Friday, June 22, 2018

Bagaimana Kita Hidup Setelah Matinya Tuhan

Peter Watson adalah seorang intelektual sejarah, jurnalis, dan penulis dari tiga belas buku, termasuk The German Genius, The Medici Conspiracy, dan The Great Divide. Dia juga pernah menulis untuk The Sunday Times, The New York Times, the Observer, dan the Spectator Dia tinggal di London. Dia cukup berbaik hati untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang buku barunya The Age of Atheists: How We Have Sought to Live Since the Death of God..

1.  Anda memulai pembahasan atheisme  dengan menyebut filsuf Jerman abad ke-19, Friedrich Nietzsche. Kenapa dia menjadi titik awal yang tepat?

Pada tahun 1882 Nietzsche menyatakan secara terus terang, dalam bahasa yang jelas mencolok, bahwa “Tuhan telah mati”, dan menambahkan “bahwa kita telah membunuhnya”. Dan ini hanya dua puluh tahun berselang setelah terbitnya karya Darwin, Origin of Species, yang benar-benar dipahami sebagai pukulan terbesar bagi Kekristenan (baca: agama). Tapi karya Nietzsche pantas mendapat pengakuan sebagai kedua terdekat. Darwinisme berasimilasi lebih cepat di Jerman daripada di Inggris karena gagasan evolusi itu terutama terjadi di sana. Darwin menyatakan dalam salah satu suratnya bahwa ide-idenya diterima lebih baik di Jerman daripada di tempat lain. Dan sejarah Kulturkampf di Jerman—pertempuran antara Protestan dan Katolik—yang berarti menyerang agama secara umum, oleh penganutnya sendiri. Orang-orang menanggapi Nietzsche dengan beragam pendapat yang kelihatannya satu sama lain saling melebihi—Ibsen, misalnya, W. B. Yeats, Robert Graves, James Joyce. Di Jerman ada fenomena generasi Nietzschean—berisi orang-orang muda yang menghidupkan filosofinya dalam komunitas khusus. Dan orang menanggapi Nietzsche karena gaya tulisannya begitu bernas, to the point, mudah diingat, dan jernih. Nietzsche memberitahu kita sefasih mungkin, bahwa tidak ada di luar, atau lebih tinggi dari hidup itu sendiri. Tidak ada yang beyond atau above, tidak ada transendensi dan tidak pula metafisik. Ini adalah pemikiran yang berbahaya pada waktu itu, dan tetap mengancam bagi banyak orang.

2. Anda mengatakan pada satu titik dalam buku Anda bahwa psikologi, atau mungkin terapi, telah mengambil alih peran agama sebagai cara untuk memahami keadaan kita, dan bagaimana menghadapinya. Apakah Anda mengikuti Freud dalam melihat agama sebagai, pada dasarnya, produk neurosis?

Saya pikir ada bukti antropologi bahwa “imam” pertama, yaitu dukun di Siberia, mungkin mengalami ketidakpuasan atau ketidaksesuaian secara psikologis, dan bahwa sepanjang sejarah kita banyak tokoh agama yang terkenal—beberapa nabi Ibrani, Yohanes Pembaptis, St. Paul, St. Augustine, Joan of Arc, Luther—yang aneh secara psikologis. Neurosis agama tidak sebanyak penyesuaian psikologis untuk keadaan kita—itulah kuncinya, agama harus dipahami secara psikologis, bukan teologis. George Carey, ketika dia menjadi Uskup Agung Canterbury, mengatakan—bukan saya, “Yesus sang Juruselamat telah menjadi Yesus sang Penolong.” (sekitar tahun 1990-an). Seorang rabbi Boston terkenal, Joshua Loth Liebman, yang menulis sebuah buku terlaris setelah berakhirnya Perang Dunia II, mengakui bahwa agama tradisional telah terlalu keras terhadap penganut awam, dan semestinya gereja-gereja, sinagog-sinagog, masjid-masjid, memiliki banyak kesempatan untuk belajar dari apa yang disebut psikologi kedalaman baru—yang dia maksudkan adalah Freudianisme. Justru gereja mengundang psikolog untuk berbicara seraya menempatkan tank mereka di halaman. Psikoterapi pun tidak akan melihat ke belakang karena lebih banyak orang sekarang pergi ke terapi sebagai pencarian makna daripada pengobatan untuk penyakit mental.

