelas
dalam puisi-puisi tertentu ada keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan
seni. Ketika ilmu-ilmu baru diciptakan mereka membawa bahasa baru, dan
penemuan-penemuan ilmiah—katakanlah bahasa untuk pergeseran benua, yaitu
dendrochronology, atau boson Higgs—yang memperbesar pemahaman kita
melalui bahasa baru. Tapi sebagaimana seni, puisi, dan teater terbaik,
diperlukan penyebaran informasi untuk memberitahu—semakin memberitahu
semakin baik, seperti ilmu-ilmu yang lebih matang sekarang, agar dapat
diakses oleh orang awam. Bahasa memungkinkan kita untuk tepat dalam
melihat dan menggeneralisasi dunia. Akibatnya kita tahu bahwa hidup
terdiri dari banyak dan banyak fenomena kecil yang indah, dan juga
sebagai abstraksi besar, tapi menjadi indah dengan cara mereka sendiri,
tidaklah cukup. Tidak ada satu pun rahasia dalam hidup selain memang
tidak ada rahasia kehidupan sama sekali. Jika Anda memiliki gagasan yang
transenden kemudian mencarinya untuk menemukan “kebaikan”, “keindahan”,
atau “kemanfaatan”, sadarilah bahwa jawaban Anda akan selalu personal,
terbatas dan tidak pernah final. Filsuf Anglo-Amerika Alasdair MacIntyre
mengatakan, “Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dihabiskan untuk
mencari kehidupan yang baik.” Berarti membutuhkan upaya. Kita tidak
dapat mengecap kepuasan dan maknanya tanpa ada usaha.”
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
No comments:
Post a Comment