3. Apa yang Anda simpulkan dari ini?

Ibadah adalah dorongan keagamaan, tapi paling baik dipahami sebagai fenomena sosiologis, bukan teologi. Dalam buku-buku Anda sendiri (Sam Harris), Anda menunjukkan beberapa contoh absurditas agama, tetapi dua hal yang saya anggap sebagai yang paling mengungkapkan ritual peribadatan adalah penyembahan terhadap sepeda motor Lee Enfield di wilayah India, kecelakaan yang melibatkan sebuah motor di mana pengendaranya tewas, tapi kini diperhitungkan sebagai pemilik kekuatan gaib. Dan kedua, situs internet godchecker.com, yang berisi daftar dari 3.000 lebih “makhluk tertinggi”—tampaknya tak ada ironi sama sekali. Saya bertanya-tanya berapa banyak fakta yang mereka miliki dan telah mereka buktikan kebenarannya. (Kalimat terakhir ketika saya menemukan ekspresi wajah baru saya, yang disebut Ironics).

Dalam survei Pippa Norris dan Ronald Inglehart di seluruh negara baru-baru ini, agama dan ekonomi, mereka menunjukkan secara meyakinkan agama sangat berkembang di daerah-daerah di mana mengalami ‘ketidakamanan eksistensial’ endemik yang berkembang—seperti kemiskinan, bencana alam, penyakit, pasokan air tidak memadai, HIV/AIDS, kurangnya perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan di Barat yang relatif lebih makmur dan aman, termasuk Amerika Serikat sekarang, ateisme meningkat secara tak terelakkan. Agama sangat lazim di antara orang miskin, dan akan menurun di belahan dunia yang lebih makmur. Agama terus meningkat sebagaimana kemiskinan.

4. Dalam buku ini, Anda menyurvei pandangan dari sejumlah orang besar. Jadi bagaimana Anda menjelaskan atheisme?

Kita dianugerahi bahasa dan Nietzsche memiliki anugerah untuk bahasa. Saya mengikuti orang-orang seperti penyair Jerman, Rilke, dan filsuf Amerika, Richard Rorty, yang mengatakan bahwa cara kita untuk menemukan makna dalam hidup adalah dengan menggunakan bahasa untuk “menamai” dunia, untuk menggambarkan aspek-aspek baru yang belum dijelaskan sebelumnya, dan dengan demikian memperluas dunia yang kita huni, cukup luas bagi semua orang. Jelas dalam puisi-puisi tertentu ada keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan seni. Ketika ilmu-ilmu baru diciptakan mereka membawa bahasa baru, dan penemuan-penemuan ilmiah—katakanlah bahasa untuk pergeseran benua, yaitu dendrochronology, atau boson Higgs—yang memperbesar pemahaman kita melalui bahasa baru. Tapi sebagaimana seni, puisi, dan teater terbaik, diperlukan penyebaran informasi untuk memberitahu—semakin memberitahu semakin baik, seperti ilmu-ilmu yang lebih matang sekarang, agar dapat diakses oleh orang awam. Bahasa memungkinkan kita untuk tepat dalam melihat dan menggeneralisasi dunia. Akibatnya kita tahu bahwa hidup terdiri dari banyak dan banyak fenomena kecil yang indah, dan juga sebagai abstraksi besar, tapi menjadi indah dengan cara mereka sendiri, tidaklah cukup. Tidak ada satu pun rahasia dalam hidup selain memang tidak ada rahasia kehidupan sama sekali. Jika Anda memiliki gagasan yang transenden kemudian mencarinya untuk menemukan “kebaikan”, “keindahan”, atau “kemanfaatan”, sadarilah bahwa jawaban Anda akan selalu personal, terbatas dan tidak pernah final. Filsuf Anglo-Amerika Alasdair MacIntyre mengatakan, “Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dihabiskan untuk mencari kehidupan yang baik.” Berarti membutuhkan upaya. Kita tidak dapat mengecap kepuasan dan maknanya tanpa ada usaha.”

Url: http://www.samharris.org/blog/item/the-significance-of-our-insignificance

 Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment